PhILosoPHy (Forum Diskusi FiLSafAt)

TUHAN tidak pernah menciptakan manusia setara. Patut diteliti tiap2 sumber sejarah, bahwa suatu peradaban yang kufur (iri dan hasad) dari nikmat special ras2 tertentu (kaum yang dilebihkan TUHAN dari kaum lainnya) pasti mengalami kemunduran, kemiskinan, kelaparan dan bencana.

Rav. Martin Buber, “GOOD AND EVIL: Two Interpretations”

THE lie is the specific evil which man has introduced into nature. All our deeds of violence and our misdeeds are only as it were a highly-bred development of what this and that creature of nature is able to achieve in its own way. But the lie is our very own invention, different in kind from every deceit that the animals can produce. A lie was possible only after a creature, man, was capable of conceiving the being of truth.

Pernyataan misi PhILosoPHy (Forum Diskusi FiLSafAt)

PhILosoPHy (Forum Diskusi FiLSafAt) adalah wadah untuk orang-orang pemberani dari kaum pria dan perempuan ras kita yang berjuang bagi kelestarian budaya dan tujuan adilihung Leluhur. Kami mempergunakan amandemen kebebasan berbicara dan berpendapat serta perihal yang berkaitan dengannya lewat manifestasi sebuah forum perencanaan strategi, kelompok studi sosial-ilmiah untuk memastikan kemenangan sebagai tujuan dan martabat perjuangan kita.

Al Maidah (QS 5: 20) 21

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi nabi diantaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain".

Yohanes 8:32

“Dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.”

Blogroll

Jumat, 30 Maret 2012

Tamara Geraldine Bicara Ulos Batak




By Sahala Napitupulu.
Ada banyak hal menarik keluar dari celotehnya ketika diajak bicara tentang ulos Batak, meskipun kadang dengan gaya yang disampaikannya lewat canda. Itulah Tamara Geraldine, salah satu selebritis Batak kelahiran Jakarta, anak kedua dari pasangan ayah L.M.Tambunan dan ibu Y.boru Sibarani. Wajah cantik dengan senyumannya yang manis dahulu kerap kita temui di beberapa acara stasiun televisi swasta sebagai presenter. Seperti dalam acara sepakbola Liga Calcio di RCTI dan kuis hiburan Go Show di TPI, selain banyak menjadi model dan bintang iklan. Belakangan dia membuat kejutan sebagai penulis dengan menerbitkan kumpulan cerita pendeknya dalam judul lumayan panjang, “ Kamu Sadar Saya Punya Alasan Untuk Selingkuh kan Sayang “ dan buku keduanya tentang biografi penyanyi Yuni Sahara.

Ditemui di rumahnya dalam sebuah wawancara dengan Tapian (20/10), Tamara bertutur tentang seleranya terhadap ulos Batak. “ Saya enggak suka ulos yang terlalu colourfull, yang manik-maniknya terlalu banyak seperti jenis ulos Sadum. Saya suka dengan warna ulos yang redup karena mudah dikombinasikan. Menurut ompung saya, warna budaya Batak ini hanya ada tiga, yaitu merah, hitam dan putih. Saya suka ulos dengan tiga unsur warna itu saja paling dominan. Kalau sudah ada warna ungu dan segala macam warna, saya malas memajangnya, “ ujar Tamara.
Di rumahnya dia memajang sejumlah ulos Batak, terutama ulos-ulos yang punya nilai historis dalam hidupnya. Diantara koleksinya ada ulos yang sudah berusia seratus tahun lebih yang dia dapat dari warisan ompungnya. Dia menata ruang rumahnya dengan keseimbangan antara unsue Oriental dan unsur Batak sehubungan dengan suaminya sendiri berasal dari Vietnam.

Tien Thinh Pham, pengusaha asal Vietnam yang telah mempersuntingnya 7 tahun silam, oleh keluarga Tamara telah dirajaon bermarga Nainggolan Parhusip. Perkawinan antar suku bangsa ini oleh keluarga Tamara tidaklah terlalu bermasalah sejauh mereka mau diadati dengan adat Batak Toba.

“ Kalau kalian enggak diadatin, kalau suaminya enggak ada marganya, nanti kalau kalian diundang di pesta-pesta adat, kalian akan bingung mau duduk dimana, di paranak atau di parboru, “ujar Tamara menjelaskan alasan tuntutan keluarganya. Menurut Tamara, suaminya tidaklah terlalu sulit beradaptasi dengan adat budaya Batak, karena di negeri suaminya di Vietnam pun mengenal konsep Dalihan na Tolu seperti di Batak. Boleh jadi benar, karena memang ada teori mengatakan orang Sumatera Utara, khususnya orang Batak, cikal bakalnya datang dari Phunam dan Phunam itu dari Indocina. Dengan dirajaon menjadi Nainggolan Parhusip, kata Tamara lagi, suaminya jadi merasa punya keluarga besar disini terutama karena pertalian Dalihan na Tolu.

“ Cuma suamiku bilang orang Batak ini agak aneh. Orang Batak kalau bicara di pesta-pesta adat maupun acara penghiburan selalu dibuka dengan kata Jadi dan ditutup dengan kata Botima. Selalu begitu, diawali dengan kata Jadi lalu ditutup dengan Botima. Ada apa dengan 2 kata itu ? “ cerita Tamara tentang pengamatan suaminya terhadap gaya bicara orang Batak. Dia dan suami, sejauh waktu memungkinkan, kerap juga menghadiri undangan pesta-pesta Batak, bahkan pernah mangulosi.

“ Tapi itu dia, pernah ketika kami mau memberi ulos kepada mempelai, saya manortor, suami saya malah tari cha-cha, “ kata Tamara sambil tertawa.

Saat ditanya pengalaman paling emosional yang pernah dia alami berhubungan dengan ulos, Tamara menyebut tiga peristiwa. “ Pertama, pada saat menikah, saya dan suami diulosi. Kedua, pada saat anak saya Tjazkayaa Loedwigee Poetry tardidi, kami sekeluarga diulosi. Dan ketiga, pada waktu ompung meninggal, tradisinya kami harus rebutan ulos ompung, “ katanya sambil mengingat-ingat kembali.

“ Hanya saya enggak yakin, apa itu karena ulosnya atau karena momentnya, “ ujarnya menambahkan. Bagi Tamara, ulos Batak itu hanya sebuah identitas etnik saja. Identitas dari mana dia berasal. Tidak lebih. Karena itu dia tidak pernah memberhalakan. Hal ini menyinggung adanya sebagian sikap orang Batak yang sangat mengkultuskan ulos pemberian hula-hula, orangtua, ompung atau tulang.

“ Ompung dan orangtuaku memang paradat, tapi waktu mangulosi kami, mereka selalu bilang ulos ini hanya simbol saja. Tapi tetap kalian berjalan supaya diiringi Tuhan Yesus. Jadi jangan lihat ini sebagai benda yang mengikat atas kuasa yang lain, selain kasih Tuhan itu sendiri, “ kata Tamara menjelaskan sikap yang ditanamkan keluarganya dalam memandang ulos. Karena itu dia tidak pernah mau beli ulos yang dikerjakan dengan perhitungan hari-hari tertentu sehingga terkesan mistik dan berhala. Dia pun tak pernah berburu ulos secara khusus.

Menjawab pertanyaan Tapian tentang filosofi ulos baginya, Tamara merujuk apa yang pernah dia dengar. “ Ompung memetaforkan ulos itu sebagai selimut. Arti selimut, dia bisa kasih kehangatan kalau kita dingin, dia bisa menaungi kita dari hujan. Itu yang aku tahu, “ ujarnya. Dia mengakui tidak banyak mempelajari tentang sejarah dan filosofi ulos. Namun dimatanya ada keunikan orang Batak dalam memakai ulos. Misalnya ketika orang pergi ke tempat duka cita, ulos yang dikenakan berbeda dan berbeda lagi ketika mereka pergi ke tempat pesta.

Tetapi Tamara juga melihat ‘ keanehan’ para wanita Batak dalam berbusana ke pesta adat perkawinan. “ Lihat saja, dimana-mana pesta perkawinan para wanita Batak justru kebanyakan pake kebaya dan Songket Palembang. Datangnya ke pesta adat Batak tapi pakenya Songket Palembang, “ ujar Tamara menyayangkan. Menurut Tamara hal ini disebabkan belum ada perancang busana Batak yang dianggap betul-betul serius dan berhasil dalam menangani ulos sebagai produk fashion. Tamara kemudian membandingkannya dengan kain Batik Jawa.

“ Lihat Batik Jawa. Batik bisa dijadikan baju sehari-hari tapi juga bisa tampil glamour, tentu karena ada perancang busana yang serius mengerjakannya, “ ujar Tamara mengkritisi kalahnya pamor ulos dalam mode dan produk fashion. Demikian Tamara berbagi pandangannya kepada Tapian.

* Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya dalam majalah budaya Batak, TAPIAN, edisi perdana November 2007.

Gunung Kawi: Alkulturasi Klenik Cina - Jawa


Dengan kekuatan kepercayaan spiritual dan sejarahnya, Gunung Kawi menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Gunung Kawi terletak di sebelah barat kota Malang, tepatnya berada di kecamatan Wonosari, kabupaten Malang, Jawa Timur. Ketinggian Gunung Kawi mencapai 2551 meter. Pesona Gunung Kawi terdapat karena kepopulerannya sebagai tempat sembayang bagi dua etnis sekaligus, yakni etnis tionghoa dan jawa. Puncak keramaian Gunung Kawi akan terasa pada saat Tahun Baru Cina (Imlek) dan Tahun Baru Jawa (Suro). Pada Imlek tahun 2012 (23/1), saya berkesempatan untuk singgah ke Gunung Kawi.

Mendaki Penuntut Nasib; Di Gunung Kawi ini terdapat Kuil Kuan Im yang digunakan untuk sembayang secara Kong Hu Cu. Selain itu terdapat juga ritual giam si yang dipercaya dapat membaca peruntungan atau nasib. Bagi orang Jawa yang percaya, Gunung Kawi dianggap keramat karena terdapat makam Eyang Raden Mas Kyai Zakaria dan Radeng Mas Imam Sujono, pengikut Pangeran Diponegoro yang mengasingkan diri dan menybebarkan ajaran-ajaran spiritual di Gunung Kawi. Berziarah ke makam Eyang Raden Mas Kyai Zakaria dan raden Mas Imam Sujono yang terletak di Gunung Kawi ini, dipercaya dapat mendatangkan keberuntungan.

Pelita Harapan; Pak Paidi warga asli Gunung Kawi yang juga penjaga tempat-tempat wisata ziarah di Gunung Kawi mempersiapkan lilin-lilin yang berada di Kuil Kwan Im. Lilin-lilin tersebut milik orang-orang yang rutin datang ke Gunung Kawi untuk bersembayang. Lilin adalah simbol penerangan bagi pesembayang, dengan menyalakan lilin diharapkan pesembayang selalu diterangi jalan hidupnya. Lilin-lilin tersebut harganya mencapai hingga puluhan juta rupiah, tergantung dari ukurannya. Pesembayang percaya semakin besar lilin yang dinyalakan semakin terang jalan hidupnya.

Mengintip Misteri; Yang sangat populer di Gunung Kawi ini adalah giam si yakni meramal dengan menggunakan nomor. Teknisnya, orang yang ingin diramal mengocok sebuah tabung yang yang berisi beberapa batang kayu yang telah diberi nomor di setiap batangnya sambil memikirkan apa yang ingin diketahui. Orang yang diramal tersebut mengocok hingga jatuh satu batang kayu. Nomor batang kayu yang jatuh itu lah yang menjadi nomor peruntungannya. Arti dari nomor tersebut dapat ditanyakan kepada penjaga ruang giam si.
Meski ramalan ini identik dengan adat Cina, namun di Gunung Kawi penjaga yang membacakan nomor peruntungan  berasal dari warga setempat dan memakai pakaian adat Jawa. Pada saat saya berkunjung ke sana pun, tampak yang mengantri untuk diramal dengan giam si ini tak hanya etnis Cina. Banyak etnis yang bukan Cina ingin juga mencoba membaca nasib melalui giam si.

 http://ganisrumpoko.wordpress.com/tag/giam-si/

Raden Mas Sudjono dan NLP Programming


"Raden mas Sudjono suka membuang kedua cincinya berlian yang diberi nama Pepe dan Telawong di sungai."
....................................................................
Raden Mas Sudjono dan NLP Programming
....................................................................

Sultan Hamengku Buwono I ketika mudanya dan masih berada di Surakarta, sangat suka sekali mengembara di hutan, menuju telaga-telaga, pesisir-pesisir, dan menaiki bukit-bukit kapur di pesisir selatan, dan paling sering mendaki gunung Merapi.
dalam perjalanan ini Beliau tidak memakai pakaian seperti priyayi, tapi cuma memakai pakaian layaknya santri, agar Beliau bisa berdiri di tengah-tengah indahnya alam dan selalu bisa meresapi indahnya alam, menjalani semedi dan tapa brata. Inti dari perenunganya yaitu sangkan paraning dumadi (dari mana dan mau kemana alam raya ini). Selain itu Beliau juga merenungkan masalah-masalah pribadinya yang rumit, yang gawat, yang mengganggu dan meresahkan jiwa.

Tapi apa saja permasalahanya selalu di renungkan dengan dasar penyadaran dari sangkan paraning dumadi ini, karena semua yang ada tentu ada yang mengadakan dan harus ada penyelidikan tentang semua itu.

Selain itu pada saat pengembaraan mempunyai maksud menyatu dengan masyarakyat jelata dalam pakaian seadanya (pakaian rakyat) ini bukan karena sikap romantik saja yang menyatakan bahwa masyarakyat desa lebih suci dari masyarakyat kota.Tapi yang utama yaitu kemlaratan masyarakyat desa ini. dalam petualangan ini Beliau mengutamakan rasa cintanya untuk yang membutuhkan.
Semua renungan yang terbagi dalam bab ekonomi, politik, sosial, budaya atau asmara selalu Beliau dasari dengan kesadaran religius. Bukan berarti bahwa segala renungan itu di cocok-cocokan dengan hukum agama, tapi di dasari oleh kesadaran sangkan paraning dumadi atau disandarkan dalam sumber kejadian nyata.

“Ini adalah salah satu metode latihan untuk melatih niat yang kuat”

dalam latihanya agar menjadi orang dewasa juga melatih menguasai jasmani untuk kepentingan batin, pikiran dan perasaan, caranipun dengan cara praktis seperti orang melatih kuda agar bisa menyatu dengan penunggangnya,yaitu dengan tali kendali.Tali kendali untuk jasmani diserahkan pada batin, yaitu berupa disiplin kerja keras, kesederhanaan hidup, puasa, dan kesetiaan dalam ritme agama. selain ini juga mengutamakan niat yang kuat, karena niat yang kuat ini energi dari rasa cinta yang tinggi. Disebut dalam kitab “cebolek” bahwa tiap hari jumat Raden mas Sudjono suka membuang kedua cincinya berlian yang diberi nama Pepe dan Telawong di sungai waktu malam hari lalu Beliau terjun dalam sungai tadi untuk mencari sampai tinemu lagi meskipun hingga fajar baru di temukan cincin-cincin ini.

Sultan hamengku Buwono I, sebelum menjadi Raja bernama Pangeran Mangkubumi, dan ketika masih mudanya bernama Raden Mas Sudjono. Beliau adalah saudara Sunan Paku Buwono II tapi beda ibu, dan putra dari Susuhunan Amangkurat IV. Saat bergelar pangeran Beliau mengabdi pada Sunan Paku Buwono II ini, di kraton surakarta, dan sesudahnya beliau memberontak dan menang sehingga menjadi Raja Ngayogyakarto Hadining Rat dengan gelar Sultan hamengku Buwono I, pada taun 1775.

http://be4rt.com/budaya/cebolek-hamengku-buwono-i/

…………………………
Apakah NLP itu?
…………………………

Apakah NLP itu? NLP berawal dari tesis seorang mahasiswa, Richard Bandler, dengan profesornya, John Grinder pada tahun tujuh puluhan. Bandler ingin menjawab sebuah pertanyaan mendasar: kenapa seseorang bisa sukses sementara orang lain tidak? Setelah melakukan penelitian secara intens-sistematis, mereka menemukan sebuah jawabannya. Ternyata, orang-orang sukses dalam meraih keberhasilannya memiliki perilaku yang nyaris sama dalam hal strategi-strateginya. Kesemua strategi itu akhirnya dapat dikodifikasikan dan dimodelkan yang pada gilirannya dapat ditiru (dimodel) oleh orang lain yang ingin sukses.

Ada tiga istilah yang harus saya jelaskan secara harfiah. Neuro, berarti sel syaraf otak. Dalam konteks ini, bagaimana sel-sel tersebut mencatat atau merekam informasi di sekitas kita setelah mendapatkan stimulus. Menurut para ahli neuro science, sel syaraf otak kita menerima 4 juta item informasi per detiknya. Informasi itu masuk ke dalam alam pikir kita melalui peran sel-sel syaraf atau akson.

Menurut Pasiak (2204) dalam otak manusia terdapat akson yang berfungsi sebagai pemberi pesan dalam tubuh kita. Akson setelah menerima stimulus dari luar dan diproses melalui dua cara:1) sinyal listrik dan 2) sinyal kimiawi (neurotransmitter). Dengan proses listrik dan biokimiawi inilah informasi yang jumlahnya jutaan itu dicatat dan direkam. Sangat kompleks yang kita rekam, dari apa yang kita lihat, dengar, dan raba/pegang hingga apa yang kita baui dan kita rasakan melalui panca indera. Dengan kata lain, neuro berarti bagaimana sel-sel syaraf otak menerima informasi.

Semua yang kita sensing melalui panca indera itu, pencatannya membutuhkan kebahasaan (linguistic) sebagai alat bantu. Inilah unsur kedua dari pengertian harfiah NLP, yakni linguistic. Tanpa bahasa otak kita tidak bisa mereprentasikan, tidak bisa menggambarkan apa kita alami. Contoh betapa bahasa akan memudahkan kita untuk merepresentasikan sesuatu peristiwa agar pikiran mudah mencatat/merekamnya. Katakanlah Anda mengalami sebuah peristiwa makan pagi misalnya. Tentunya Anda dapat melihat (potret makan pagi) dalam pikiran Anda. Anda juga dapat merasakannya: enak, menyenangkan, membauinya dan mendengarkan tegukan air minumnya.

Semuanya itu tercatat/terekam dengan baik. Gambaran mental, imej terhadap peristiwa makan pagi, masih tercatat dengan baik. Namun problem muncul kemudian ketika Anda ingin menceritakan peristiwa yang menyenangkan itu kepada orang lain. Anda tidak akan bisa menceritakan ulang tanpa bantuan bahasa. Bahasa dengan demikian, satu sisi mempermudah bagaimana pikiran merepresntasikan sebuah peristiwa (representasi internal); pada sisi lain mempermudah bagaimana menceritakan ulang peristiwa tersebut kepada orang lain.
Setelah manusia secara neurologis dapat mengambil informasi, dan melalui bahasa manusia dapat merepresentasikan/mengomukasikannya ke orang lain; manusia dengan akal sehatnya dapat membuat sebuah rencana atau program-program tertentu agar kualitas hidupnya meningkat (sukses). Inilah yang disebut programming dalam NLP. Program-program ini juga tidak lepas dari peran bahasa.

Programming berarti mengacu sebuah rencana tindakan, strategi atau pola perilaku (pattern). Hampir semua tindakan atau aktifitas dapat dipolakan atau diprogramkan. Makan pagi, belajar, bekerja rutin nyaris membutuhkan pola-pola tindakan yang menjadi kebiasaan. Perilaku merokok pun ada pola tindakannya dimulai dari: membeli rokok,membuka, menyulutnya, menghirup dan merasakan kepulan asapnya, buang abu ke asbak hingga membeli lagi bila sudah habis.
Semua pola tindakan yang sudah membiasa, hampir tidak pernah kita kritisi lagi. Apakah pola tindakannya itu, programming-nya itu, dapat mengantarkan pelakunya ke tingkat kehidupan yang lebih baik, atau justru menjerumuskannya. Kebiasaan merokok, programming pikiran yang disebut merokok, nyaris tidak dikritisi lagi apakah justru memberdayakan atau merugikan karena hanya menghasilkan banyak efek negatifnya dari pada efek positifnya.

Programming dapat juga berarti pola pikir yang diaktualisasikan. Bila Anda kebetulan memiliki pola pikir bahwa “bisnis adalah serangkaian tindakan yang penuh resiko”, maka nasib Anda dapat dipastikan tidak akan menjadi seorang pebisnis. Pola pikir, yang dalam NLP disebut programming akan menentukan nasib si pemilik program itu. Bila saya memiliki program bahwa “menulis adalah serangkaian tindakan yang mengasyikkan” maka nasib saya hari ini menjadi penulis.

Programming, merupakan pemandu tindakan menuju hasil. Bila saya memogram pikiran saya bahwa “hidup adalah serangkaian tindakan yang menggairahkan”, nyaris setiap detik aktifitas saya merasa bergairah dan penuh semangat. Anda pun mulai saat ini dapat memrogram pikiran Anda sesuai dengan apa yang ingin Anda inginkan.

Dari uraian di atas, yakni neuro, linguistic, dan programming, dapat diambil simpulannya (generalisasi)-nya. Neuro mengacu pada peran sel-sel syaraf otak dan fungsinya dalam menerima situmulus (informasi) dari luar. Linguistic, lebih terkait erat dengan peran bahasa sebagai media komunikasi dengan diri sendiri (intra-communication) dan inter-communication. Programming menyangkut soal perilaku yang terpola. Apabila menurut Vygotsky3 bahwa bahasa merupakan mental tool yang berguna untuk mengontruksi pengengetahuan (informasi) dan pengembangan diri, maka NLP (berikut peran bahasa) berarti seperangkat alat untuk mengonstruksi atau memogram pikiran (mental) agar seseorang bisa berkembang dan sukses.

Definisi

Banyak definisi tentang NLP. Ada yang menyebut psikologi ekselensi. Ini tidak lepas karena melalui teknik-teknik NLP seseorang memungkin dirinya akan tumbuh menjadi manusia excellent. Dari tidak tahu potensi dirinya yang tersmipan di pikiran bawah sadar menjadi sadar untuk mengoptimakannya.
Sebagain penulis NLP mendefinisikan sebagai studi tentang subjective experience. Ini terkait dengan pengalaman subjektif atau persepsi subjektif seseorang terhadap suatu peristiwa. Adalah sangat mungkin persepsi subjektifnya seseorang berbeda terhadap peristiwa yang sama. Contohnya, huruf “C” dapat dibaca cekung atau cembung sama-sama benarnya, tergantung sudut pandang pembaca. Satu gelas berisi air setengahnya, dapat dikatakan “setengah isi” atau “setengah kosong”. Masing-masing benar menurut sudut pandang subjektifnya.
Terkait dengan subjective experience, seseorang memandang bisnis sebagai aktifitas yang sangat menyenangkan, sebagaian lagi memandangnya sebagai hal yang memusingkan dan penuh resiko. Peristiwanya sama, yakni bisnis, namun persepesinya berbeda. Perbedaan ini tidak lepas dari nilai-nilai dan kepercayaan (belief) yang dimilikinya sebagai filternya. NLP sangat peduli dengan hal ini, yakni merubah sudut pandang yang keliru atas suatu hal secara ekologis dan nilai-nilai individual.

Sebagian lagi mendefinisikan NLP studi yang mempelajari teknik-teknik untuk merealisasikan program pikiran menjadi kenyataan. Atau mind to real (mind to muscle). Program yang kita rencanakan seringkali tidak jalan, tidak menjadi kenyataan. Hal ini karena apa yang kita programkan, apa yang kita pikirkan, belum sepenuhnya dijalankan oleh tubuh kita. Belum ada sinkronisasi antara program dalam pikiran dengan tubuh sebagai pelaksana. NLP mencoba memberikan teknik-teknik agar pikiran dan tubuh terjadi sinkronisasi. Sebab, sepanjang apa yang kita pikirkan belum membodi, belum menjasi badai biokimiawi yang memungkinkan tubuh menjadi siap melaksanakannya, maka apa yang kita pikirkan sulit untuk direalisasikan.
Dari sekian definisi, ada satu definisi yang menurut saya cukup representatif untuk mamahami apa itu NLP. Coolingwood (2005) mendefinisikannya “ NLP studies the way people take information from the world, how they describe it to themselves with their senses, filter it with their beliefs and value and act on the result”.

Dari definisi Coolingwood tersebut di atas bahwa NLP merupakan studi tentang: Pertama, bagaimana manusia mengabil informasi dari dunia sekitar melalui interaksi dan stimulus. Hasilnya, yakni sensing melalui apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan diolah oleh cortex dengan neuro-transmiternya, mengubahnya menjadi informasi yang tersimpan di pikiran. Apa yang tercatat dan tersimpan itu disebut representasi internal.

Kedua, bagaimana apa yang sudah direprenatasikan itu dapat dipahami oleh dirinya. Tentunya tingkat pemahamananya sangat subjektif –maka disebut subjective experience—sifatnya menurut tingkat pendidikan, kepercayaan/keyakinan,dan nilai-nilai subjektif lainnya. Menurut hemat saya, tidak saja bagaimana apa yang direpresentasikan itu dapat dipahami oleh diri sendir, tetapi bagaimana dapat dipahami oleh orang lain. Di sinilah pentingnya peran kebahasaan (linguistic). Apa yang Anda alami dalam hidup ini tidak cukup untuk dirinya sendiri tetapi akan lebih bermakna bila dikomunikasikan dengan orang lain melalui bahasa.

Ketiga, bagaimana hasil dari pemahaman itu. Atau bagaimana apa yang direprensentasikan ke dalam pikiran itu menjadi lebih bermanfaat untuk dirinya dan orang lain. Sebuah pengalaman, sebuah pemahaman subjektif bukanlah berakhir pada pemahaman itu sendiri, melainkan kebermanfaatan bagi dirinya dan orang lain jauh lebih penting. Sebuah pengalaman memasak misalnya kurang bermanfaat bila hanya diimpan dalam pikiran sebagai arsip. Namun apa bila dipraktikkan, take action, akan menjadi lebih bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
NLP sangat peduli dengan “acting on the result”, bukan hanya sekedar memahami dunia di sekilingnya, melainkan bagaimana semua pengalaman yang kita miliki menjadi kekuatan, menuju manusia sukses. Maka tidak heran kalau para ahli NLP menyebut NLP adalah program pikiran menjadi kenyataan, from mind to real. Singkatnya, bagaimana sebuah program pikiran benar-benar mem-body sehingga menjadi perilaku sukses.
http://portalnlp.com/pengertian-dan-definisi-nlp/

..........
Tirakat
..........

Manusia jawa(tiyang Jawi) pada umumnya rela /mau dengan sengaja,  menempuh kesukaran dan ketidaknyamanan untuk maksud-maksud ritual dalam  budaya ritual keagamaan, yang berakar dari pikiran bahwa usaha-usaha seperti  itu dapat membuat orang teguh imannya dan mampu mengatasi kesukarankesukaran,  kesedihan dan kekecewaan dalam hidupnya. Mereka juga bahwa  orang bisa menjadi lebih tekun, dan terutama bahwa orang yang telah  melakukan usaha semacam itu kelak akan mendapatkan pahala.Tirakat kadangkadang  dijalankan dengan berpantang makan selain nasi putih saja (Mutih) pada  hari senin dan kamis, dengan jalan berpuasa pada bulan puasa (Siyam) ada  terkadang juga berpuasa selama beberapa hari (Nglowong) menjelang hari-hari  besar Islam, seperti pada Bakda Besar (Bulan pertama menurut perhitungan  orang Jawa), yaitu bulan Sura. Orang Jawa juga mempunyai adat untuk hanya  makan sedikit sekali (tidak lebih daripada yang dapat dikepal dengan satu  tangan) ngepel, untuk jatah makannya selama satu atau dua hari, atau adat  untuk berpuasa dan menyendiri dalam suatu ruangan (ngebleng), bahkan ada  juga yang melakukannya di dalam suatu ruangan yang gelap pekat, yang tidak  dapat ditembus oleh sinar cahaya (patigeni)  Tirakat dapat juga dijalankan pada saat-saat khusus, misalnya pada waktu  orang menghadapi suatu tugas berat, waktu mengalami krisis dalam keluarga,  jabatan, atau dalam hubungan dengan orang lain, tetapi dapat juga pada waktu  suatu masyarakat atau negara berada dalam suatu masa bahaya, pada waktu  terkena bencana alam, epidemi dan sebagianya. Dalam keadaan seperti itu  melakukan tirakat dapat dianggap sebagai tanda rasa prihatin yang dianggap  perlu oleh orang Jawa bila seseorang berada dalam keadaan bahaya.

..............................
Bertapa ( Tapabrata )
..............................

Tapabrata dianggap oleh para penganut Agami Jawi sebagai suatu hal yang sangat penting, Dalam kesusateraan kuno orang kuno, konsep tapa dan tapabrata diambil langsung dari konsep Hindu tapas, yang berasal dari bukubuku Veda. Selama berabad-abad para pertapa dianggap sebagai orang keramat, dan anggapan bahwa dengan menjalankan kehidupan yang ketat dengan disiplin tinggi, serta mampu menahan hawa nafsu, orang dapat mencapi  tujuan-tujuan yang sangat penting. Dalam cerita-cerita wayang kita sering dapat menjumpai adanya tokoh pahlawan yang menjalankan tapa. Orang jawa mengenal berbagai cara bertapa, dan cara-cara itu telah disebutkan oleh J. Knebel (1897 : 119-120 ) dalam karangannya mengenai kisah Darmakusuma, murid dari seorang wali di abad ke 16, berbagai cara menjalankan tapa adalah :

1.Tapa ngalong, dengan bergantung terbalik, dengan kedua kaki diikat pada dahan sebuah pohon.
2.Tapa nguwat, yaitu bersamadi disamping makam ( nenek-moyang anggota keluarga, atau orang keramat, untuk suatu jangka waktu tertentu.
3.Tapa bisu, dengan menahan diri untuk tidak berbicara, cara bertapa semacam ini biasanya didahului oleh suatu janji.
4.Tapa bolot, yaitu tidak dan tidak membersihkan diri selama jangka waktu tertentu.
5.Tapa ngidang, dengan jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan.
6.Tapa ngramban, dengan menyendiri di dalam hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan
7.Tapa ngambang, dengan jalan meremdam diri di tengah sungai selama beberapa waktu yang sudah ditentukan.
8.Tapa ngeli, adalah cara bersamadi dengan membiarkan diri dihanyutkan arus air di atas sebuah rakit.
9.Tapa tilem, dengan cara tidur untuk suatu jangka waktu tertentu tanpa makan apa-apa.
10.Tapa mutih, yaitu hanya makan nasi saja, tanpa lauk pauk.
11.Tapa mangan, dilakukan dengan jalan tidak tidur, tetapi boleh makan.

Ketiga jenis tapa yang tersebut terakhir, sebenarnya juga dilakukan oleh orangorang yang hanya menjalankan tirakat aja, oleh karena itu batas antara tirakat dan tapabrata itu tidak begitu jelas. Walaupun demikian bahwa kita harus memperhatikan bahwa ke 11 jenis tapabrata itu jarang dilakukan secara terpisah, semua biasanya dijalankan dengan tata urut tersendiri, atau dilakukan dengan cara menggabung-gabungkan. Oleh karena itu tapa semacam itu mirip dengan tapas pada orang hindu dahulu, sehingga dengan demikian ada suatu perbedaan fungsional antara tirakat dan tapabrata. Namun sering terjadi bahwa orang melakukan tapabrata bersamaan dengan samadi, dengan maksud untuk memperoleh wahyu. Tentu saja tujuan dari tapa semacam ini adalah untuk mendapatkan kenikmatan duniawian, akhirnya perlu disebutkan bahwa pada orang Jawa tapa merupakan salah satu cara penting dan utama untuk bersatu dengan Tuhan.

...............................
Meditasi atau Semedi
...............................

Bahwa meditasi dan tapa adalah sama, serta perbedaan antara keduanya hanya terletak pada intensitas menjalankannya saja. Teknik-teknik serta latihanlatihan untuk melakukan meditasi ada bermacam-macam, yaitu dari yang sangat sederhana, seperti memusatkan perhatian pada titik-titik hujan yang jatuh ditanah, hingan yang sukar dan berat dijalankan, seperti menatap cahaya yang terang benderang dari dalam sebuah gua yang gelap ditepi pantai, dengan gemuruh ombak sebagai latar belakangnya, sambil berdiri dengan posisi yang sukar selama 12 jam berturut-turut. Meditasi atau semedi memang biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata, orang yang melakukan tapa ngeli misalnya, tidak hanya duduk diatas rakitnya saja sambil mbengong, tidak berbuat apa-apa, ia biasanya juga bermeditasi. Sebaliknya meditasi seringkali juga dijalankan bersama dengan suatu tindakan keagamaan lain, misalnya dengan berpuasa atau tirakat. Maksud yang ingin dicapai dengan bermeditasi itu ada bermacam-macam, misalnya untuk memperoleh kekuatan iman dalam menghadapi krisis sosial ekonomi atau sosial politik, untuk memperoleh kemahiran berkreasi atau memperoleh kemahiran dalam kesenian, untuk mendapatkan wahyu, yang memungkinkannya melakukan suatu pekerjaan yang penuh tanggung jawab atau untuk menghadapi suatu tugas berat yang dihadapinya. Namun banyak orang melakukan meditasi untuk memperoleh kesaktian ( kasekten ) disamping untuk menyatukan diri dengan sang Pencipta.

Laku Masyarakat Kejawen


Tirakat

Manusia jawa(tiyang Jawi) pada umumnya rela /mau dengan sengaja,  menempuh kesukaran dan ketidaknyamanan untuk maksud-maksud ritual dalam  budaya ritual keagamaan, yang berakar dari pikiran bahwa usaha-usaha seperti  itu dapat membuat orang teguh imannya dan mampu mengatasi kesukarankesukaran,  kesedihan dan kekecewaan dalam hidupnya. Mereka juga bahwa  orang bisa menjadi lebih tekun, dan terutama bahwa orang yang telah  melakukan usaha semacam itu kelak akan mendapatkan pahala.Tirakat kadangkadang  dijalankan dengan berpantang makan selain nasi putih saja (Mutih) pada  hari senin dan kamis, dengan jalan berpuasa pada bulan puasa (Siyam) ada  terkadang juga berpuasa selama beberapa hari (Nglowong) menjelang hari-hari  besar Islam, seperti pada Bakda Besar (Bulan pertama menurut perhitungan  orang Jawa), yaitu bulan Sura. Orang Jawa juga mempunyai adat untuk hanya  makan sedikit sekali (tidak lebih daripada yang dapat dikepal dengan satu  tangan) ngepel, untuk jatah makannya selama satu atau dua hari, atau adat  untuk berpuasa dan menyendiri dalam suatu ruangan (ngebleng), bahkan ada  juga yang melakukannya di dalam suatu ruangan yang gelap pekat, yang tidak  dapat ditembus oleh sinar cahaya (patigeni)  Tirakat dapat juga dijalankan pada saat-saat khusus, misalnya pada waktu  orang menghadapi suatu tugas berat, waktu mengalami krisis dalam keluarga,  jabatan, atau dalam hubungan dengan orang lain, tetapi dapat juga pada waktu  suatu masyarakat atau negara berada dalam suatu masa bahaya, pada waktu  terkena bencana alam, epidemi dan sebagianya. Dalam keadaan seperti itu  melakukan tirakat dapat dianggap sebagai tanda rasa prihatin yang dianggap  perlu oleh orang Jawa bila seseorang berada dalam keadaan bahaya.


Bertapa ( Tapabrata )

Tapabrata dianggap oleh para penganut Agami Jawi sebagai suatu hal yang sangat penting, Dalam kesusateraan kuno orang kuno, konsep tapa dan tapabrata diambil langsung dari konsep Hindu tapas, yang berasal dari bukubuku Veda. Selama berabad-abad para pertapa dianggap sebagai orang keramat, dan anggapan bahwa dengan menjalankan kehidupan yang ketat dengan disiplin tinggi, serta mampu menahan hawa nafsu, orang dapat mencapi  tujuan-tujuan yang sangat penting. Dalam cerita-cerita wayang kita sering dapat menjumpai adanya tokoh pahlawan yang menjalankan tapa. Orang jawa mengenal berbagai cara bertapa, dan cara-cara itu telah disebutkan oleh J. Knebel (1897 : 119-120 ) dalam karangannya mengenai kisah Darmakusuma, murid dari seorang wali di abad ke 16, berbagai cara menjalankan tapa adalah :
1.Tapa ngalong, dengan bergantung terbalik, dengan kedua kaki diikat pada dahan sebuah pohon.
2.Tapa nguwat, yaitu bersamadi disamping makam ( nenek-moyang anggota keluarga, atau orang keramat, untuk suatu jangka waktu tertentu.
3.Tapa bisu, dengan menahan diri untuk tidak berbicara, cara bertapa semacam ini biasanya didahului oleh suatu janji.
4.Tapa bolot, yaitu tidak dan tidak membersihkan diri selama jangka waktu tertentu.
5.Tapa ngidang, dengan jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan.
6.Tapa ngramban, dengan menyendiri di dalam hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan
7.Tapa ngambang, dengan jalan meremdam diri di tengah sungai selama beberapa waktu yang sudah ditentukan.
8.Tapa ngeli, adalah cara bersamadi dengan membiarkan diri dihanyutkan arus air di atas sebuah rakit.
9.Tapa tilem, dengan cara tidur untuk suatu jangka waktu tertentu tanpa makan apa-apa.
10.Tapa mutih, yaitu hanya makan nasi saja, tanpa lauk pauk.
11.Tapa mangan, dilakukan dengan jalan tidak tidur, tetapi boleh makan.

Ketiga jenis tapa yang tersebut terakhir, sebenarnya juga dilakukan oleh orangorang yang hanya menjalankan tirakat aja, oleh karena itu batas antara tirakat dan tapabrata itu tidak begitu jelas. Walaupun demikian bahwa kita harus memperhatikan bahwa ke 11 jenis tapabrata itu jarang dilakukan secara terpisah, semua biasanya dijalankan dengan tata urut tersendiri, atau dilakukan dengan cara menggabung-gabungkan. Oleh karena itu tapa semacam itu mirip dengan tapas pada orang hindu dahulu, sehingga dengan demikian ada suatu perbedaan fungsional antara tirakat dan tapabrata. Namun sering terjadi bahwa orang melakukan tapabrata bersamaan dengan samadi, dengan maksud untuk memperoleh wahyu. Tentu saja tujuan dari tapa semacam ini adalah untuk mendapatkan kenikmatan duniawian, akhirnya perlu disebutkan bahwa pada orang Jawa tapa merupakan salah satu cara penting dan utama untuk bersatu dengan Tuhan.


Meditasi atau Semedi.

Bahwa meditasi dan tapa adalah sama, serta perbedaan antara keduanya hanya terletak pada intensitas menjalankannya saja. Teknik-teknik serta latihanlatihan untuk melakukan meditasi ada bermacam-macam, yaitu dari yang sangat sederhana, seperti memusatkan perhatian pada titik-titik hujan yang jatuh ditanah, hingan yang sukar dan berat dijalankan, seperti menatap cahaya yang terang benderang dari dalam sebuah gua yang gelap ditepi pantai, dengan gemuruh ombak sebagai latar belakangnya, sambil berdiri dengan posisi yang sukar selama 12 jam berturut-turut. Meditasi atau semedi memang biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata, orang yang melakukan tapa ngeli misalnya, tidak hanya duduk diatas rakitnya saja sambil mbengong, tidak berbuat apa-apa, ia biasanya juga bermeditasi. Sebaliknya meditasi seringkali juga dijalankan bersama dengan suatu tindakan keagamaan lain, misalnya dengan berpuasa atau tirakat. Maksud yang ingin dicapai dengan bermeditasi itu ada bermacam-macam, misalnya untuk memperoleh kekuatan iman dalam menghadapi krisis sosial ekonomi atau sosial politik, untuk memperoleh kemahiran berkreasi atau memperoleh kemahiran dalam kesenian, untuk mendapatkan wahyu, yang memungkinkannya melakukan suatu pekerjaan yang penuh tanggung jawab atau untuk menghadapi suatu tugas berat yang dihadapinya. Namun banyak orang melakukan meditasi untuk memperoleh kesaktian ( kasekten ) disamping untuk menyatukan diri dengan sang Pencipta


Nulada laku utomo,
Tumrape wong tanah jawi
Wong Agung hing ngeksi ganda Panembahan Senopati
Kapati hamarsudi,sudane howo lan nepsu
Pinesu topobroto,tanapihing siang ratri
Amemangun karianak tyasing sasomo
Samangsane pasamuan,
Memangun martomartani,
Sinambi hing saben masa,kalakalaning asepi
Lelana teki teki,ngayuh geyoganing kayun,
Kayungnyun heninging tyas ,sanetyasa pinrihatin
Punguh pangah cegah dahar lawan nindra
Saben nindri saking wisma
Lelono laladan sepi
Ngisep sepuhing supana,mrih prana pranaweng kapti
Titising tyas marsudi , mardawaning budi tulus
Mesu reh masudarman ,neng tepining jolo nidhi
Sruning brata kataman wahyu jatmiko
Dlepih (petilasaan tarekat sang Panembahan)

jika anda disuruh memilih antara ilmu dan harta, mana yang akan anda pilih?


Suatu hari, sahabat Ali bin Abi Thalib ditanya oleh seseorang. “Wahai Ali, jika anda disuruh memilih antara ilmu dan harta, mana yang akan anda pilih?” Dengan mantap Ali bin Abi Thalib r.a. menjawab, “tentu saja aku pilih ilmu.” Orang tersebut bertanya lagi, “mengapa engkau memilih ilmu?” Ali menjawab “sebab, setidaknya ada tiga kelebihan ilmu dibandingkan dengan harta.”

Pertama, ilmu bila diberikan pada orang lain, maka ilmu tersebut akan bertambah, sedangkan harta bila diberikan pada orang lain pasti akan berkurang. Penjelasan dari pernyataan Ali tersebut adalah demikian, bila kita memiliki suatu ilmu, misalnya bacaan. Bila kita berikan (ajarkan) bacaan tersebut pada orang lain, maka bacaan yang kita berikan itu akan dihafal oleh orang yang kita beri tadi, dan bertambah banyaklah orang yang memiliki ilmu tentang bacaan, dan semakin mantap pula hafalan kita akan bacaan tersebut. Tidak lantas setelah kita memberikan bacaan tersebut pada orang lain, separuh atau seluruh hafalan kita tentang bacaan hilang dan habis karena telah diberikan pada orang lain. Tidak demikian bukan? Namun sebaliknya, jika kita memiliki suatu harta, uang Rp. 10.000 misalnya, jika kita berikan separuh dari uang tersebut pada oarang lain, maka jelas uang di tangan kita akan berkurang. Itulah keutamaan ilmu yang pertama dibandingkan dengan harta.

Kedua, kata Imam Ali, ilmu akan selalu menjaga kita, sedangkan harta, kita yang harus menjaganya. Maksudnya adalah, semakin banyak ilmu yang dimiliki seseorang, maka (seharusnya) semakin terjaga orang tersebut dari hal-hal yang bisa membahayakan dirinya, misalnya seorang yang memiliki ilmu beladiri, dia akan lebih terjaga dari serangan perampok yang masuk ke rumahnya untuk mengambil harta bendanya. Bahkan mungkin dengan ilmu bela dirinya tersebut, dia berhasil menangkap dan menghajar perampok tersebut. Kesempatan tersebut tentu berbeda dengan orang yang tidak memiliki ilmu bela diri. Sangat mungkin orang tersebut hanya akan diam dan mungkin saja malah dibunuh oleh perampok tersebut agar lebih mudah mengambil harta bendanya.

Sedangkan harta, semakin banyak harta yang kita miliki, maka semakin sibuk pula kita berusaha untuk menjaganya dari incaran orang-orang yang ingin merampas harta tersebut. Mulai dari pencuri yang selalu menanti kelengahan kita di setiap malam, perampok yang datang sewaktu-waktu dll. Pendek kata, semakin banyak harta yang kita miliki, bukanya semakin tenang hati kita, tapi sebaliknya, hati kita dibuat semakin cemas, resah dan takut akan kehilangan harta tersebut.

Ketiga, ilmu tidak akan pernah bisa dicuri atau dirampas dari diri kita, kecuali bila kita memberikannya secara suka rela. Sedangkan harta, ia bisa hilang karena dicuri atau dirampas oleh orang lain meskipun kita tidak rela memberikannya. Jarang sekali, bahkan tidak pernah kita jumpai seseorang yang berteriak-teriak dengan histeris karena merasa kehilangan ilmu, atau seseorang yang bersedih hati karena merasa ilmunya telah dirampas oleh orang lain secara paksa. Namun banyak sekali kita jumpai, baik itu di televisi, di surat kabar atau bahkan di lingkungan kita sendiri, orang-orang yang menangisi hartanya yang hilang baik itu karena dirampas perampok atau diambil pencuri, atau yang hartanya lenyap karena Bencana alam dan masih banyak jalan lain yang dapat menyebabkan seseorang kehilangan hartanya.

Itulah tiga kelebihan ilmu bila dibandingkan dengan harta menurut Imam Ali r.a., seorang sahabat yang ‘alim dan yang pernah berkata bahwa setiap orang, siapapun dia, jika memberinya suatu ilmu walaupun hanya satu pengetahuan kecil, maka beliau akan menganggap orang tersebut adalah guru beliau. Tentu saja masih banyak lagi kelebihan-kelebihan ilmu lainya dibandingkan harta, selain dari pendapat Imam Ali yang telah kita bahas di atas. Dan satu lagi ungkapan Imam Ali yang paling populer, statemen beliau yang berbunyi, “aku lebih senang mempuyai musuh yang cerdik dari pada memiliki sahabat yang bodoh!”

dalam riwayat lain Ali r.a. menerangkan 10 keutamaan ilmu di banding harta saat di tanya oleh 10 pemuka kawarij yang berbeda.

Urgensi UUD Pasal 33 dan Monyet Darwin

 Saya sering ditanya tentang urgensi UUD pasal 33 yang bunyinya "

Pasal 33 (ayat 3) "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."

Lalu ada:

"Freeport berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 miliar dolar AS. Menurut Freeport, keberadaannya memberikan manfaat langsung dan tidak langsung kepada Indonesia sebesar 33 miliar dolar dari tahun 1992–2004. Angka ini hampir sama dengan 2 persen PDB Indonesia. Dengan harga emas mencapai nilai tertinggi dalam 25 tahun terakhir, yaitu 540 dolar per ons, Freeport diperkirakan akan mengisi kas pemerintah sebesar 1 miliar dolar."

Sehingga monyet2 Hitam yg merasa memiliki tanah menganggap bahwa nenek moyang merekalah pemilik sah dari isi perut bumi yang di rompak oleh PT. Freeport. Sehingga monyet2 hitam itu memberontak dan melakukan rusuh bersenjata selama dasawarsa.

Solusi yang saya tawarkan gampang saja, Kurikulum dari SD, SMP, SMA - Perguruan Tinggi wajib mengajarkan realisme evolusi, evolusi sosial kemasyarakatan, evolusi kebudayaan dan evolusi inteligensi. Monyet2 yang sehari2 hidup telanjang dan mabuk2an tidak berhak sepeserpun atas pengelolaan tambang yang membutuhkan kualitas sumber daya manusia berpendidikan tinggi  padat modal dan resiko. Sehingga untuk monyet yang nggak faham statistik, mineragrafi, petrografi, geofisika, Topografi, analisis geologi sampling, berat jenis massa tanah, maka mereka  cukup dikasihkan pisang satu tandan saja .. .. LHO !?

AYO KALAU MAU PANJANG UMUR KUDU BELAJAR HUKUM DARWIN NAK .. ..

~Yz~ (Pengamat kultur & budaya)

http://www.charlesdarwinresearch.org/

Bagaimana Hukum Menggulingkan Pemerintah Zalim ?


Pertanyaan:
Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Ustadz Farid. Mau tanya apakah benar menggulingkan pemerintahan muslim meskipun zalim itu haram seperti yang terjadi di Mesir sekarang? (Dari 083899369xxx)


Jawaban:
                Wa ‘Alaikum salam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala aalihi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:
Penguasa yang zalim lantaran ia banyak penyimpangan dan pelanggaran, fasiq, korup, otoriter, kesesatan, kufur, menentang hukum Allah Azza wa Jalla. Selalu ada sejak pasca masa-masa khulafa’ur rasyidin hingga sekarang. Mereka memusuhi ulama dan para da’i Islam, bahkan mengejar, mengirim mata-mata, memenjarakan dan membunuhnya, namun ada pula yang justru ‘dibeli’ untuk kepentingan status quonya. Para ulama dan da’i tersebut menjadi skrup penguat kedudukan penguasa tersebut. Namun, pada umumnya para ulama dan da’i selalu berseberangan dan menjadi penentang utama penguasa yang zalim, bahkan manusia secara umum tidak akan sejalan dengan penguasa seperti itu.     
     
Bagaimana Islam menyikapi penguasa yang zalim? Paling tidak, ada tiga tahapan yang bisa dilakukan untuk menyikapinya. Pertama, menasehatinya dengan hikmah dan pelajaran yang baik agar ia kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Kedua, tidak mentaatinya sampai penguasa itu taat kembali kepada Allah dan rasulNya. Ketiga, mencopotnya dari jabatannya. Namun yang terakhir ini diperselisihkan legalitasnya. Bahkan ada yang tega menuduh upaya mencopot penguasa yang zalim merupakan perilaku khawarij, yang dahulu pernah memberontak kepada Ali radhiallahu ‘anhu.
Sikap-sikap ini akan kita lihat paparannya menurut Al Qur’an, As Sunnah AS Shahihah, dan pandangan ulama ternama masa lalu. 
Sikap Pertama. Memberikan Nasihat 
Memberikan nasihat kepada penguasa zalim merupakan perintah klasik Allah Jalla wa ‘ Ala kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimas salam untuk meluruskan kezaliman Fir’aun. Ini menunjukkan bahwa nasihat dan ajakan kepada kebaikan merupakan upaya penyembuhan pertama bagi penguasa zalim, bahkan bagi siapa saja yang menyimpang. Para fuqaha’ sepakat bahwa hukuman di dunia bagi orang yang meninggalkan shalat secara sengaja baru bisa ditegakkan bila ia enggan bertaubat setelah diperintahkan untuknya bertaubat. Memerangi orang kafir pun baru dimulai ketika da’wah telah ditegakkan, namun mereka membangkang.

Allah Ta’ala berfirman:
“Pergilah engkau (Musa) kepada Fir’aun karena ia telah thagha” (QS. Thaha:24, Qs. An Nazi’at: 17)
“Pergilah engkau berdua (Musa dan Harun) kepada Fir’aun karena ia telah thagha” (QS. Thaha: 43)
Thagha (طغى ) adalah melampaui batas dalam kesombongan dan melakukan penindasan (diktator) (Khalid Abdurrahman Al ‘Ak, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim, hal. 313) juga berarti menyimpang dan sesat (ibid, hal. 314) dan kufur kepada Allah ‘Azza wa Jalla (Ibid, hal. 584)

Berkata Imam Ibnu Katsir -rahimahullah “Maksudnya (Fir’aun) telah melakukan penindasan dan menyombongkan diri.” (Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul Azhim, 4/ 468)

Beliau juga berkata, “Pergilah engkau (Musa) kepada Fir’aun, penguasa Mesir, yang telah mengusir dan memerangimu, ajaklah ia untuk ibadah kepada Allah satu-satunya, tiada sekutu bagiNya, dan hendaknya ia berbuat baik kepada Bani Israel, jangan menyiksa mereka. Sesungguhnya ia telah melampaui batas dan membangkang, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia dan melupakan Rabb yang Maha Tinggi.” (Ibid, 3/146)

Jadi, ada alasan yang jelas kenapa Fir’aun harus diluruskan karena ia melampaui batas, sombong, menindas, sesat, kufur dan membangkang kepada Allah Ta’ala. Inilah ciri khas penguaza zalim, bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja dan kapan saja.

Mengutarakan nasihat dan kalimat yang haq kepada penguasa yang zalim merupakan amal mulia, bahkan disebut sebagai afdhalul jihad (jihad paling utama) (HR. Abu Daud No. 4344. At Tirmidzi No hadits. 2265. Katanya: hadits ini hasan gharib. An Nasa’i No. 4209, Ibnu Majah, No. 4011.  Ahmad No. 10716. Dalam riwayat Ahmad tertulis Kalimatul haq (perkataan yang benar).  Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini dalam berbagai kitabnya, seperti Shahihul Jami’ No. 1100, 2209, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2174, Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4344, Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 4011, dan Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 4209)

Bahkan  jika ia mati terbunuh karena amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa yang zalim maka ia termasuk penghulu para syuhada, bersama Hamzah bin Abdul Muthalib.  (HR. Al Hakim No. 4884. Ia nyatakan shahih, tetapi Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya.  Adz Dzahabi menyepakatinya. Syaikh Al Albany mengatakan hasan, dia memasukkannya dalam kitabnya As Silsilah Ash Shahihah, Juz.  No. 374)

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad Dari radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Agama itu nasihat”, Kami bertanya, “Bagi siapa?”, beliau menjawab, “Bagi Allah, KitabNya, RasulNya, Imam-Imam kaum muslimin dan orang-orang umumnya. “ (HR. Muslim  No. 55, At Tirmidzi No. 1990, Ad Darimi No. 2754, Ibnu Hibban No. 4574)
 Nasihat yang bagaimana?

Nasihat berasal dari kata nashaha ( ( نصحyang biasa diterjemahkan menasehati. Dalam Lisanul ‘Arab disebutkan Nashaha Syai’ adalah Khalasha (memurnikan/membersihkan). (Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 2/615. Dar Shadir). Jadi, nasihat merupakan upaya pembersihan terhadap kotoran, kesalahan, dan dosa, yang harus dilakukan dengan cara bersih pula.

Tentang da’wah terhadap Fir’aun Allah Ta’ala berfirman:

“Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun karena ia telah melampaui batas. Lalu katakanlah untuknya kalimat yang lemah lembut, agar ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 43-44)

Subhanallah! Terhadap fir’aun yang super zalim, Allah Tabaraka wa Ta’ala memerintahkan dua orang utusanNya menda’wahi dengan kata-kata yang lemah lembut (qaulan layyinan), bukan dengan menghardik dan merendahkannya. Sebab -pada hakikatnya- dengan kezaliman yang diperbuatnya, posisinya sudah rendah di mata rakyatnya, dan Allah pun telah merendahkannya. Adapun menda’wahi dengan kekasaran ucapan dan sikap, justru semakin membuatnya keras dan sombong, bahkan ia memiliki bala tentara untuk memberangus lawan-lawannya. Tentunya ini tidak membawa kebaikan bagi da’wah.

Apa tujuannya? ..agar ia ingat dan takut. Ya, agar ia ingat untuk kembali (taubat) dan meninggalkan kesesatannya (Shafwatul Bayan, hal. 314) bukan agar binasa dan berakhir kekuasaannya. Sebab bila masih ada kesempatan untuk menjadi orang baik, maka upaya menasihati dengan bijak adalah lebih utama.
Imam Ibnu Qudamah meriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hambal radhiallahu ‘anhu ucapannya, “Janganlah sekali-kali engkau menentang penguasa, karena pedangnya selalu terhunus. Tentang apa yang dilakukan orang-orang salaf (terdahulu) yang berani menentang para penguasa, karena para penguasa itu enggan kepada ulama. Jika para ulama itu datang, maka mereka akan menghormati dan tunduk kepada mereka.” (Minhajul Qashidin, hal. 160. Pustaka Al Kautsar, cet. 1. Oktober 1997)

Namun demikian, betapapun lemah lembutnya menda’wahi penguasa yang zalim, konsistensi terhadap kebenaran, tidak basa-basi dengan penyimpangan, adalah sikap yang harus terus dijaga. Sebab biasanya bila sudah memasuki pintu-pintu penguasa maka keberanian manusia jauh berkurang, terjadi banyak pemakluman terhadap kedurhakaannya, dan tidak enak hati, itulah sebabnya Nabi Musa ‘Alaihis salam berdo’a ketika hendak menda’wahi Fir’aun, Rabbisyrahli shadri wa yassirli amri (Tuhanku lapangkan dadaku, mudahkan urusanku)…dst dan ia juga minta kepada Allah Jalla wa ‘Ala berupa bantuan saudaranya, Nabi Harun ‘Alaihis salam, agar kekuatannya bertambah. 
Sangat banyak kisah salafus shalih yang enggan mendekati pintu-pintu istana khawatir fitnah yang dilahirkannya. Namun tidak sedikit pula salafus shalih yang berani amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa.
Beberapa kisah nasihat untuk para Penguasa 
Said bin Amir pernah berkata kepada khalifah Umar bin al Khathab radhiallahu ‘anhu, “Sesungguhnya aku akan memberimu nasihat, berupa kata-kata Islam dan ajaran-ajarannya yang luas maknanya: Takutlah kepada Allah dalam urusan manusia dan janganlah takut kepada manusia dalam urusan Allah, janganlah perkataanmu berbeda dengan perbuatanmu, karena sebaik-baik perkataan adalah yang dibenarkan perbuatan. Cintailah orang-orang muslim yang dekat dan jauh seperti engkau cintai bagi dirimu dan anggota keluargamu. Tuntunlah kebodohan kepada kebenaran selagi engkau mengetahuinya. Janganlah takut celaan orang-orang yang suka mencela.” 
Umar bertanya, “Lalu siapa orang yang bisa berbuat seperti itu wahai Abu Said?”
Dia menjawab,”Siapa yang bisa memanggul di atas pundaknya seperti siapa yang memanggul di atas pundakmu.”
Ada seorang tua renta dari Al Azd yang memasuki tempat tinggal khalifah Mu’awiyah, lalu dia berkata kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah wahai Mu’awiyah, dan ketahuilah setiap hari ada yang keluar dari dirimu dan setiap malam ada yang dating kepadamu, yang tidak memberi tambahan bagi dunia melainkan semakin jauh dan tidak menambahkan bagi akhirat melainkan semakin dekat. Di belakangmu ada yang mencari dan engkau tidak bisa mengelak darinya. Engkau telah mendapatkan ilmu yang tidak bisa engkau lewatkan. Betapa cepat ilmu yang engkau dapat. Betapa cepat yang mencarimu akan menghampirimu. Apa yang ada pada dirimu akan segera berlalu, sementara yang akan kita datangi tetap abadi. Kebaikan pasti akan dibalas kebaikan dan kejelekan pasti akan dibalas dengan kejelekan pula.”
Suatu kali khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata kepada Abu Hazim, “Berilah aku nasihat!”
Abu Hazim berkata, “Kalau begitu tidurlah telentang, kemudian anggaplah seakan-akan kematian ada di dekat kepalamu, lalu pikirkanlah sesuatu yang engkau inginkan saat itu, maka ambillah sekarang juga, sedangkan apa yang engkau benci pada saat itu, buanglah!” (Ibid, hal. 160-165)
Pada bulan Rajab 1366H Imam Syahid Hasan Al Banna Radhiallahu ‘Anhu mengirim surat kepada raja Faruq I (Penguasa Mesir dan Sudan), juga kepada Musthafa an Nuhas Pasya kepala pemerintahan (perdana menteri) saat itu, juga ditujukan kepada raja-raja, penguasa, pemimpin negeri-negeri Islam lainnya, dan juga kepada orang-orang yang berpengaruh dalam urusan agama dan dunia. Inilah mukaddimah surat itu:
Bismillahirrahmanirahim
Segala puji bagi Allah, dan selawat dan salam atas sayyidina Muhammad dan keluarganya, beserta para sahabatnya. “Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dar sisiMu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami.” (QS. Al Kahfi:10) 
Kairo, Rajab 1336H
Kepada Yang Terhormat
……….
Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb.
Wa ba’du, Kami persembahkan surat ini kehadapan Tuan yang mulia, dengan keinginan yang kuat untuk memberi bimbingan kepada umat, yang urusan mereka telah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah bebankan ke pundak Anda saat ini. Suatu bimbingan yang semoga dapat mengarahkan umat di atas jalan yang terbaik. Sebuah jalan yang dibangun oleh sistem hidup terbaik, bersih dari keguncangan yang tidak pasti, dan telah teruji dalam sejarah hidup yang panjang.
Kami tidak mengharap apa pun dari Anda, melainkan bahwa dengan ini kami telah menunaikan kewajiban dan menyampaikan nasihat untuk Anda. Dan Pahala dari Allah adalah yang lebih baik dan kekal. (Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, Majmu’ah Rasail, hal.63-67. Risalah Nahwan nur, Al Maktabah At Taufiqiyah, tanpa tahun)
Demikianlah cuplikan beberapa nasihat para ulama untuk para penguasa, baik penguasa adil atau yang yang zalim.
Saat ini nasihat untuk penguasa bisa dilakukan melalui surat terbuka di media massa, surat langsung untuk presiden, bisa melalui parlemen, open hause, bahkan demonstrasi. Untuk ini (demo) para ulama kontemporer berbeda pendapat, ada yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Wallahu A’lam
Menasihati Pemimpin Secara Diam-Diam
Menasihati pemimpin secara diam-diam, memang dianjurkan oleh syariat. Namun, hal itu tidaklah menunjukkan larangan dengan cara terangan-terangan. Hal ini hanyalah masalah pilihan uslub (metode). Kedua cara ini pada kondisi dan jenis kesalahan tertentu, memiliki efektifitas dan keunggulannya sendiri. Oleh karena itu, tidak dibenarkan saling meremehkan satu cara dibanding cara yang lain. Tidak seperti prasangkaan sebagian manusia, bahwa hadits tentang anjuran menasihati pempimpin secara diam-diam, merupakan petunjuk satu-satunya cara nasihat kepada pemimpin, dan haram cara lainnya. Prasangkaan ini tidak benar, dan bertentangan dengan Al Quran serta contoh  para nabi, salafush shalih, dan para ulama rabbani.

 Dari ‘Iyadh bin Ghanm Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ

“Barangsiapa yang hendak menasihati pemimpin terhadap suatu urusan, maka janganlah  menampakkannya terang-terangan, tetapi hendaknya dia meraih tangannya lalu dia menasihatinya berduaan. Jika dia menerima nasihatnya, maka bagimu akan mendapat ganjaran, jika dia tidak menerima, maka dia telah menunaikan apa-apa yang layak bagi sultan tersebut.” (HR. Ahmad, No. 15369, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih lighairih. . Lihat juga Al Musnad Al Jami’, 34/35)

Hadits ini sering dijadikan alasan oleh sebagian kaum muslimin agar jangan menasihati pemimpin secara terang-terangan bahkan mereka mengharamkan demonstrasi dengan alasan hadits ini pula.    Anjuran dalam hadits ini adalah agar kita menasihati pemimpin secara face to face atau empat mata.   Anjuran yang ada dalam hadits ini, tidaklah sama sekali menunjukkan pembatasan bahwa inilah satu-satunya cara, melainkan hadits ini berbicara tentang salah satu bentuk cara nasihat terhadap pemimpin. Tak ada korelasi apa pun dalam hadits ini yang menunjukkan bahwa terlarangnya menasihati pemimpin secara terbuka. Sebab, sejarah menunjukkan bahwa para Nabi dan Rasul, sebagian sahabat, tabi’in, dan para imam kaum muslimin, pernah menasihati pemimpin secara terang-terangan sebagaimana yang akan kami paparkan nanti. 
Menasihati, Menegur, dan Mengkritik Pemimpin Secara Terang-Terangan
           Berikut ini adalah bukti bahwa cara ini juga pernah dilakukan oleh manusia mulia. Baik yang melakukannya di istana penguasa atau di tempat selain istana. Sekaligus paparan di bawah ini sebagai koreksi bagi pihak-pihak yang melarang menasihati dan menegur kesalahan penguasa secara terang-terangan.
Zaman Para Nabi ‘Alaihim Shalatu was Salam
Metode ini pun pernah terjadi pada umat-umat terdahulu. Di antaranya adalah nasihat terbuka yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, bahkan bukan hanya nasihat, beliau melakukan aksi nyata dengan menghancurkan berhala-berhala saat itu. Bahkan beliau berdialog dengan Namrudz dari Babilonia yang disaksikan oleh para pembesar dan pengawalnya. Sebagaimana yang Allah Ta’ala ceritakan dalam Al Quran:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan".Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah Dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah (2): 258)

Tentang ayat ini, Zaid bin Aslam mengatakan, bahwa raja pertama yang diktator di muka bumi adalah Namrudz.  Manusia keluar rumah serta menjejerkan makanan di depan Namrudz. Begitu pula Ibrahim pun ikut melakukannya bersama manusia. Masing-masing mereka dilewati oleh Namrudz dan dia bertanya; “Siapakah Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Engkaulah!” hingga giliran Ibrahim, Namrudz bertanya: “Siapakah Tuhanmu?” Ibrahim menjawab: “Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan.” Namrudz menjawab: “Aku bisa menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari di Timur dan menenggelamkannya di Barat.” Maka bungkamlah orang kafir itu.” (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran, 5/433. Muasasah Ar Risalah, Tahqiq: Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)

Ayat ini, dengan gamblang menjelaskan Nabi Ibrahim mengkritik dan mendebat raja zalim, Namrudz, secara terang-terangan di depan banyak manusia. Bukti lain bahwa Nabi Ibrahim mengkritik dan mendebat secara terang-terangan  di depan kaumnya adalah isyarat yang Allah Ta’ala sebutkan dalam ayatNya:
      
    “Dan Itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya.” (QS. Al An’am 96): 83)

 Juga yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Nabi Harun ‘Alaihimassalam, mereka berdua menasehati Fir’aun di depan para pembesar istananya. Bahkan Nabi Musa mempermalukan Fir’aun di depan pasukannya sendiri di istana dengan mengalahkan para ahli sihirnya dengan mukjizat yang Allah Ta’ala berikan kepadanya. Bahkan akhirnya ahli sihir Fir’aun bertobat dan beriman kepada Allah Ta’ala.  Semua ini terekam di dalam Al Quran, surat Thaha ayat 43-76.
Para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Metode ini pun juga ada pada masa sahabat. Ketika Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu menyampaikan khutbah di atas mimbar, dia menyampaikan bahwa Umar hendak membatasi Mahar sebanyak 400 Dirham, sebab nilai itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika ada yang lebih dari itu maka selebihnya dimasukkan ke dalam kas negara. Hal ini diprotes langsung oleh seorang wanita, di depan manusia saat itu, dengan perkataannya: “Wahai Amirul mu’minin, engkau melarang mahar buat wanita melebihi 400 Dirham?” Umar menjawab: “Benar.” Wanita itu berkata: “Apakah kau tidak mendengar firman Allah:

“ .... sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?.” (QS. An Nisa (4): 20)

Umar menjawab; “Ya Allah ampunilah, semua manusia lebih tahu dibanding Umar.” Maka umar pun meralat keputusannya. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/244. Imam Ibnu katsir mengatakan: sanadnya jayyid qawi (baik lagi kuat). Sementara Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini menyatakan hasan li ghairih)
 Inilah Umar bin Al Khathab. Beliau menerima kritikan terbuka wanita tersebut, dengan jiwa besar dia mengakui kesalahannya, serta tidak mengatakan: “Engkau benar, tapi caramu menasihatiku salah, seharusnya engkau nasihatiku secara diam-diam, tidak terang-terangan!” Tidak. Umar tidak sama sekali mengingkari cara wanita itu menasihatinya di depan banyak manusia. Bukan hanya itu, para sahabat yang melihatnya pun tidak pula mengingkari wanita tersebut.  Jikalau wanita itu salah dalam penyampaiannya, maka tentunya serentak dia akan diingkari oleh banyak manusia saat itu. Faktanya tidak ada pengingkaran itu. Ini disebabkan karena keputusan khalifah Umar, akan membawa dampak bagi rakyatnya, maka meralatnya pun dilakukan secara terbuka.

Metode ini juga dijalankan oleh para tabi’in serta generasi selanjutnya. Hal ini terekam dalam kitab-kitab para ulama. Jika, mereka menasihati pemimpin secara empat mata dan sembunyi-sembunyi, tentunya dari mana manusia bisa tahu peristiwa-peristiwa ini? Jika ada manusia meriwayatkan Imam Fulan telah menashati khalifah, atau gubernur, maka ini sudah tidak bisa disebut diam-diam atau empat mata, sebab ada orang lain yang mendengarkan atau melihat, lalu orang tersebut meriwayatkan ke generasi selanjutnya hingga ke tangan kita.

Syaikhan (Bukhari-Muslim) meriwayatkan tentang perilaku gubernur Madinah di mushalla (lapangan tempat shalat Id), Marwan bin Hakam, yang telah merubah tata cara salat Id. Beliau ingin mendahulukan khutbah dahulu, lalu shalat Id. Beliau naik mimbar sebelum shalat, lalu Katsir bin Shalt menegurnya: “Ghayyartum Wallahi!” (Demi Allah kau telah merubah agama!). Nah, kisah ini amat jelas merupakan nasihat tegas kepada pemimpin di depan umum yakni jamaah shalat Id saat itu. Dan, tak ada yang mengatakan hal itu ‘keliru’ apalagi khawarij kepada Katsir bin Shalt. Ya, ini sangat jelas!

Katsir bin Shalt tidak menegur Marwan dengan mendatanginya ke istana, lalu menasihatinya diam-diam. Tidak demikian. 
 Berikut ini adalah beberapa contoh para Imam kaum muslimin.
Sa’id bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu terhadap Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi
           Tentang kecaman keras Said bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu terhadap gubernur zalim di Madinah, sangat terkenal. Beliau berkata tentang Hajjaj bin Yusuf dan pasukannya, sebagai berikut:
 عن أبي اليقظان قال: كان سعيد بن جبير يقول يوم دير الجماجم وهم يقاتلون: قاتلوهم على جورهم في الحكم وخروجهم من الدين وتجبرهم على عباد الله وإماتتهم الصلاة واستذلالهم المسلمين. فلما انهزم أهل دير الجماجم لحق سعيد بن جبير بمكة فأخذه خالد بن عبد الله فحمله إلى الحجاج مع إسماعيل بن أوسط البجلي
          
 “Dari Abu Al Yaqzhan, dia berkata: Said bin Jubeir pernah berkata ketika hari Dir Al Jamajim, saat itu dia sedang berperang (melawan pasukan Hajjaj): “Perangilah mereka karena kezaliman mereka dalam menjalankan pemerintahan, keluarnya mereka dari agama, kesombongan mereka terhadap hamba-hamba Allah, mereka mematikan shalat dan merendahkan kaum muslimin.” Ketika penduduk Dir Al Jamajim kalah, Said bin Jubeir melarikan diri ke Mekkah. Kemudian dia dijemput oleh Khalid bin Abdullah, lalu dbawanya kepada Hajjaj bersama Ismail bin Awsath Al Bajali.” (Imam Muhammad bin Sa’ad, Thabaqat Al Kubra, 6/265. Dar Al Mashadir, Beirut)
         
  Demikianlah salah satu kecaman keras terhadap pemimpin Madinah, oleh seorang ulama fiqih dan tafsir, salah satu murid terbaik Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, yakni Al Imam Sa’id bin Jubeir Rahiallahu ‘Anhu. Dia adalah imamnya para imam pada zamannya, dan manusia paling ‘alim saat itu. Dia tidak mengatakan: “Aku akan pergi ke Hajjaj dan akan menasihatinya empat mata!” Tidak, dan tak satu pun ulama saat itu dan setelahnya, menjulukinya khawarij.
         
Imam Amr Asy Sya’bi Radhiallahu ‘Anhu  terhadap Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi

           Beliau sezaman dengan Sa’id bin Jubeir, dan juga berhadapan dengan Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi, hanya saja dia tidak sampai melakukan perlawanan fisik.

           Imam Adz Dzahabi juga menceritakan, bahwa Imam Amr Asy Sya’bi telah mengkritik penguasa zalim, Hajjaj bin Yusuf dan membeberkan aibnya di depan banyak manusia. Dari Mujalid, bahwa Asy Sya’bi   berkata:

فأتاني قراء أهل الكوفة، فقالوا: يا أبا عمرو، إنك زعيم القراء، فلم يزالوا حتى خرجت معهم، فقمت بين الصفين أذكر الحجاج وأعيبه بأشياء، فبلغني أنه قال: ألا تعجبون من هذا الخبيث ! أما لئن أمكنني الله منه، لاجعلن الدنيا عليه أضيق من مسك جمل

           “Maka, para Qurra’ dari Kufah datang menemuiku. Mereka berkata: “Wahai Abu Amr, Anda adalah pemimpin para Qurra’.” Mereka senantiasa merayuku hingga aku keluar bersama mereka. Saat itu, aku berdiri di antara dua barisan (yang bertikai). Aku menyebutkan Al Hajaj dan aib-aib yang telah dilakukannya.” Maka sampai kepadaku (Mujalid), bahwa dia berkata: “Tidakkah kalian heran dengan keburukan ini?! Ada pun aku, kalaulah Allah mengizinkan mengalahkan mereka, niscaya dunia ini akan aku lipat lebih kecil dari kulit Unta membungkusnya.” (Ibid, 4/304)

           Demikianlah Imam Amr Asy Sya’bi. Beliau mengkritik Al Hajjaj secara terang-terangan, di antara dua pasukan yang bertikai. Dia tidak mengatakan: “Aku akan temui Al hajjaj secara empat mata, lalu aku akan beberkan aib-aibnya dan menasihati dia secara sembunyi.” Tidak demikian.


Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu terhadap Ibnu Hubairah

           Beliau dikenal sebagai orang yang paling tegas terhadap Ahli bid’ah dan penguasa yang zalim.  Dia pun secara terang-terangan menegur penguasa zamannya –yakni Ibnu Hubairah- di depan orang lain. Sebenarnya, Ibnu hubairah adalah salah satu pejabat tinggi dalam pemerintahan Khalifah Marwan.
           Berikut ini yang diceritakan Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani:
جعفر بن مرزوق، قال: بعث ابن هبيرة إلى ابن سيرين والحسن والشعبي، قال: فدخلوا عليه، فقال لابن سيرين: يا أبا بكر ماذا رأيت منذ قربت من بابنا، قال: رأيت ظلماً فاشياً، قال: فغمزه ابن أخيه بمنكبه فالتفت إليه ابن سيرين، فقال: إنك لست تسأل إنما أنا أسأل، فأرسل إلى الحسن بأربعة آلاف وإلى ابن سيرين بثلاثة آلاف، وإلى الشعبي بألفين؛ فأما ابن سيرين فلم يأخذها.
          
 Ja’far bin Marzuq berkata, “Ibnu Hubairah pernah memanggil Ibnu Sirin, Al Hasan (Al Bashri), dan Asy Sya’bi, dia berkata: “Masuklah kalian.” Maka dia bertanya kepada Ibnu Sirin: “Wahai Abu Bakar, apa yang kau lihat sejak kau mendekat pintu istanaku?” Ibnu Sirin menjawab: “Aku melihat kezaliman yang merata.” Perawi berkata: Maka saudaranya menganggukan tengkuknya, dan Ibnu Sirin pun menoleh kepadanya. Lalu dia berkata (kepada Ibnu Hubairah): “Bukan kamu yang seharusnya bertanya, tetapi akulah yang seharusnya bertanya.” Maka, Ibnu Hubairah akhirnya memberikan Al Hasan empat ribu dirham, Ibnu Sirin tiga ribu dirham, dan Asy Sya’bi dua ribu. Ada pun Ibnu Sirin dia  tidak mengambil hadiah itu.” (Hilyatul Auliya’, 1/330. Mauqi’ Al Warraq)
          
 Imam Adz Dzahabi mengatakan:
قال هشام: ما رأيت أحدا عند السلطان أصلب من ابن سيرين
          
 “Berkata Hisyam: Aku belum pernah melihat orang yang paling tegas terhadap penguasa dibanding Ibnu Sirin.” (Siyar A’lam An Nubala, 4/615)
         
  Inilah Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu, dia menegur kezaliman yang ada dalam istana, di depan banyak orang dan ulama.  Mereka seperti Al Hasan dan Asy Sya’bi, pun tidak mengingkarinya. Ibnu Sirin tidak mengatakan kepada Ibnu Hubairah: “Aku ingin katakan kepadamu secara rahasia, bahwa kezaliman di istanamu telah merata!” Tidak demikian.
          
 Lagi pula, tahu dari mana Hisyam, kalau Ibnu Sirin adalah manusia paling tegas terhadap penguasa jika dia menegurnya secara sembunyi-sembunyi?
 
Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu terhadap Khalifah Al Mahdi
           Siapa yang tidak kenal dengan nama ini? Imam Ahlus Sunnah, muara para ulama pada zamannya. Di depan para sahabatnya, dia pun pernah secara terang-terangan menegur dan menasihati Khalifah Al Mahdi yang sedang bersama pengawalnya, bahkan membuatnya marah.  Berikut ini ceritanya,  sebagaimana diceritakan oleh Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani.
           Dari ‘Ubaid bin Junad, katanya:
عطاء بن مسلم، قال: لما استخلف المهدي بعث إلى سفيان، فلما دخل خلع خاتمه فرمى به إليه، فقال: يا أبا عبد الله هذا خاتمي فاعمل في هذه الأمة بالكتاب والسنة، فأخذ الخاتم بيده، وقال: تأذن في الكلام يا أمير المؤمنين. قال عبيد: قلت لعطاء: يا أبا مخلد قال له: يا أمير المؤمنين. قال: نعم، قال: أتكلم علي أني آمن. قال: نعم، قال: لا تبعث إلي حتى آتيك، ولا تعطني شيئاً حتى أسألك، قال: فغضب من ذلك وهم به فقال له كاتبه: أليس قد أمنته يا أمير المؤمنين. قال: بلى، فلما خرج حف به أصحابه، فقالوا: ما منعك يا أبا عبد الله وقد أمرك أن تعمل في هذه الأمة بالكتاب والسنة؟ قال: فاستصغر عقولهم ثم خرج هارباً إلى البصرة.

            ’Atha  bin Muslim berkata: “Ketika masa kekhalifahan Al Mahdi, dia berkunjung ke rumah Sufyan. Ketika dia masuk, dia melepaskan dan melemparkan cincinnya kepada Sufyan. Lalu dia berkata: “Wahai Abu Abdillah, inilah cincinku maka berbuatlah terhadap umat ini dengan Al Quran dan As Sunnah.” Maka Sufyan mengambil cincin itu dengan tangannya, lalu berkata: “Izinkan aku berbicara wahai amirul mu’minin.” Berkata ‘Ubaid: Aku berkata kepada ‘Atha bin Muslim: “Hai Abu Makhlad, dia (Sufyan) berkata kepada Al Mahdi: “Wahai Amirul mu’minin?” ‘Atha menjawab: “Ya.”
           Sufyan berkata: “Apakah aku akan aman jika aku bicara?” Al Mahdi menjawab: :Ya.” Sufyan berkata: “Jangan kau kunjungi aku hingga akulah yang mendatangimu, dan janganlah memberiku apa-apa sampai aku yang memintanya kepadamu.” ‘Atha berkata: “Maka marahlah Al Mahdi karena itu, dan dia berangan ingin memukulnya karenanya. Maka, berkatalah sekretarisnya kepadanya: “Bukankah kau sudah mengatakan bahwa dia aman wahai Amirul Mu’minin?” Al Mahdi menjawab: “Tentu.” Maka, ketika dia keluar, maka para sahabat Sufyan  mengelilinginya dan bertanya: “Apa yang dia larang kepadamu wahai Abu Abdillah, apakah dia memerintahkanmu untuk memperlakukan umat ini dengan Al Quran dan As Sunnah?” Sufyan menjawab: “Remehkanlah akal mereka.” Lalu Sufyan Ats Tsauri melarikan diri ke Bashrah.” (Hilyatul Auliya’, 3/166. Mauqi’ Al Warraq)
            Demikianlah Imam Sufyan Ats Tsauri, memberikan teguran yang mendalam, bahkan meminta agar para sahabatnya meremehkan akal/kecerdasan Al Mahdi dan pengikutnya. Dia tidak mengatakan: “Biarkanlah dia, aku akan menasihatinya secara empa mata.” Tidak. Dia langsung menegurnya, walau di depan orang yang bersangkutan dan para pengawalnya. Inilah Imam Ahlus Sunnah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
           Selain seorang ulama yang agung, beliau juga seorang mujahid. Tidak seperti prasangka sebagian kecil manusia, yang menuduhnya tidak pernah ikut berperang bersama kaum muslimin. Justru beliau adalah bintangnya dan pemimpin mereka. 
           Beliau juga sangat tegas dengan penyimpangan penguasa walau pun penguasa itu muslim.  Hal itu dia buktikan dengan nasihatnya yang berani dan secara terbukan kepada Sultan Ibnu Ghazan. Syaikh Ahmad Farid menceritakan:
           “Tatkala Sultan Ibnu Ghazan berkuasa di Damaskus, Raja Al Karaj datang kepadanya dengan membawa harta yang banyak agar Ibnu Ghazan memberikan kesempatakan kepadanya untk menyerang kaum musimin Damaskus.”
           (Demikianlah rencana jahat Sultan, ingin bekerja sama dengan raja musuh untuk menyerang kaum muslimin). Lalu Syaikh Ahmad Farid melanjutkan:
           “Namun berita ini sampai ke telinga Syaikh Ibnu Taimiyah. Sehingga ia langsung bertindak menyulut api semangat kaum muslimin untuk menentang rencana tersebut dan menjanjikan kepada mereka suatu kemenangan, keamanan, kekayaan, dan rasa takut yang hilang. Lalu bangkitlah para pemuda, orang-orang tua dan para pembesar mereka menuju sultan Ghazan.”
(Inilah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ia bersama umat Islam lainnya  menuju istana Sultan untuk menentang kebijakan dan rencana jahatnya bersama Raja Al Karaj untuk menyerang kaum muslimin Damaskus. Inilah yang orang sekarang bilang demonstrasi. Imam Ibnu Taimiyah tidak mengatakan: “Aku akan nasihati Sultan Ghazan secara empat mata.” Justru ia melakukannya bersama umat Islam secara terang-terangan.  Apa yang akan dikatakan dan dilakukan oleh Imam Ibnu Taimiyah, jika saat ini dia melihat ada sebuah negara muslim yang meminta pertolongan Amerika Serikat untuk menyerang kaum muslimin Iraq? Atau Presiden yang bermesraan dengan Zionist Yahudi dan menutup jalur bantuan menuju Gaza, atau mengizinkan tentara kafir membuka pangkalan militer di negeri muslim agar mereka mudah mengendalikan negeri-negeri muslim? Dahulu ada Sultan Ibnu Ghazan dan Raja Al Karaj yang bermesraan, namun masih ada Imam Ibnu Taimiyah. Saat ini, ada pemimpin negeri muslim bermesraan dengan pemimpin kolonialisme modern, AS, namun, saat ini tidak ada yang seperti Imam Ibnu taimiyah!)
Selanjutnya Syaikh Ahmad Farid mengatakan:
“Tatkala Sultan Ghazan melihat Syaikh Ibnu Taimiyah, Allah menjadikan hati Sultan  Ghazan mengalami ketakutan yang hebat terhadapnya sehingga ia meminta Syaikh Ibnu Taimiyah agar mendekat dan duduk bersamanya.
Kesempatan tersebut digunakan Syaikh Ibnu Taimiyah untuk menolak rencananya, yaitu memberikan kesempatan keada Raja Al Karaj yang hina untuk menghabisi umat Islam Damaskus. Ibnu Taimiyah memberitahu Sultan Ibnu Ghazan tentang kehormatan darah muslimin, mengingatkan dan memberi nasihat kepadanya. Maka Ibnu Ghazan menurut nasihat Ibnu Tamiyah tersebut. Dari situ, terselamatkanlah darah-darah umat Islam, terjaga isteri-isteri mereka, dan terjaga budak-budak perempuan mereka.”  (Selengkapnya lihat 60 Biografi Ulama Salaf, Hal. 797-798)

Imam Izzuddin bin Abdissalam Rahimahullah
           Beliau dijuluki Shulthanul ‘Ulama (pemimpinnya para ulama) pada masanya.  Dialah ulama yang sangat pemberani terhadap kesewenangan penguasa. Ia menegur pemimpin yang menyimpang langsung di depannya dan dihadapan banyak manusia, bahkan juga di mimbar khutbah Jumat.
           Kami akan kutipkan sebuah peristiwa heroik beliau berikut ini:
           Syaikh Al Baji (murid Imam Izzudn bin Abdisalam) mengatakan: “Syaikh kami, Izzuddin pergi kepada Sultan Najmuddin Ayyub pada hari ‘Id di Qal’ah (benteng Shalahuddin).
           Di sana ia menyaksikan para prajurit yang berbaris di depan Sultan Najmuddin dan dewan kerajaan saat itu. Suasana kerajaan saat itu sangat megah. Sultan Najmuddin keluar kepada mereka dengan memakai perhiasan sebagaimana adat para Sultan di Mesir. Para pejabat saat itu pun sujud mencium tanah di depan sang Sultan.
           Melihat peristiwa tersebut Syaikh Izzuddin menoleh kepada Sultan Najmuddin dan berteriak memanggilnya, Wahai Ayyub! Apa hujjahmu di hadapan Allah ketika Dia berkata kepadamu,”Aku telah berikan kerajaan Mesir kepadamu lalu kamu memperbolehkan khamr!” Sultan Najmuddin Ayyub berkata, “Apakah ini terjadi?” Syaikh Izzuddin menjawab, “Ya, di toko seorang perempuan telah dijual minuman khamr dan hal-hal lain yang munkar, sementara kamu bergelimang dalam kenikmatan kerajaan ini.”
           Syaikh Izzuddin memanggilnya (sultan) dengan suara sangat keras, sementara itu para prajuritnya membisu dan keheranan. Lalu Sultan Najmuddin Ayyub berkata, :Wahai Tuanku, itu bukan perbuatanku, ini sudah ada sejak zaman ayahku.” Syaikh Izzuddin berkata: “Kamu termasuk golongan orang yang mengatakan:
"Sesungguhnya Kami mendapati bapak-bapak Kami menganut suatu agama,..” (QS. Az Zukhruf (43): 22)
Lalu Sultan Ayyub merencanakan meusnahkan toko tersebut.” (Ibid, 747-748)
Inilah Imam Al ‘Izz bin Abdissalam, dengan suara lantang dia mengkritik sultan di depan banyak manusia, dan hal itu efektif sebagai presure (tekanan) agar sultan mau menerima nasihatnya.
Bahkan, lebih berani lagi Imam Izzuddin bin Abdissalam menganggap bahwa para sultan saat itu masih terjerat hukum perbudakan sehingga para sultan adalah milik baitul mal kaum muslimin. Para sultan ini boleh dijual untuk kemaslahatan kaum muslimin. Hingga wakil sultan marah dan berkata: “Bagaimana Syaikh ini memanggil kami dan ingin menjual kami? Sementara kami adalah raja-raja dunia. Demi Allah, aku akan penggal kepalanya!”
Namun yang terjadi ketika wakil sultan datang ke rumah Imam Izzuddin bin Abdissalam, justru pedangnya terjatuh, badannya gemetar karena kewibawaan Imam Izzuudin. Wakil sultan  berkata: “Wahai Tuanku, apa yang kau inginkan?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Aku memanggil dan menjual kalian.” Wakil sultan bertanya: “Untuk apa kau menjual kami?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Demi kemaslahatan umat Islam.” Wakil sultan bertanya lagi: “Siapa yang menerimanya?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Akulah yang menerimanya.” Lalu para pejabat pemerintah dipanggil satu persatu dan dijual dengan harga mahal. Hasil penjualan mereka digunakan untuk kemaslahatan umat Islam. Ini adalah peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya.” (Ibid, Hal. 749-750)
Ada peristiwa yang mirip dengan masa Imam Ibnu Tamiyah. Ibnu As Subki menceritakan tentang penguasa Damaskus bernama Shalih Ismail, panggilannya Abu Al Khaisy. Dia berkolaborasi dengan pasukan Eropa untuk menyerahkan kota Shida dan beneng Asy Syaqif kepada Eropa. Tindaka ini dikecam oleh Syaikh Izzuddin sehingga dia tidak mendoakannya dalam khutbah. Beliau tidak sendiri dalam hal ini. Beliau ditemani oleh Abu Amr bin Al Hajib Al Maliki. Pengecaman tersebut telah membaut sultan marah. (Ibid, Hal. 750)
Inilah Al Imam Al ‘Izz bin Abdissalam, salah satu Imam Ahlus Sunnah bermadzhab syafi’i. Imam Ad Dzahabi menyebutnya sebagai seorang yang sudah taraf mujtahid, dan Imam As Suyuhi juga menyebukan di akhir hayatnya dia tidak lagi terika madzhab, sudah berfatwa dengan fatwanya sendiri.
Demikianlah. Sebenarnya masih banyak contoh lain dari para ulama. Namun, nampaknya ini sudah cukup menggambarkan bahwa menasihati penguasa secara terbuka, bukanlah hal yang tercela dan bukan pula barang baru. Justru ini adalah perbuatan mulia  yang membutuhkan keberanian sebagaimana Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Izzuddin bin Abdissalam.
Menasihati pemimpin, baik secara sembunyi atau terbuka, tidaklah kita melihat dari sisi benar-salah. Melainkan dari sisi mana di antara keduanya yang lebih tepat guna dan efektif dalam merubah penyimpangan penguasa. Tentu hal ini perlu kejelian dan analisa. Bisa jadi ada penguasa yang hanya bisa berubah dengan tekanan dari rakyatnya, ada juga yang sudah bisa berubah walau di nasihati oleh orang terdekatnya secara rahasia. Oleh karena itu, ketenangan dan kejelian sangat diperlukan dalam memutuskan masalah ini.
Dan, yang jelas tak satu pun para ulama Islam mengatakan, bahwa menasihati pemimpin secara terbuka adalah bentuk pemberontakan bahkan khawarij. Ini adalah pengertian yang amat jauh. Tidak pantas menyamakan pemberontakan dengan nasihat. Sebab yang satu berdosa, dan yang lain berpahala dan mulia. Tak pantas pla hal itu  disamakan dengan keluarnya kaum khawarij terhadap pemerintahan Ali. Sebab, yang kita bahas adalah tentang penguasa atau pemimpin yang zalim, bukan pemimpin yang adil seperti Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu.
Demikianlah sikap pertama, menasihati penguasa zalim, baik dengan diam-diam, atau terang-terangan. Kedua cara ini tergantung kesalahan yang dibuat oleh penguasa tersebut, dan tingkat efektifitasnya. Wallahu A’lam

Sikap Kedua. Tidak Mentaatinya
Tidak mentaati penguasa yang telah keluar dari tuntunan syara’, baik perilakunya, keputusannya, dan undang-undangnya, telah dikemukakan Al Qur’an dan As Sunnah yang suci. Al Qur’an dan As Sunnah tidak pernah memberikan ketaatan mutlak kepada makhluk. Ketaatan mutlak hanya kepada Allah dan RasulNya. Ini telah menjadi kesepakatan ulama sejak dahulu hingga kini, dan tak ada perselisihan di antara mereka.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Hai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada RasulNya, dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir …” (QS. An Nisa: 59)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam tafsirnya berkata, “Perintah taat kepada Ulil Amri terdiri dari para penguasa, pemimpin, dan ahli fatwa.” Ia mengatakan ini bukanlah perkara yang mutlak, “tetapi dengan syarat bahwa ia tidak memerintahkan maksiat kepada Allah. Sebab jika mereka diperintah berbuat demikian, maka tidak ada ketaatan seorang makhluk dalam kemaksiatan terhadap Khaliq. Mungkin inilah rahasia peniadaan fiil amr (kata kerja perintah) untuk mentaati mereka (athi’u), yang tidak disebutkan sebagaimana layaknya ketaatan pada Rasul. Karena Rasul hanya memerintah ketaatan kepada Allah, dan barangsiapa yang mentaatinya, ia telah taat kepada Allah. Sedangkan Ulil Amri, maka perintah mentaati mereka terikat syarat, yaitu sebatas tidak melanggar atau bukan maksiat.” (Tafsirul Karim Ar Rahman fi Tafsir Kalam Al Manan, 1/183. Cet. 1. 2000M-1420H. Muasasah Ar Risalah)
Imam Ibnu Katsir berkata, tentang makna Ulil Amri, “Ahli fiqh dan Ahli Agama, demikian juga pendapat Mujahid, ‘Atha, Hasan Al Bashri, dan Abul ‘Aliyah.” Ibnu Katisr juga mengatakan Ulil Amri bisa bermakna umara. Lalu ia berkata: (Taatlah kepada Allah) maksudnya ikuti kitabnya, (taatlah kepada Rasul) maksudnya ambillah sunahnya, (dan ulil amri di antara kalian) yaitu dalam hal yang engkau diperintah dengannya berupa ketaatan kepada Allah dan bukan maksiat kepada Allah, karena tidak ada ketaatan kepada makluk dalam maksiat kepada Allah. Sebagaimana dalam hadits shahih “Sesungguhnya ketaatan hanya dalam hal yang ma’ruf” (HR. Bukhari). dan imam Ahmad meriwayatkan dari Imran bin Hushain bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah.” (Tafsir Al Qur’anul Azhim, 2/345. Cet. 2. 1999M-1420H. Dar Ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)
 Imam Nashiruddin Abul Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad, biasa dikenal Imam Al Baidhawi, berkata dalam tafsirnya, ketika mengomentari surat An Nisa’, ayat 59 (Athi’ullaha wa athi’ur rasul wa ulil amri minkum), bahwa yang dimaksud dengan ‘pemimpin’ di sini adalah para pemimpin kaum muslimin sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sesudahnya, seperti para khalifah, hakim, panglima perang, di mana manusia diperintah untuk mentaati mereka setelah diperintah untuk berbuat adil, wajib mentaati mereka selama mereka di atas kebenaran (maa daamuu ‘alal haqqi). (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, 1/466)[1]
 Imam Ar Razi mengatakan, taat kepada  Allah, Rasul, dan Ahli ijma’ adalah pasti (qath’i), ada pun terhadap pemimpin dan penguasa, tidaklah taat secara pasti, bahkan kebanyakan adalah haram, karena mereka tidaklah memerintah melainkan dengan kezaliman (li annahum Laa ya’muruuna illa bizh zhulmi). (Mafatihul Ghaib, 5/250)
Masih banyak ayat lain yang memerintahkan tidak mentaati manusia (penguasa) yang zalim. Di antaranya firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kamu taati orang-orang yang melampuai batas.(yaitu) mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy Syu’ara: 151-152)
Berkata Abul A’la Al Maududi dalam Al Hukumah Al Islamiyah, “Janganlah engkau semua mentaati perintah para pemimpin dan panglima yang kepemimpinannya akan membawa kerusakan terhadap tatanan kehidupan kalian.”
Ayat lain:
“Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami dan ia mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat berlebihan.” (QS. Al Kahfi: 28)



[1] Apa yang dikatakan Imam Al Baidhawi juga bantahan bagi pihak yang membatasi makna Ulil Amri hanyalah pemimpin negara (umara) dan khalifah. Mereka menolak jika surat An Nisa (4):  59 ini  dijadikan dalil ketaatan kepada qiyadah dakwah. Cukuplah apa yang dikatakan Imam Al Baidhawi ini untuk mereka. Pembatasan makna Ulil Amri seperti yang mereka katakan jelas kecerobohannya. Para Salaf seperti Ibnu Abbas mengartikan Ulil Amri adalah Ahlul Fiqh wad Din (Ahli fiqih dan agama). Sedangkan Atha’, Mujahid, Hasan Al Bashri, Abul ‘Aliyah mengatakan, maksudnya adalah ulama, sebagaimana tertera dalam tafsir Ibnu Katsir di atas.


Taat kepada penguasa yang zalim merupakan bentuk ta’awun (tolong menolong) dalam dosa dan kesalahan, padahal Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan kesalahan.” (QS. Al Maidah:2)
Dalam hadits juga tidak sedikit tentang larangan mentaati perintah kemaksiatan, di antaranya:
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Dengar dan taat atas seorang muslim dalam hal yang ia sukai dan ia benci, selama ia tidak diperintah untuk maksiat. Jika diperintah untuk maksiat, maka jangan dengar dan jangan taat.” (HR. Bukhari. Al Lu’lu’ wal Marjan, no. 1205)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya taat itu hanya dalam hal yang ma’ruf” (HR. Bukhari dari Ali radhiallahu ‘anhu. Al lu’lu’ wal Marjan, no. 1206)
Abu bakar Ash Shidiq Radhiallahu ‘Anhu berkata pasca pengangkatannya menjadi khalifah, “Taatlah kalian kepadaku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya, apabila aku melanggar Allah dan RasulNya, maka jangan taat kepadaku.” Ibnu Katsir mengatakan sanadnya shahih. (Al Bidayah wa An Nihayah, 5/269. Cet. 1. 1988M-1408H. Dar Ihya Ats Turats)
Khalifah Umar Al Faruq radhiallahu ‘anhu juga berkata dalam salah satu khutbahnya, “Sesungguhnya tidak ada hak untuk ditaati bagi orang yang melanggar perintah Allah.”
Ringkasnya, Al Qur’an, As Sunnah, atsar sahabat, mufasirin dan fuqaha, semua sepakat bahwa taat kepada pemimpin hanya jika ia di atas kebenaran, jika dalam pelanggaran maka tidak boleh ditaati.
Sikap Ketiga: Mencopot Pemimpin Zalim dari Jabatannya
Pemimpin merupakan representasi dari umat, merekalah yang mengangkatnya melalui wakilnya (Ahlul Halli wal Aqdi), maka mereka juga berhak mencopotnya jika ada alasan yang masyru’ dan logis.
Bapak sosiolog Islam, Ibnu Khaldun juga mengatakan tidak boleh dikatakan ‘memberontak’ bagi orang yang melakukan perlawanan terhadap pemimpin yang fasiq. Beliau memberikan contoh perlawanan Al Husein terhadap Yazid, yang oleh Ibnu Khaldun disebut sebagai pemimpin yang fasiq. Apa yang dilakukan oleh Al Husein adalah benar, ijtihadnya benar, dan kematiannya adalah syahid. Tidak boleh dia disebut bughat (memberontak/makar) sebab istilah memberontak hanya ada jika melawan pemimpin yang adil. (Muqaddimah, Hal. 113) 
  Ketahuilah, yang dilawan oleh kaum khawarij adalah pemimpin yang sah dan adil, yaitu Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Sedangkan yang kita bincangkan adalah perlawanan terhadap penguasa yang zalim dan tiran, sebagaimana yang banyak dilakukan aktifis gerakan Islam di banyak negara saat ini. Tentu nilai perlawanan ini tidak sama.
Ternyata pandangan ini dibenarkan oleh banyak ulama (sebenarnya para ulama berselisih pendapat tentang pencopotan penguasa yang zalim).
Imam At Taftazani dalam Syarah al Aqaid an Nafsiyah meriwayatkan bahwa Imam Asy Syafi’i radhiallahu ‘anhu berpendapat bahwa Imam bisa dicopot karena kefasikan dan pelanggarannya, begitu juga setiap hakim dan pemimpin lainnya.
Imam Abdul Qahir Al Baghdadi mengatakan, “Jika pemimpin menjauhkan diri dari penyimpangan, maka kepemimpinannya dipilih karena keadilannya, sehingga kesalahannya tertutup oleh kebenaran. Jika ia menyimpang dari jalan yang benar, maka harus dilakukan pergantian, mengadilinya, dan mengambil kekuasaannya. Dengan demikian, ia telah diluruskan oleh umat atau ditinggalkan sama sekali.”
Imam Al Mawardi menyatakan ada dua hal seorang Imam telah keluar dari kepemimpinannya, yaitu ia tidak adil dan cacat fisiknya. Cacat keadilannya bisa bermakna mengikuti hawa nafsu dan melakukan syubhat. Ketidakadilan bisa juga bersifat individu seperti meninggalkan shalat, minum khamr, atau urusan umum seperti menyalahgunakan jabatan. (Imam Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 28).
Imam Al Ghazali berkata, “Seorang penguasa yang zalim hendaknya dicopot dari kekuasaannya; baik dengan cara ia mengundurkan diri atau diwajibkan untuk dicopot. Dengan itu ia tidak dapat berkuasa.”
Imam Al Ijli mengatakan, “Umat berhak mencopot Imam tatkala ada sebab yang mengharuskannya, atau sebagaimana yangdikatakan pensyarah, sebab yang membahayakan umat dan agama.”
Imam Ibnu Hazm berkata, “Imam Ideal wajib kita taati, sebab ia mengarahkan manusia dengan kitabullah dan sunah rasulNya. Jika ada menyimpang dari keduanya, maka harus diluruskan, bahkan jika perlu diberi hukuman had . jika hal itu tidak membuatnya berubah, maka ia harus dicopot dari jabatannya dan diganti orang lain.”
Sebenarnya para ulama ini berbeda pendapat Menurut tentang alasan pencopotannya. Imam Syafi’i dan Imam Al Haramain mensyaratkan jika penguasa itu fasik dan melanggar. Imam Asy Syahrustani mengatakan; kebodohan, pelanggaran, kesesatan, dan kekufuran. Imam Al Baqillani menyebutkan jika Imam telah kufur, meninggalkan shalat wajib, fasik, mengambil harta orang lain, mengajak ke yang haram, mempersempit hak sosial, dan membatalkan hukum-hukum syariat. Imam Al Mawardi menyatakan; ketidak adilan dan cacat fisik.
Sementara Ulama lain (pandangan ahli hadits)  yang berpendapat agar kita bersabar terhadap pemimpin yang zalim, ini juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ada juga ulama yang membenarkan keduanya, antara bersabar atau memberikan perlawanan agar ia dicopot dari jabatannya. Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgasTWAPTnk0VqZu8sxoTX38W1l5WGszDGOX7E-ausrH07jJdbObFC_TRVpg6nHzLB649iwX35YfGqC_GtxJzwmRVEvIu2rT5EuOMnQAvZKJD3Lq8QxzWn5k2kMjL2Afcol3GYGsACmXm0/s1600/farid+nu%2527man.gif
Farid Nu’man Hasan


SIKAP ULAMA SALAF TERHADAP PEMIMPIN
1. Meyakini bahwa eksistensi seorang pemimpin adalah wajib menurut syari’at Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا” [النساء : 59]

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda:

“أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ… ” (متفق عليه)

“Ketahuilah! Setiap kalian adalah penjaga dan pengurus, setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dijaga dan diurusnya. Seorang pemimpin manusia adalah penjaga dan pengurus, dia akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya…

Syaikh al-Islâm Ibnu Taimiyah berkata:

“Wajib diketahui bahwa kepemimpinan yang mengatur urusan manusia adalah bagian dari kewajiban-kewajiban agama, bahkan tidak mungkin agama tegak tanpa kepemimpinan. Karena manusia tidak akan mampu mewujudkan kepentingan bersama kecuali dengan berkumpul, karena sebagian manusia membutuhkan sebagian yang lain, di mana wajib ada seorang pemimpin dalam perkumpulan mereka itu… dan karena Allah I mewajibkan amr ma’ruf dan nahy munkar, dan itu tidak akan terlaksana tanpa kekuatan dan kepemimpinan. Begitu pula kewajiban-kewajiban lainnya, seperti jihad, keadilan, pelaksanaan haji, jum’at, hari raya, membela orang yang teraniaya dan pelaksanaan hukuman tidak akan terlaksana tanpa kekuatan dan kepemimpinan. Dari itu diriwayatkan sabda Rasulullah r:” السلطان ظل الله في الأرض” [1] Sultan itu adalah bayang-bayang Allah di bumi. Ada pula yang mengatakan bahwa enam puluh tahun bersama pemimpin yang zalim lebih baik dari pada satu malam tanpa pemimpin. Dan pengalaman membuktikan semua itu.

Oleh karena itu para ulama salaf seperti Fudhail bin ‘Iyadh dan Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya berkata: “Seandainya kami punya doa yang dikabulkan, maka pasti kami menjadikan doa itu untuk pemimpin.”
Maka wajib menjadikan kepemimpinan sebagai agama dan sarana untuk mendekatakan diri kepada Allah. Karena mendekatkan diri kepada Allah dengan ketaatan kepada pemimpin dalam ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya merupakan ibadah yang paling utama. Dan sesungguhnya kerusakan yang terjadi pada kebanyakan manusia adalah karena keinginan merebut kekuasaan dan mendapatkan harta darinya. (Majmû’ Fatâwâ, XXVIII/390-391).
 
2. Meyakini kewajiban taat kepada pemimpin wajib dalam segala kondisi, kecuali dalam kemaksiatan

Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ”  (متفق عليه)
“Patuh dan taat (kepada pemimpin) adalah kewajiban orang Muslim, baik dalam hal-hal yang ia sukai maupun yang tidak ia sukai, selama tidak perintah untuk maksiat. Apabila diperintah untuk maksiat, maka tidak ada kepatuhan dan ketaaatan.”

“مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَعَدَلَ فَإِنَّ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرًا وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْهُ” (متفق عليه)

“Barang siapa taat kepadaku berarti ia taat kepada Allah dan siapa membangkang kepadaku berarti membangkang kepada Allah. Barang siapa taat kepada pemimpin berarti ia taat kepadaku, dan siapa membangkang kepada pemimpin, berarti ia membangkang kepadaku. Sesungguhnya pemimpin itu laksana perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Maka apabila dia memerintah untuk takwa kepada Allah dan berlaku adil, ia akan mendapatkan pahala. Dan apabila tidak demikian, maka dia berdosa karenanya.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata:

“Di antara hak-hak para pemimpin atas rakyatnya adalah kepatuhan dan ketaatan dengan melaksanakan apa yang mereka perintahkan dan meninggalkan apa yang mereka larang, selama tidak bertentangan dengan syari’at Allah, tapi apabila bertentangan dengan syari’at Allah, maka tidak boleh patuh dan taat, “Tidak boleh taat kepada makhluk dalam maksiat kepada Khaliq (Allah).

Sesungguhnya merupakan bagian dari ketaatan kepada pemimpin yang Allah perintahkan, yaitu seorang mu’min menjalankan peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah bila tidak bertentangan dengan syari’at. Selama ia menjalankan peraturan itu berarti ia taat kepada Allah dan Rasul-Nya, ia akan mendapat pahala atas perbuatan itu. Dan barangsiapa menentangnya berarti ia membangkang kepada Allah dan Rasul-Nya dan ia berdosa karenanya.

Adapun hak-hak rakyat atas pemimpin mereka adalah tanggung jawab besar dan urusan yang sangat penting. Sebenarnya bukanlah maksud dari kepemimpinan itu untuk melebarkan kekuasaan dan mendapat kedudukan, tapi untuk mengemban tanggung jawab yang besar yang terpusat pada penegakkan hak di antara manusia dengan meninggikan agama Allah dan menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia baik dalam urusan agama maupun dunia. (Dinukil dari Risalah huqûq al-Râ’î wa al-Ra’iyyah, karya Syaikh Utsaimin, oleh Muhammad Nashir al-‘Uraini dalam Wujûb Thâ’at al-Sulthân, hal. 25).

3. Memberi nasihat kepada pemimpin adalah hak setiap Muslim, yang harus dilakukan sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.

Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« الدِّينُ النَّصِيحَةُ » قُلْنَا لِمَنْ قَالَ « لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ ». (متفق عليه)
“Agama itu adalah nasihat”, kami (para sahabat) bertanya: “Untuk siapa?” untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan umat muslim seluruhnya.”

“ثَلَاثُ خِصَالٍ لَا يَغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ أَبَدًا إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ وُلَاةِ الْأَمْرِ وَلُزُومُ الْجَمَاعَةِ “(رواه أحمد )
“Tiga sifat yang tidak menjadikan iri hati seorang muslim selamanya, ikhlas beramal untuk Allah, menasihat para pemimpin dan setia kepada jama’ah.”

“مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ” (رواه أحمد)
“Barang siapa ingin menasihati sultan dalam suatu urusan, maka janganlah menampakkannya secara terang-terangan, tetapi hendaklah ia mengambil tangannya lalu berdua dengannya. Jika ia menerima nasihatnya, maka itu sebuah kebaikan. Jika tidak, maka telah melaksanakan kewajibannya.”
Syaikh Abdurrahman as-Sa’dy berkata:

“Adapun nasihat untuk para pemimpin kaum muslimin, mereka adalah pemimpin tertinggi, pemimpin daerah, hakim, dan semua yang mempunyai kekuasaan baik besar maupun kecil, tugas dan kewajiban mereka lebih besar dari yang lainnya, mereka wajib mendapat nasihat sesuai dengan tingkatan dan kedudukan mereka, yaitu dengan meyakini kepemimpinan mereka, mengakui kekuasaan mereka, taat kepada mereka dengan ma’ruf, tidak memberontak dan mengajak rakyat untuk mentaati mereka dan melaksanakan perintah mereka yang tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, serta mencurahkan segala kemampuan yang dimiliki untuk menasihati mereka dan menjelaskan apa yang tidak jelas bagi mereka dalam hal-hal yang mereka butuhkan untuk kepemimpinan mereka sesuai dengan kondisi masing-masing, berdoa untuk kebaikan  mereka dan agar mendapat taufik, karena kebaikan mereka adalah kebaikan bagi rakyat.
Tidak boleh mencela dan menghina mereka dan menyebarkan aib mereka, karena pada yang demikian terdapat keburukan dan kerusakan yang besar. Karena salah satu bentuk nasihat untuk mereka adalah berhati-hati dan memperingatkan orang lain dari perbuatan itu. Dan siapa yang melihat dari mereka tindakan yang tidak benar maka ia harus memperingatkan mereka dengan sembunyi-sembunyi, tidak terang-terangan, dengan lemah lembut dan menggunakan ungkapan yang tepat agar tercapai maksud yang dituju. Cara memberi nasihat seperti itu tepat untuk setiap orang, apalagi bagi para pemimpin, pasti mendapatkan banyak kebaikan, juga sebagai pertanda kejujuran dan keikhlasan.

Dan saya memperingatkan kepada orang yang member nasihat dengan cara yang terpuji seperti ini, agar tidak merusak nasihatnya dengan ingin mendapat pujian manusia, seperti dengan mengatakan: “Sungguh aku telah menasihati mereka dan mengatakan kepada mereka begini dan begitu.” Yang demikian itu adalah tanda riya dan lemahnya keikhlasan dan terkandung banyak madarat.” (Al-Riyâdh al-Nâdhirah, hal. 49-50)

4. Tidak memberontak pemimpin bila mereka tidak  menerima nasihat. Kecuali bila tampak padanya kekufuran yang nyata dan umat Islam mempunyai kekuatan serta tidak menimbulkan bencana yang lebih besar.

Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“وَمَنْ لَهُ وَالٍ فَيَرَاهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ الله فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ الله وَلاَ يَنْزَعُ يَدًا مِنْ طَاعَتِهِ” (رواه ابن حبان)
“Barang siapa mempunyai pemimpin, lalu ia melihatnya melakukan maksiat kepada Allah, maka hendaklah ia membenci kemaksiatannya, akan tetapi jangan melepaskan ketaatan.”

Imam Abu Ja’fat al-Thahawi berkata:

“Kami berpendapat tidak boleh memberontak kepada pemimpin-pemimpin kita walaupun mereka berbuat zalim, juga tidak boleh mendoakan keburukan untuk mereka, tidak melepaskan ketaatan kepada mereka. Dan kita memandang bahwa taat kepada mereka adalah bagian dari taat kepada Allah, selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat. Dan kita selalu berdoa untuk kebaikan dan keselamatan mereka.” (Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah, hal. 368)

Imam al-Barbahari berkata:

“Ketahuilah bahwa kezaliman penguasa tidak mengurangi kewajiban yang diwajibkan oleh Allah melalui Nabi-Nya. Dia akan menanggung akibat kezalimannya sedangkan kebaktian dan kebaikan kamu yang dilakukan bersamanya tetap sempurna insyaallah, seperti shalat jama’ah, shalat jum’at, jihad bersama mereka dan segala bentuk ketaatan laksanakanlah bersama mereka. Apabila kamu melihat seseorang mendoakan keburukan untuk mereka, ketahuilah orang tersebut adalah pengikut hawa nafsu, dan apabila kamu melihat seseorang berdoa untuk kebaikan mereka, ketahuilah bahwa dia adalah pengikut sunnah.” (Thabaqât al-Hanâbilah, Abu Ya’la, II/36)

5. Tidak mencela, membenci dan menyebarkan aib pemimpin
Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“لاَ تَسُبُّوا أُمَرَاءَكُمْ وَلاَ تَغِشُّوهُمْ وَلاَ تُبْغِضُوْهُمْ وَاتَّقُوا اللهَ وَاصْبِرُوا فَإِنَّ الأَمْرَ قَرِيبٌ ” (رواه البيهقي)
“Janganlah kalian mencela pemimpin kalian, jangan pula berbuat curang dan membenci mereka. Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, karena sesungguhnya urusan itu dekat.”

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata:

“Sebagian orang memiliki kebiasaan membicarakan para pemimpin di mana saja ia berada, merusak kehormatan mereka, mennyebarkan keburukan dan kesalahan mereka, seraya berpaling dari kebaikan dan kebenaran mereka. Tidak diragukan bahwa perbuatan seperti ini dan merusak kehormatan para pemimpin tidaklah memperbaiki keadaan, tidak memecahkan masalah atau menghilangkan kezaliman. Justru menambah kesulitan di atas kesulitan, menyebabkan kebencian terhadap para pemimpin dan tidak melaksanakan perintah mereka yang seharusnya ditaati. Dan kita tidak ragu bahwa para pemimpin memiliki keburukan dan kesalahan seperti halnya manusia yang lain, karena setiap manusia pasti bersalah dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat… (Dinukil dari Risalah huqûq al-Râ’î wa al-Ra’iyyah, karya Syaikh Utsaimin, oleh Muhammad Nashir al-‘Uraini dalam Wujûb Thâ’at al-Sulthân, hal. 23).

Wallaahu A’lam.

 http://almatuq.net/sikap-ulama-salaf-terhadap-pemimpin

[1][1] . H.R. Baihaqi (Syu’ab al-Îmân, VI/17), dihasankan oleh Syaikh Albani (Zhilâl al-Jannah , II/224)lla