KONSEP AL-KASB AL-ASY’ARIYYAH DAN PRODUKTIVITAS KERJA
DR. H. Hamzah Harun al-Rasyid, MA[2]
ABSTRAK
Kajian ini membahas tentang konsep al-Kasb al-Asy’ariyyah dan peranannya terhadap peningkatan poduktivitas kerja. Permasalahan kajian adalah bagaimanakah eksistensi aliran  al-Asy’ariyyah
  dalam kehidupan umat Islam, apakah aliran ini telah membelenggu 
fikiran  dan kebebasan manusia dan menggiring penganutnya kepada sikap  
patalisme, determinisme, atau Jabariyyah, bagaimanakah peranan aliran  
al-Asy’ariyyah terhadap peningkatan produktivitas kerja. Temuan kajian menyimpulkan bahwa Teologi al-Asy’ariyyah bersifat terbuka, realistis, dan  pragmatis, serta bersikap positif terhadap kemajuan sains dan teknologi. Karena
  itu, menilai aliran al-Asy’ariyyah sebagai aliran fatalisme,  
determinisme atau Jabariyyah tidaklah tepat, karena teologi ini sangat  
menghormati akal sebagai anugerah ilahi, juga menghormati dan menjunjung tinggi naqal sebagai tuntunan ilahi yang senantiasa aktual. 
Muqaddimah
Al-Asy’ariyyah, yang dibangun pertama kali oleh Abu al-Hasan ‘Ali ibn Ismail al-Ash’ary (260-324 H.)([3])
  selama sebelas abad dalam khazanah histori Islam, telah mengalami  
pasang surut dalam penyebaran dan bervariasi dalam perkembangan  
doktrinnya. Aliran ini muncul setelah Abu al-Hasan al-Asy’ary
  memaklumkan dirinya keluar dari Muktazilah sebagai aliran yang telah  
dianutnya hingga usia 40 tahun. Sejak itu, beliau merumuskan teologi  
baru dan mendapatkan banyak pengikut karena dianggap sebagai suatu  
bentuk kesinambungan dari faham Sunni ([4]) yang dianut oleh mayoritas umat Islam, tetapi sebelumnya belum pernah diformulasikan secara lengkap dan sistematis. 
           
  Fakta sejarah menunjukan, tampilnya al-Asy’ary tepat disaat sedang  
menghangatnya pertentangan antara dua kelompok ekstrim yaitu; antara  
kaum Muktazilah yang didukung penguasa, dengan kelompok ahli Hadis yang 
 didukung mayoritas rakyat umum. Upaya al-Asy’ary mendamaikan dua  
kelompok ekstrim yang bertentangan tersebut menyebabkan banyak pakar  
menilai bahwa aliran al- Asy’ariyyah adalah aliran kalam ‘jalan tengah’ 
 antara faham Muktazilah dan ahli Hadis disatu sisi dan antara kaum  
Jabariyyah dan Qadariyyah di sisi yang lain.
            Sebagai aliran jalan tengah antara kaum Muktazilah yang rasionalis-metaforis dan kaum ahli Hadis yang
  ekstrim tekstualis, maka al-Asy’ariyyah dalam metodologi kalamnya di  
samping menggunakan sumber primer berupa teks-teks suci dari al-Qur'an  
dan al-Sunnah, separti yang dilakukan oleh ahli Hadis, juga menggunakan 
 metode rasional berupa mantik atau logik Aristotle, sehingga dia  
menggunakan akal dan naqal secara seimbang. 
Beberapa abad setelah aliran al-Asy’ariyyah mencapai perkembangan dan penyebarannya yang sempurna, umat Islam di bawah Khilafah Uthmaniyyah,
  mulai mundur, sementara dunia Barat mulai bangkit bersama kemajuan 
ilmu  pengetahuan dan teknologinya. Sebahagian pemikir Islam 
menyimpulkan  bahwa salah satu penyebab yang membawa umat Islam kepada 
kemunduran itu  adalah sikap fatalisme yang menyelubungi mental umat 
Islam. Di antara  para penulis dan peneliti ada yang menuduh
 bahwa  teologi al-Asy’ariyyahlah yang harus bertanggung jawab atas  
berkembangnya sikap fatalisme tersebut. Mereka menuduh bahwa teologi  
al-Asy’ariyyahlah yang membelenggu fikiran dan kebebasan manusia,  
sehingga umat Islam, yang mayoritas menjadi penganutnya tergiring kepada
  sikap fatalisme atau Jabariyyah.
Permasalahan Kajian
Berdasar uraian diatas, dapat diambil  suatu permasalahan kajian yaitu; bagaimanakah eksistensi aliran  al-Asy’ariyyah
  dalam kehidupan umat Islam, apakah aliran ini telah membelenggu 
fikiran  dan kebebasan manusia dan menggiring penganutnya kepada sikap  
patalisme, determinisme, atau Jabariyyah, bagaimanakah peranan aliran  
al-Asy’ariyyah terhadap peningkatan produktivitas kerja?. 
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan sumber-sumber kepustakaan
  yang ada kaitannya dengan masalah utama kajian. Sebagai data primer  
yang akan dihinpun dalam Penelitian ini adalah berupa karya-karya Abū  
al- Hasan al- Asycarī,
  al-Bāqillānī, al-Juwaynī, dan al-gazālī yang berkaitan dengan  
metodologi pemikiran dan ajaran teologi mereka. Keempat-empat tokoh ini 
 dianggap sebagai tokoh-tokoh utama yang  telah berhasil mengantar 
mazhab  al-Asy’ariyyah kearah lebih sempurna sehingga mereka dianggap 
sebagai  tokoh-tokoh refresentatif yang dapat mewakili tokoh-tokoh 
al-Ashacirah lainnya dari segi aspek kemajuan, perkembangan dan kesempurnaan  aliran al-Asy’ariyyah. Banyak tokoh lain melakukan hal yang sama, tetapi mereka tidak lepas daripada upaya keempat-empat tokoh tersebut. Dengan kata lain, mereka-mereka inilah merupakan refresentatif yang sesungguhnya dari aliran al-Asy’ariyyah.
           
  Untuk kelengkapan data-data kajian, penulis menggunakan data sekunder,
  yakni bahan-bahan tertulis yang telah dipublikasikan dan diedarkan 
dalam  bentuk buku, dokumen, majallah, dan lain-lain yan dianggap 
relevan,  selain bersifat kepustakaan juga bersifat deskriptif yaitu  
mengeksplorasi produk-produk pemikiran kalam ulama terdahulu sebagai  
bahan perbandingan. 
Qadariyyah vs Jabariyyah
Pada
  dasarnya, terdapat dua pandangan dalam khazanah pemikiran Islam  
menyangkut masalah perbuatan manusia, dalam teologi Islam dikenal dengan
  istilah afcal al-cibad. Golongan pertama adalah mereka yang percaya pada karsa bebas dan kemampuan manusia untuk mewujudkan kemauan dan perbuatannya (free will and free act), golongan ini disebut Qadariyyah.[5]
  Golongan kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa manusia pada  
hakikatnya tidak mempunyai kemampuan apa-apa untuk mewujudkan keinginan 
 dan perbuatannya, karena segala perbuatan manusia telah ditentukan oleh
  Allah sebagai pencipta manusia. Golongan yang berfaham predestinasi 
ini  disebut Jabariyyah.[6]
Qadariyyah,
  dalam hal ini Muktazilah, sangat menitik beratkan tanggung jawab  
manusia atas setiap perbuatannya. Mereka menolak faham yang berpendapat 
 bahwa Allah berkuasa mutlak atas setiap perbuatan manusia.([7]) Menurut
  Muktazilah, dengan akal yang diberikan oleh Allah kepadanya, manusia  
mampu membedakan (memilih) perbuatan baik dan buruk. ([8]) Dengan
  kemampuan dan kebebasan itulah manusia berkuasa menciptakan nasibnya  
sendiri. Dengan demikian, setiap perbuatan manusia, baik atau buruk,  
beriman atau kufur, ditentukan oleh dirinya sendiri.([9]) Allah tidak dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatan manusia. Separti dinyatakan Ghaylan,
  bahwa manusia melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan  
sendiri, dan melakukan perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
  ([10])
  Di sini kelihatan manusia merdeka atas kemauan dan tingkah lakunya,  
apakah ia mau berbuat baik atau berbuat buruk; beriman atau kufur  
terhadap Allah. Atas perbuatan yang dilakukannya itu, manusia memperoleh
  balasan yang sepadan atau setimpal dari Allah. Sesuai dengan sifat  
keadilan Allah, maka di samping memberikan perintah kepada manusia untuk
  berbuat sesuatu, Allah membekali manusia dengan daya atau kekuatan  
untuk berbuat. Allah Yang Maha Adil tidak mungkin mengingkari diri-Nya  
sendiri dengan berbuat zalim kepada manusia, ([11]) yaitu,
  tidak memberikan daya dan kekuatan bagi manusia guna mewujudkan  
perbuatannya yang berkaitan dengan perintah dan larangan-Nya.
Pandangan
  Qadariyyah tersebut, selain menggunakan pendekatan rasional, juga  
berpijak pada dalil-dalil al-Qurān. Karena itu, tidak tepat kalau  
golongan Qadariyyah disebut sebagai kelompok orang-orang yang sudah  
tidak percaya lagi kepada wahyu, sebagaimana ia sering dituduhkan oleh  
sebahagian golongan dalam Islam. Beberapa ayat yang sering mereka  
jadikan sebagai landasan pendapatnya, antara lain adalah firman Allah  
s.w.t:  قل الحق من ربكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر[12] beraksud: “Kebenaran datang dari Tuhanmu. Siapa yang mau, silahkan beriman dan siapa yang mau menyangkal silakan tidak percaya”. Juga firman  Allah :  “ان الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم[13] beraksud: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum (umat) kecuali mereka sendiri yang mengubahnya”. 
           
  Berbeda dengan Qadariyyah, kaum Jabariyyah berpendapat sebaliknya,  
bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan atas kehendak dan  
perbuatannya. ([14]) Mereka yakin, kekuasaan Allah tiada terbatas. Allah adalah Pencipta segala sesuatu, termasuk manusia dan perbuatannya. [15] Jabariyyah
  menyatakan bahwa setiap gerak dan perbuatan apa pun yang terjadi di  
alam semesta ini berlangsung atas kudrat dan iradat Ilahi. Jika  
dikatakan ada kehendak, gerak, atau perbuatan yang terjadi di luar  
kudrat dan iradat Ilahi, separti perbuatan manusia, berarti kekuasaan  
Allah terbatas. Dan mustahil Allah bersifat terbatas. Hal itu, menurut  
Jabariyyah, berarti mengakui adanya pelaku lain di alam semesta ini  
selain  Allah swt. ([16]) 
Jabariyyah dalam mengemukakan fikiran-fikirannya, juga mengambil nas-nas al-Qur’an, antara lain: firman Allah:   يخلق ما يشاء bermaksud “Dialah yang menciptakan apa yang Ia kehendaki”.[17] Juga  فان الله يضل من يشاء ويهدى من يشاء  bermaksud “Sesungguhnya Allah membiarkan sesat siapa yang dikehendaki-Nya dan dipimpin-Nya siapa yang dikehendaki-Nya”.[18] Ayat lain yang dijadikan sandaran adalah: ما أصاب من مصيبة في الأرض ولا فى أنفسكم الا فى كتاب من قبل أن نبرأها[19]  bermaksud: “Tidak
  ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali yang telah  
ditentukan di dalam buku sebelum Kami laksanakan terjadinya”. 
Konsep al-Kasb
Untuk menengahi kedua faham tersebut Abu Hasan al-Ashcari mengajukan konsep al-kasb, dengan pengertian bahwa yang mewujudkan perbuatan manusia adalah Allah, ([20])
  namun manusia diberi daya dan pilihan untuk berbuat atas kehendak  
Allah. Manusia dalam perbuatannya banyak bergantung kepada kehendak dan 
 kekuasaan Allah. Oleh karena itu, manusia, dalam pandangan al-Ashcari, bukan facil, tetapi kasib. Berdasarkan itulah muncul teori al-kasb. Al-Shahrustani memperjelas pengertian al-kasb
  dengan menyatakan bahwa lahirnya perbuatan manusia adalah dengan jalan
  Allah memperlakukan sunnah-Nya melalui daya yang baru diciptakan  
bersama-sama dengan terjadinya perbuatan. Berkaitan dengan itu, lahirlah
  konsep al-iktisab. ([21]) 
            Arti al-iktisab, menurut al-Ashcari, ialah bahwa sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul. ([22]) Di dalam al-Lumac, al-Ashcari memberikan penjelasan yang sama. Arti yang sebenarnya dari al-kasb ialah bahwa sesuatu timbul dari al-muktasib (acquirer, yang memperoleh) dengan perantaraan daya yang diciptakan. ([23]) 
Argumen yang dimajukan oleh al-Ashcari tentang diciptakannya  kasb oleh Allah adalah firman Allah yang bermaksud: “Dan Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”.([24]) Berdasarkan ayat ini, mereka berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan manusia diciptakan oleh Allah. [25] Tidak ada pembuat atau facil bagi kasb kecuali Allah.[26] Dengan perkataan lain, yang menentukan wujudnya kasb atau perbuatan manusia, dalam pandangan al-Ashcari, sebenarnya adalah Allah sendiri. 
Dari keterangan diatas dapat difahami bahwa; sejak masa Ashcari, polemik dan kontroversi tentang perbuatan manusia, dalam teologi dikenal dengan istilah afcal al-cibad, hingga kini tetap hangat diperbincangkan. Terutama kaum Muktazilah yang selalu memunculkan ide qadariyyah atau free will yang menjadi anutan mereka. Dalam suasana demikian al-Ashcarī, sebagai tokoh kalam sunni
  terpanggil mengemukakan idenya seiring dengan metodologi yang ia  
kembangkan untuk menjembatani antara dua kelompok ekstrim, Jabariyyah  
dan Qadariyyah[27] dengan menawarkan konsep ‘teologi poros tengah’ (moderat). 
            Dalil naql yang dijadikan dasar diciptakannya kasb([28]) itu adalah firman Allah s.w.t.:والله خلقكم وما تعملون   “Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”.[29] Kata   وما تعملون  dalam ayat tersebut diartikan oleh al-Ashcarī dengan “apa yang kamu perbuat” dan bukan “apa yang kamu buat”. Hal ini berarti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu. Jadi, menurut al-Ashcarī, perbuatan-perbuatan manusia adalah diciptakan Allah, dan Dia pulalah yang membuat kasb. ([30]) Dengan kata lain, bahwa Allah yang mewujudkan kasb atas
  perbuatan manusia. Dengan demikian, berarti Allah sebenarnya yang  
menjadikan (pembuat) perbuatan manusia, sedangkan manusia hanya  
merupakan tempat berlakunya perbuatan-perbuatan Allah tersebut.
            Al-Ashcari membagi perbuatan atau gerakan manusia terbahagi kepada idtirar (perbuatan tanpa sengaja, di luar kemampuan) dan perbuatan kasb. Masing-masing perbuatan itu mempunyai dua unsur. Bagi idtirar memiliki
  unsur penggerak yang mewujudkan gerak, dan unsur badan yang bergerak. 
 Penggerak adalah Allah, sementara badan yang bergerak adalah manusia,  
sebab badan yang bergerak menghendaki tempat yang bersifat jasmani.  
Sedangkan Allah mustahil mempunyai tempat jasmani. ([31]) Adapun unsur bagi kasb, mengikut al-Ashcari, ialah pembuat dan yang memperoleh perbuatan sebagaimana yang terjadi pada gerakan idtirar. Oleh itu, pembuat kasb yang sebenarnya adalah Allah, sedangkan yang memperoleh kasb adalah manusia.([32])
            Al-Ashcari berusaha membedakan antara perbuatan idtirar dan kasb. Pada  perbuatan pertama terdapat unsur ‘keterpaksaan’ manusia melakukan sesuatu tanpa dapat dihindarinya, walaupun ia berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan hal itu. Sedangkan dalam perbuatan yang kedua, tidak terdapat unsur ‘paksaan’ di dalamnya. Namun keduanya itu adalah perbuatan Allah. ([33]) Argumen ini, sesuai dengan firman Allah: وما تشاءون الا أن يشاء الله[34] “Kamu tidak menghendaki kecuali bila dikehendaki oleh Allah”. Maksud ayat ini, menurut al-Ashcari,
  adalah bahwa manusia tidak dapat menghendaki sesuatu tanpa dikehendaki
  oleh Allah. Jika seseorang berkehendak untuk pergi ke Mekkah, maka  
kehendaknya ini akan terlaksana jika Allah menghendakinya. Jadi kehendak
  manusia satu dengan kehendak Allah, dan kehendak yang ada dalam diri  
manusia itu tidak lain adalah kehendak Allah. ([35])
            Adapun mengenai daya, menurut al-Ashcari, diciptakan Allah pada diri manusia sewaktu ia melakukan perbuatan dan tertentu untuk satu kali perbuatan saja. ([36])
  Jika demikian, berarti orang yang dalam dirinya tidak memperoleh daya 
 ciptaan Allah tidak dapat melakukan perbuatan apa pun, dan daya 
tersebut  tentu selain dari diri manusia. ([37])
  Penjelasan ini membawa kepada kesimpulan, bahwa daya untuk mewujudkan 
 perbuatan sebenarnya bukanlah daya manusia melainkan daya Allah 
Sendiri. ([38])
            Penjelasan al-Ashcari tentang teori kasb tersebut
  sangat jelas, tidak rumit dan tidak membingungkan sebagaimana yang  
sering diungkapkan oleh pelbagai pihak yang mengeritiknya([39]) disebabkan karena mereka tidak memahami konsep yang sesungguhnya dari teori al-kasb al-Ashcari. Akibat dari ketidakfaham inilah, banyak orang berkesimpulan bahwa teori kasb al-Ashcari tersebut tergolong dalam faham Jabariyyah. [40])
            Yang jelas dalam konsep kasb itu al-Ashcari ingin menyatakan bahwa di dalam perbuatan itu terdapat dua fācil,  yaitu
  Allah dan manusia. Walaupun manusia itu tidak mempunyai pengaruh yang 
 efektif, namun dapat difahami bahwa ia tidak mutlak pasif tetapi 
justeru  aktif walau dalam kadar minimum. Jadi, teori kasb al-Ashcari itu belum dapat dikategorikan sebagai jabari, tetapi tidak pula sebagai qadari. Lagi
  pula, suatu penilaian hendaknya jangan terfokus atau terbatas pada isi
  dari teori tersebut, melainkan harus pula dilihat bagaimana latar  
belakang dan tujuan teori itu diketengahkan. 
            Al-Ashcari
  sebenarnya tidak menginginkan umat terjatuh dalam lingkaran Jabariyyah
  dan juga Qadariyyah. Oleh sebab itulah dia mengemukakan sebuah ajaran 
 yang mengambil posisi jalan tengah, dalam tulisan ini diistilahkan  
dengan teologi ‘Poros Tengah’, melalui teori kasb tersebut. Sebagai ajaran pertengahan, tentu yang dimaksudkan oleh al-Ashcari
  adalah bahwa manusia, dalam perbuatannya, bebas tapi terikat; terpaksa
  tapi masih mempunyai kebebasan. Demikianlah maksud al-Ashcari tersebut. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa di sinilah letak keunikan teologi al-Ashcarī.
  Ia memberi peluang kepada generasi berikutnya untuk memberikan  
interpretasi dan penjelasan-penjelesan positif, terutama dari  
tokoh-tokoh al-Asy’ariyyah. 
            Al-Bāqillāni dan al-Juwayni,
  misalnya, berpendapat bahwa perbuatan terjadi dengan daya manusia,  
dengan demikian perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan manusia  
itu sendiri. ([41])
  Namun, ada perbuatan yang manusia itu terpaksa melakukannya. Misalnya,
  manusia manpu berdiri, duduk dan bicara dengan keinginannya sendiri,  
tetapi manusia tidak mampu bergerak ketika ia lunpuh dan Sakit. ([42]) Sehubungan dengan itu, al-Bāqillāni menyatakan bahwa manusia hanya mampu berbuat dengan kudrat yang
  diciptakan Allah padanya. Ini terlihat bahwa seseorang hanya dapat  
berbuat sesuatu pada suatu waktu, tetapi tidak dapat berbuat yang serupa
  pada waktu yang lain. ([43])
            Selanjutaya, menurut al-Bāqillāni, manusia tidak mampu berbuat sebelum terjadi perbuatan (iktisab). Manusia hanya manpu berbuat ketika terjadi perbuatan (fi hal al-iktisāb), sebab ia tidak diberikan kudrat sebelumnya. ([44]) Berkaitan dengan itu, al-Bāqillāni mengatakan bahwa kudrat yang
  ada pada manusia tidak tetap. Karena, apabila ia tetap dengan  
sendirinya mestilah ia tetap ada pada waktu yang sama atau pada waktu  
yang berlainan, hal ini adalah mustahil. ([45])Karena
  itu, kemampuan manusia hanya ada bersamaan dengan perbuatan. Apabila  
manusia telah mempunyai kemampuan sebelum terjadi perbuatan, maka pada  
waktu terjadi perbuatan itu ia tidak lagi memerlukan bantuan Allah. Maka
  yang demikian itu, menurut al-Bāqillāni, mustahil. ([46]) Jadi, dapat dikatakan bahwa Allahlah
  yang menciptakan daya pada manusia dan kebebasan manusia terletak pada
  penggunaan daya tersebut. Allah s.w.t. memberikan kudrat tidak untuk 
dua  perbuatan yang bertentangan atau yang sama, atau yang berbeda. 
Dengan  kata lain, Allah memberikan satu kudrat untuk satu perbuatan. ([47]) Pandangan separti ini, menurut al-Bāqillāni,
  tidak menunjukkan seseorang terpaksa dalam perbuatannya. Orang yang  
terpaksa berbuat adalah orang yang dibebani sesuatu yang tidak  
disukainya. Sementara orang yang dikatakan mampu berbuat adalah orang  
yang berbuat dengan kemauannya sendiri. Orang yang terpaksa berbuat dan 
 yang mampu berbuat berbeda dengan orang yang tidak mampu berbuat sama  
sekali. Maka dalam hal ini, orang yang tidak berbuat apa yang  
diperintahkan kepadanya adalah orang yang tidak mampu melakukannya. [48]Selain itu, al-Bāqillani mengatakan bahwa Allah memberikan kudrat untuk
  berbuat kepada manusia yang sebelumnya tidak ada. Kudrat itu ada  
bersamaan dengan terlaksananya perbuatan. Sebagaimana sebuah cincin  
bergerak bersamaan dengan kejadian gerakan tangan. Begitu juga seseorang
  baru mengetahui rasa sakit bersamaan dengan adanya sakit itu sendiri. ([49]) Argumen ini diperkuat dengan firman Allah :   لا يكلف الله نفسا إلا وسعــهــا[50] “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. Firman Allah: لا يكلف الله نفســا إلا مــا ءاتاهـــا[51] “Allah
  tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang  
diberikan Allah kepadanya”. Kedua-dua ayat ini, menurut al-Bāqillani, menunjukkan bahwa tidak ada kudrat sebelum perbuatan. ([52]) Dan dalam al-Quran dijelaskan kewajipan bagi orang yang berat menjalankan suatu perbuatan untuk membayar fidyah. ([53]) Hal ini, kata al-Bāqillani jelas menunjukkan tidak adanya kudrat. ([54])
            Dari keterangan di atas, dapat dikatakan bahwa al-Ashcari dan al-Bāqillāni  sependapat dalam memandang perbuatan manusia sebagai ciptaan Allah, namun al-Bāqillāni  telah menyempurnakan pendapat gurunya, al-Ashcari, dengan mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan di dalam perbuatannya. al-Bāqillāni  memandang al-kasb sebagai gerakan orang yang disertai kudrat pada
  waktu terjadinya perbuatan, berbeda dengan orang yang lumpuh, yang  
tidak dapat bergerak. Ia membedakan antara gerakan tangan orang yang sehat,
  sebagai gerakan yang tidak terpaksa, dengan gerakan orang yang 
gementar  karena sakit, yaitu yang bergerak karena terpaksa. Oleh karena
 al-kasb merupakan perbuatan melalui jalan ikhtiar, maka al-kasb bukan perbuatan yang terpaksa.[55] Dengan demikian, konsep al-kasb al-Bāqillāni  mengandung
  faham kebebasan. Manusia mempunyai peran efektif di dalam 
perbuatannya,  Allah hanya menciptakan gerak di dalam diri manusia, 
sedangkan bentuk  dari gerakan itu, yang kemudian disebut perbuatan 
seperti duduk,  berdiri, berbicara dan sebagainya, adalah perbuatan 
manusia. ([56]) 
            Pandangan teologis al-Bāqillāni diatas diteruskan oleh al-Juwayni dengan formulasi bahwa manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya, ([57])
  karena ia diberi hak untuk menentukan pilihan, mempergunakan daya yang
  telah diciptakan Allah di dalam dirinya dan megamalkan pengetahuan 
yang  diberikan Allah secara global kepadanya supaya direalisasikan 
dalam  bentuk perbuatan. Selanjutnya, al-Juwayni menyatakan bahwa Allah menciptakan daya di dalam diri manusia sebelum terjadinya perbuatan. Daya itu bersifat card (accidentil) dan setiap card tidak kekal. Jadi, karena card sifatnya tidak kekal (al-card la yabqā), tidak dapat digunakan untuk mewujudkan berbagai macam perbuatan.([58]) Untuk terwujudnya suatu perbuatan, mesti ada daya Allah yang menyertainya. ([59])Manusia, menurut al-Juwayni,
  bebas mengarahkan daya yang diciptakan Allah itu untuk mewujudkan  
perbuatan perbuatannya sesuai dengan kehendak dan kemauannya. Jadi,  
jelas bahwa manusia, menurut al-Juwayni,
  mempunyai peranan efektif untuk mengarahkan daya dan mewujudkan  
perbuatan-perbuatan yang dikehendakinya, sedangkan daya untuk mewujudkan
  perbuatan itu dengan menggunakan daya Allah. Hal ini terjadi karena  
Allah senantiasa memberikan tambahan energi kepada manusia. 
Al-Ghazali
  juga memberikan keterangan yang sama. Menurutnya, Allahlah yang  
menciptakan perbuatan manusia dan kudrat untuk berbuat dalam diri  
manusia. ([60])
  Perbuatan manusia terjadi dengan kudrat Allah dan bukan dengan kudrat 
 manusia, sungguhpun yang disebutkan terakhir ini erat hubungannya 
dengan  perbuatan itu. Oleh karena itu, tidak dapat dikatakan bahwa 
manusialah  yang menciptakan perbuatannya. Untuk itu, kata al-Ghazālī, 
sesuai dengan  apa yang disebutkan dalam al-Qur'an, perbuatan manusia 
itu disebut al-kasb.[61] 
Al-Ghazali memperjelas
  adanya kemungkinan dua kudrat dalam satu perbuatan, yaitu kudrat Allah
  dan kudrat manusia, karena keterkaitan antara kedua kudrat itu dengan 
 perbuatan manusia berbeda. Kudrat Allah berkaitan dengan al-khalq (penciptaan), sementara kudrat manusia berkaitan dengan al-kasb. AI-KhaIq berasal dari Allah sedangkan al-kasb berasal daripada manusia. Karena itu, perbuatan manusia disebut al-kasb. ([62]) 
Peningkatan Produktivitas Kerja
Dari
  pemaparan diatas jelaslah bahwa teologi al-Asy’ariyyah adalah teologi 
 yang yang mementingkan amalan (ikhtiar), sebagaimana yang diisyaratkan 
 dalam teori al-Kasb. Untuk itu, dalam konteks keimanan, bukan hanya  
mengetahui atau membenarkan bahwa Allah itu ada, tetapi juga meletakkan 
 posisi amal (ikhtiar) amat penting dalam kehidupan. Statement ini  
menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh al-Asy’ariyyah dengan teori al-kasb
  itu ialah “perolehan” seperangkat alat untuk infrastruktur  yang  
diberikan kepada manusia untuk diproyeksikan dalam berbagai aspek  
kehidupan di dunia. Seperangkat alat itu ialah “ikhtiar dan daya” dalam 
 perbuatan yang kemudian menimbulkan apa yang disebut  dengan ‘pahala’  
dan ‘dosa’.
            Dengan teori al-Kasb maka percaya kepada takdir sama sekali tidak mengandung kesan fatalisme, sebab fatalisme itu mengandung sikap Jabariyyah, menyerah kalah, kepada nasib atau fate yang mengandung tidak ada usaha (inactivity).
  Krena itu, percaya kepada takdir yang dikehendaki dalam aliran  
al-Ash’ariyyah adalah menyuruh manusia beramal dan berusaha, dan  
mustahil ‘takdir’ memiliki makna menentang aktivitas dan amal perbuatan.
  Dengan kata lain, adanya ikhtiar dalam perbuatan, di samping tidak  
menafikan adanya takdir,  ia juga  membuat manusia bergairah dan dinamis
  dalam melakukan aktivitas. 
Dengan demikian, al-kasb berarti manusia tetap memiliki peranan, yaitu berusaha melaksanakan pekerjaannya, walaupun usahanya itu berada dalam ‘batasan’ kekuasaan
  mutlak Allah. Dalam perkataan lain, manusia tidak dalam keadaan  
terpaksa, tetapi ia juga tidak bebas. Ringkasnya, manusia dalam  
perbuatannya tidak terpaksa secara mutlak, namun juga tidak bebas tanpa 
 batas. Jadi, secara teori al-kasb
  mengandung aspek dinamisme. Menilai faktor kedinamisan dan kestatisan,
  keaktifan dan kepasifan sesorang, standard yang lazim dipakai adalah  
sejauh mana akal mendapat peranan. Dalam konteks ini, teologi  
al-Asy’ariyyah, di samping menggunakan argument  tekstual, ia juga menggunakan argument  rasional. Di dalam Istihsan al-khawd fi  cilm al-kalam, al-Ashcari menjelaskan betapa pentingnya penggunaan logika dalam soal caqliyyah sebagaimana pentingnya menggunakan nas dalam masalah syari’at.
     
        Kenyataan diatas semakin memperkuat keyakinan kita bahwa di 
dalam  faham teologi al-Asy’ariyyah terdapat aspek dinamisme, suatu 
aspek yang  memotifasi pengikutnya untuk senantiasa berfikir dan 
berkarya serta  menciptakan penemuan-penemuan baru; mendorong atau 
setidak-tidaknya,  membiarkan umat untuk melakukan reinterpretasi dan 
reaktualisasi  terhadap berbagai   ajaran agama demi mengantisipasi 
perkembangan zaman  dan pola kehidupan sosial yang selalu dinamis.
           
  Dengan demikian, teori al-Kasb dalam system teologi al-Asy’ariyyah  
dapat merefleksikan suatu sikap dan kreatifitas diri dalam menghadapi  
hidup dan kehidupan sehari-sehari, bahkan yang lebih penting dari  itu  
adalah memberi spirit untuk berbuat dan melaksanakan fungsi kekhalifahan
  dalam merespons segala dampak kemajuan tamaddun (peradaban) 
dunia saat ini. Oleh itu, bekerja  adalah sebahagian daripada ibadah, 
dan itulah yang dimaksud sebagai  ‘produktivitas kerja’ yang mesti 
diperjuangkan  oleh umat Islam. 
            Sebagai inplementasi dari keyakinan diatas, maka menurut ajaran Islam, setiap kali seorang Muslim akan memulai segala aktivitas diperintahkan untuk  mengucapkan basmalah, yaitu Bismi Allah al-Rahman al-Rahim. Apapun yang dilakukan, maka mulailah dengan perkataan tersebut. Dengan mengucapkan basmalah,
  seseorang bukan hanya sekedar mengharapkan “berkah”, tetapi juga  
menghayati maknanya, sehingga dapat melahirkan sikap dan produktifitas  
yang positif.
            Kata bi yang terletak diawal kalimat basmalah, diterjemahkan ‘dengan’, yang oleh para ulama dikaitkan dengan kata ‘memulai’, sehingga pengucap basmalah
  pada hakikatnya berkata: “dengan atau demi Allah saya memulai 
pekerjaan  ini”. Apabila kita menjadikan pekerjaan kita ‘atas nama 
Allah’, maka  pekerjaan tersebut pasti tidak akan mengakibatkan kerugian
 pihak lain,  dan juga tidak akan menimbulkan kerusakan pada harta benda
 orang lain.  Karena ketika itu, kita telah membentengi diri dan 
pekerjaan kita dari  godaan nafsu serta ambisi peribadi. Kata bi juga dikaitkan dengan ‘kekuasaan dan pertolongan’, sehingga si pengucap basmalah
  menyadari bahwa pekerjaan yang dilakukannya terlaksana atas kekuasaan 
 (kudrat) Allah. Ia memohon bantuan Allah agar pekerjaannya dapat  
terselesaikan dengan baik dan sempurna. Dengan permohonan itu, maka di  
dalam jiwa si pengucap basmalah tertanam rasa kelemahan di  
hadapan Allah s.w.t. Namun, pada masa yang sama, tertanam pula kekuatan,
  rasa percaya diri, dan optimisme, karena ia merasa memperoleh bantuan 
 dan kekuatan dari Allah, yakni  sumber dari semua kekuatan. Apabila  
suatu pekerjaan dilakukan atas bantuan Allah, maka suda pasti ia  
sempurna, indah, baik dan benar karena sifat-sifat Allah “berbekas” pada
  pekerjaan tersebut. 
            Argumen diatas semakin mempertegas bahwa betapa pemahaman seseorang terhadap nilai-nilai yang tertanam dalam teori al-Kasb al-Asy’ariyyah akan memberi pengaruh  positif terhadap pengembangan dan peningkatan produktifitas
  kerja. Karena teori ini  selalu mengorientasikan penganutnya untuk  
senatiasa merasa dekat dengan Allah yang pada akhirnya melahirkan sebuah
  kesadaran sebagai manusia yang paling lemah dihadapan kekuasaan mutlak
  Allah, dan pada masa yang sama ia merasa paling kuat dan percaya diri,
  apabila berhadapan dengan makhluk ciptaan Allah, karena ia menyadari  
bahwa ia sedang bersama (معية الله) dengan zat Yang Maha Kuat dan Maha Berkuasa.
            Dalam
  teologi al-Asy’ariyyah, prinsip separti itu dikenal dengan istilah  
“aqidah atau tauhid”. Landasan inilah yang seharusnya mendasari sikap,  
gerak, dan pola pikir (ittijah) setiap Muslim. Komitmen seseorang terhadap aqidah atau tauhid ini terimplementasi dalam bentuk perilaku (suluk), moraliti (akhlaq), visi (wijhah al-Nazr), dalam meniti kehidupan nyata.                       Pemahaman yang kuat terhadap konsep seperti ini akan membentuk sebuah sikap dan jati diri yang kuat dalam memproyeksikan sebuah pranata kehidupan yang dinamis,  produktiv, dan cinta kemajuan.
            Sesungguhnya, bagian-bagian tertentu dari kerangka  konseptual teologis ‘tesis Max Weber’ telah banyak diapresiasi untuk mendorong
  umat supaya bekerja keras dalam mengatasi kemunduran mereka dalam  
bidang ekonomi. Sakralisasi kerja dengan formulasi “kerja adalah bagian 
 dari ibadah” dapat dibandingkan dengan “kerja keras adalah panggilan 
dan  harus terlaksana dalam kehidupan duniawi”. Kesuksesan hidup di 
dunia  ini sebagai konsekwensi logis daripada kerja keras, dan itu merupakan pertanda bahwa orang itu terpilih dan mendapat keselamatan.[63] 
            Keterangan
  di atas mengantar kita kepada sebuah keyakinan bahwa dalam menata  
kehidupan  yang cerah dan cemerlang di hari esok, maka yang paling  
produktif untuk kita lakukan adalah memperbaiki kualitas usaha ikhtiar  
kita (al-kasb) terhadap sesuatu yang lebih bermakna, produktif, dan  
prosfektif  dalam mengantisifasi kemajuan dan perkembangan ilmu  
pengetahuan dan teknologi. 
PENUTUP
 Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa konsep teologi al-Asy’ariyyah sama sekali tidak mengandung kesan fatalisme, sebab fatalisme itu mengandung sikap Jabariyyah, menyerah kalah, kepada nasib atau fate yang mengandung tidak ada usaha (inactivity). Karena itu, percaya kepada takdir yang dikehendaki dalam aliran al-Asy’ariyyah adalah menyuruh manusia beramal dan berusaha. Dengan demikian, konsep al-kasb bermakna manusia tetap memiliki peranan, berusaha melaksanakan pekerjaannya, walaupun usahanya itu berada dalam ‘batasan’ kekuasaan mutlak Allah. 
RUJUKAN
al-Ashcari, Abu al-Hasan cAli ibn Ismacil 1955. Kitab al-luma’ fi al-radd cala ahl al-ziyaqh wa al-bidac. Masr: Matbacat al-Munir.
al-Ashcari, Abu al-Hasan cAli ibn Ismacil. 1950. Maqalat al-Islamiyyin wa ikhtilaf al-musallin. al-Qahirah: Maktabat al-Nahdah al-Misriyyah.
al-Ashcari, Abu al-Hasan cAli ibn Ismacil. 1985. al-Ibanah can usul al-diyanah. Bayrut: Dar al-Kitab al-cArabi.
al-Baghdadi, 1928M/1346H, Kitab usul al-din, Bayrut: Dar al-Kutub al-cIlmiyyah.
al-Baghdadi, Abu Mansur cAbd al-Qadir ibn Tahir al-Tamimi. 1928. Kitab usul al-din. Constatinople: Madrasat al- Misriyyah.
al-Baqillani, al-Qadi Abu Bakr. 1957. Kitab al-tamhil al-awa’il wa talkhis al-dala’il. Bayrut: al-Maktabah al-Sharqiyyah.
al-Baqillani. 1963. al-Insaf fi ma yajib ictiqaduh wa la yajuz al-jahl bih. Tahqiq Muhammad Dhahib al-Kawthari, al-Qahirah: Mu’assasat al-Khanji.
al-Ghazali,  Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad.  1962. Al-iqtisad fi al-ictiqad. Masr: Maktabat Muhammad Subayh.
al-Ghazali,  Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad.  1966. Tahafut al-falasifah. al-Qahirah: Dar al-Ma’arif.
al-Ghazali,  Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad.  1970. “Iljam al-cawam can cilm al-kalam” Masr: Maktabat al-Jundi, Jil. 1.
al-Ghazali,  Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad. 1937. al-Mustasfa min  cilm al-usul. Masr: Maktabat Mustafa Muhammad.
al-Ghazali,  Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad. 1960. Maqasid al-falasifah. Masr: Dar al-Macarif, Cet. 2
al-Ghazali,  Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad. t.th. Ihya’ culum al-din. Bayrut: Dar al-Fikr, Jil. 2.
al-Ghazali,  Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad.. 1907. Kitab al-mawaqif. 8 Juz, al-Qahirah: Maktabat al-Sacadah,
al-Ghurabi., cAli Mustafa. 1958. Tarikh al-firaq al-Islamiyyah wa nash’at cilm al-kalam. al-Qahirah: Maktabat Muhammad cAli Sabih, Cet. 2.
al-Ghurabi., cAli Mustafa. 1958. Tarikh al-firaq al-Islamiyyah wa nash’at cilm al-kalam. al-Qahirah: Maktabat Muhammad cAli Sabih, Cet. 2.
al-Juwayni, Abu al-Macali Abd al-Malik ibn al-Shaykh Abi Muhammad. 1959. al-Irshad cala qawatic al-adillah fi usul al-ictiqad. Misr: Matbacat al-Sacadah.
al-Juwayni, Abu al-Macali Abd al-Malik ibn al-Shaykh Abi Muhammad. 1969. al-Shamil fi usul al-din. Tahqiq Faysal Badir cAwn dan Suhayr Muhammad Mukhtar. Iskandariyyah: Mansha’at al-Macarif.
al-Juwayni, Abu al-Macali cAbd al-Malik ibn al-Shaykh Abi Muhammad. 1979. al-cAqidah al-nizamiyyah. al-Qahirah: Maktabat al-Kulliyyah al-Azhariyyah.
al-Shahrastāni. t.th.al-Milal-wa al-nihal, Bayrut: Dār al-Fikr
Ahmad Amin. 1975. Zuhr al-Islam. Al-Qahirah: Maktabat al-Nahdah al-Misriyyah, Cet. 4.
Ahmad Amin, 1964, Duha al-Islam, al-Qahirah: al-Nahdah, Jil. 3
cAli Sami al-Nashar. t.th. Nash’ah al-fikr al-falsafi fi al-Islam, Masr: Dar al-Fikr al-cArabi.
 D.B. Macdonald, 1903,.Deplopment of Muslim Theologi, Jurisprudence and constitusional Theory, London: George Routledge & Sons Ltd
Fazlur Rahman. 1979. Islam, Chicago and London: University of Chicago Press, Second edition
Ibn cAsakir, Abu al-Qasim cAli ibn al-Hasan ibn Hibatullah al-Dimashqi. 1979. Tabyin kadhb al-muftari fi ma nusiba ila al-Imam Abi al-Hasan al-Ashcari. Bayrut: Dar al-Kitab al-cArabi.
Ibn Taymiyyah. 1980. Dar’ tacarud al-caql wa al-naql, Juz VI, Riyad: Jamicah al-Imam Muhammad bin Sacud al-Islamiyyah, 
Jalal Musa. 1975. Nash’at al-Asy’ariyyah wa al-tatawwuruha, Bayrut: Dar al-Kitab al-Lubnani.
Nurcholish Masid, 1984. Khasanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Subhi, Ahmad Mahmud. 1969. Fi cilm al-kalam. al-Qahirah: Dar al-Macarif.
[1]
  Disampaikan dalam Seminar Internasional kerja sama Fak. Ushuluddin UIN
  Aladdin dengan Jabatan Usuluddin dan Falsafah UKM Malaysia di Kampus 
II  UIN Aladdin Samata, tgl 11 Juni 2009.
[2] Alumni UKM Malaysia dan dosen Tetap Fak. Tarbiyah dan Keguruan UIN Aladdin Makassar
[3] Mengenai silsilah al-Asy’ary ini, rujuk Ibn ‘Asakir, Tabyin kadhb al-Muftari, hal. 34.
[4] Faham Sunni dalam Islam disebut juga: Ahli Sunah waljamaah, dengan watak utamanya: neutral dalam politik dan moderat dalam faham keagamaan. Lihat Fazlur Rahman, hal. 87.
[5] Istilah Qadariyyah mengandung dua arti. Pertama, qadariyyah yang berasal dari kata qadara yang berarti berkuasa. Qadariyyah
  dalam pengartian pertama ini adalah mereka yang memandang manusia  
berkuasa dan bebas dalam perbuatan-perbuatannya. Kedua, qadariyyah yang juga berasal dari kata qadara tetapi dengan arti menentukan. Qadariyyah dalam pengartian ini adalah orang-orang yang berpendapat bahwa nasib manusia telah ditentukan oleh Allah sejak zaman azali.
  Dalam pembahasan ini, Qadariyyah yang dimaksud adalah dalam pengartian
  pertama. Sedangkan Qadariyyah menurut pengartian kedua separti dikenal
  dalam sejarah teologi Islam, tidak lazim digunakan, tetapi biasa 
disebut  Jabariyyah. 
[6] Nama itu berasal dari kata jabara yang mengandung arti al-zamahu bificlihi, yakni berkewajiban atau terpaksa dalam pekerjaannya. Faham Jabariyyah, menurut cAbd al-Halim Mahmud, kelihatan pertama kali ditonjolkan dalam teologi Islam oleh al-Jacad ibn Dirham. Tetapi yang menyebarkannya adalah Jahm ibn Safwan. Faham ini berkembang pesat pada kekuasaan Daulah Umayyah (661-750 M).  
[7]  cAbd al-Jabbar, Sharh al-usul al-khamsah  hal. 132, 361, 362.
[8]  Ibid, hal. 564; al-Shahrastani, al-Milal wa al-nihal, Jil. 1, hal. 59, 63.
[9] Al-Khayyat, hal. 86-87. 198.
[10] Ahmad Amin, Duha al-Islam, hal. 53-54.
[11] Ibid; lihat juga, cAbd al-Jabbar, hal. 301.
[12] Al-Qur’an, al-Kahf (18):29.
[13] Al-Qur’an, al-Racd (13):11. juga Fussilat 41:41; al-Bara'ah 9:70, 111; dan Yunus 10:30.
[14] al-Ghurabi, Tarikh al-firaq al-Islamiyyah, hal. 2930.
[15] lbrahim Madkur, Fi  al-falsafah al-Islamiyyah, hal. 27. al-Shahrustani, al-Milal, hal. 86-88.
[16] Demikianlah
  pandangan dasar kaum Jabariyyah, yang dalam perkembangan seterusnya  
terpilah-pilah dalam beberapa hal kecil. Tetapi, perbedaan-perbedaan  
yang terjadi di kalangan Jabariyyah itu tidak mengubah konsepsi  
dasarnya. Sebab, pada prinsipnya, mereka tetap tidak menerima adanya  
kemauan dan perbutan bebas manusia.
[17] Al-Qur’an, Rum 30:54.
[18] Al-Qur’an, Fatir 35:8.
[19] Al-Qur’an, al-Hadid 57:22. al-Anbiya' 21:23; al-Anfal 8:17.
[20]  al-Ashcari, Maqalat al-Islamiyyin, Jil. 1, hal. 315. Al-Bazdawi, Usul al-din, hal. 100.
[21] al-Shahrastani, al-Milal wa al-nihal, hal. 97.
[22] al-Ashcari, Maqalat al-Islamiyyin, Jil. 2, hal. 221.
[23] al-Ashcari, al-Lumac, hal. 76.
[24] Maksud al-Qurān, al-Saffat 37: 96.
[25] al-Ashcari, al-Lumac, hal. 70.
[26] Ibid hal. 72.
[27] Abū Zahrah, Tarikh al-madhahib al-Islāmiyyah, Jil. 1, hal. 187.
[28] al-Ashcarī, al-Ibānah, hal. 243
[29]Al-Qur’an, al-Sāffāt 37:96.
[30] al-Ashcarī, al-Lumac, hal. 70, 72.
[31] Ibid, hal. 73-74.
[32]  Ibid.
[33]  Ibid., hal. 75-76.
[34]  Al-Qur’an, al-Insan 76:30
[35]  al-Ashcari, al-Lumac, hal. 93.
[36]  Ibid, hal. 93, 96
[37]  Ibid
[38] al-Ashcarī, al-Ibānah, hal. 54.
[39] Ahmad Amin, Zuhr al-IsIām, Jil. 4, hal. 83; JaIāl Musa, Nash'at al-Ashcariyyah, hal. 238.
[40] Ahmad Amin, hal. 83.
[41] al-Bāqillānī, al-Tamhid, hal. 346; al-Juwaynī, al-Aqīdah al-nizamiyyah, hal.
  34. Pada masa silam, keyakinan semacam itu memupuk keberanian dan  
kesabaran dalam jiwa umat Islam untuk menghadapi segala macam tantangan 
 dan kesukaran kerana inilah umat Islam di zaman silam bersifat dinamis 
 dan dapat mewujudkan peradaban yang tinggi. Lihat Harun Nasution,  hal. 155.
[42] al-Bāqillānī
  mengakui adanya andil manusia di dalam perbuatannya. Kerana itu,  
manusia memiliki kebebasan di dalam menentukan perbuatan yang  
diinginkannya. al-Bāqillānī, , hal. 323.
[43]  Ibid., hal. 324,
[44]  Ibid.
[45]  Ibid., hal. 324
[46]  Ibid.
[47]  lbid, hal. 326.
[48]  Ibid., hal. 331-332.
[49]  Ibid., hal. 328.
[50] Al-Qur’an, al-Baqarah (2):286.
[51] Al-Qur’an, al-Talāq (65):7.
[52]  Ibid., hal. 239,
[53]  Al-Qur’an, al-Baqarah 2:184
[54] Al-Bāqillānī,  hal. 239.
[55]  Ibid, hal. 347
[56] al-Shahrustani, hal. 97-98.
[57] al-Juwaynī, al-cAqīdah al-nizāmiyyah, hal. 34.
[58] al-Juwaynī, al-Irshād, hal. 217.
[59]Tuhan
  adalah pencipta perbuatan manusia. Ertinya Tuhan benar-benar 
mengetahui  perbuatan manusia secara terperinci. Manusia tidak dikatakan
 sebagai  pencipta perbuatannya, kerana, kadang-kadang, manusia tidak 
mengetahui  dan tidak menyedari adanya perbuatan yang sedang 
diperbuatnya. Misalnya,  ia makan dan minum sewaktu sedang mabuk atau ia
 membalikkan tubuhnya  ketika sedang tidur, ia berbicara semasa sedang 
'ngigau' sakit dan  sebagainya. Perbuatan-perbuatan seperti itu jelas 
bukan manusia sendiri  yang menciptakanrrya, tetapi Tuhanlah yang 
menciptakannya, sebab Ia  mengetahui segala perbuatan yang diperbuat 
oleh hamba-Nya. Lihat Ibid, hal 190. Idem, al-cAqīdah al-nizāmiyyah, hal. 33.
[60] al-Ghazālī, al-Iqtisād fī al-ictiqād, hal. 49.
[61] Ibid 314
[62] al-Ghazali, al-Iqtisad fi al-Ictiqad,  hal. 49.
[63]
  Dalam tesisnya, Max Weber menegaskan adanya hubungan antar Etika  
Protestan dengan semangat kapitalisme. Semangat Kapitalisme yang  
berdasarkan pada cinta ketekunan, berhemat cermat, punya perhitungan,  
rasional, dan sanggup menahan diri, menemukan pasangannya dengan  
kerangka pemikiran teologi Calvinisme, terutama Puritanisme, iaitu bahwa
  keselamatan diberikan Tuhan kepada orang terpilih sesuai dengan takdir
  yang telah ditentukan. Karenanya manusia selalu merasa dalam  
ketidakpastian, apakah terpilih sehingga memperoleh keselamatan atau  
tidak. Dan kewajibannya adalah menganggap dirinya terpilih dan memerangi
  keraguannya tentang anggapan tersebut, sebab keraguannya merupakan  
pertanda dia tidak terpilih dalam takdir. Untuk menghilangkan  
keraguannya itu dia harus bekerja keras, dan keberhasilan dari kerja  
keras ini dianggap sebagai pembenaran bahwa dia memang terpilih. Jadi  
kerja keras merupakan pangilan dan suatu tugas suci. Kerangka pemikiran 
 teologi ini melahirkan etos kerja para penganut Protestan yang berhasil
  mengembangkan kapitalisme dari dunia Barat. Lihat Taufik Abdullah, Ethos kerja dan perkembangan ekonomi, Jakarta, LP3ES, 1979, hal. 4-10.
KONSEP AL-KASB AL-ASY’ARIYYAH 
DAN PERANANNYA TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KERJA[1]
DR. H. Hamzah Harun al-Rasyid, MA[2]
ABSTRAK
Kajian ini membahas tentang konsep al-Kasb al-Asy’ariyyah dan peranannya terhadap peningkatan poduktivitas kerja. Permasalahan kajian adalah bagaimanakah eksistensi aliran  al-Asy’ariyyah
  dalam kehidupan umat Islam, apakah aliran ini telah membelenggu 
fikiran  dan kebebasan manusia dan menggiring penganutnya kepada sikap  
patalisme, determinisme, atau Jabariyyah, bagaimanakah peranan aliran  
al-Asy’ariyyah terhadap peningkatan produktivitas kerja. Temuan kajian menyimpulkan bahwa Teologi al-Asy’ariyyah bersifat terbuka, realistis, dan  pragmatis, serta bersikap positif terhadap kemajuan sains dan teknologi. Karena
  itu, menilai aliran al-Asy’ariyyah sebagai aliran fatalisme,  
determinisme atau Jabariyyah tidaklah tepat, karena teologi ini sangat  
menghormati akal sebagai anugerah ilahi, juga menghormati dan menjunjung tinggi naqal sebagai tuntunan ilahi yang senantiasa aktual. 
Muqaddimah
Al-Asy’ariyyah, yang dibangun pertama kali oleh Abu al-Hasan ‘Ali ibn Ismail al-Ash’ary (260-324 H.)([3])
  selama sebelas abad dalam khazanah histori Islam, telah mengalami  
pasang surut dalam penyebaran dan bervariasi dalam perkembangan  
doktrinnya. Aliran ini muncul setelah Abu al-Hasan al-Asy’ary
  memaklumkan dirinya keluar dari Muktazilah sebagai aliran yang telah  
dianutnya hingga usia 40 tahun. Sejak itu, beliau merumuskan teologi  
baru dan mendapatkan banyak pengikut karena dianggap sebagai suatu  
bentuk kesinambungan dari faham Sunni ([4]) yang dianut oleh mayoritas umat Islam, tetapi sebelumnya belum pernah diformulasikan secara lengkap dan sistematis. 
           
  Fakta sejarah menunjukan, tampilnya al-Asy’ary tepat disaat sedang  
menghangatnya pertentangan antara dua kelompok ekstrim yaitu; antara  
kaum Muktazilah yang didukung penguasa, dengan kelompok ahli Hadis yang 
 didukung mayoritas rakyat umum. Upaya al-Asy’ary mendamaikan dua  
kelompok ekstrim yang bertentangan tersebut menyebabkan banyak pakar  
menilai bahwa aliran al- Asy’ariyyah adalah aliran kalam ‘jalan tengah’ 
 antara faham Muktazilah dan ahli Hadis disatu sisi dan antara kaum  
Jabariyyah dan Qadariyyah di sisi yang lain.
            Sebagai aliran jalan tengah antara kaum Muktazilah yang rasionalis-metaforis dan kaum ahli Hadis yang
  ekstrim tekstualis, maka al-Asy’ariyyah dalam metodologi kalamnya di  
samping menggunakan sumber primer berupa teks-teks suci dari al-Qur'an  
dan al-Sunnah, separti yang dilakukan oleh ahli Hadis, juga menggunakan 
 metode rasional berupa mantik atau logik Aristotle, sehingga dia  
menggunakan akal dan naqal secara seimbang. 
Beberapa abad setelah aliran al-Asy’ariyyah mencapai perkembangan dan penyebarannya yang sempurna, umat Islam di bawah Khilafah Uthmaniyyah,
  mulai mundur, sementara dunia Barat mulai bangkit bersama kemajuan 
ilmu  pengetahuan dan teknologinya. Sebahagian pemikir Islam 
menyimpulkan  bahwa salah satu penyebab yang membawa umat Islam kepada 
kemunduran itu  adalah sikap fatalisme yang menyelubungi mental umat 
Islam. Di antara  para penulis dan peneliti ada yang menuduh
 bahwa  teologi al-Asy’ariyyahlah yang harus bertanggung jawab atas  
berkembangnya sikap fatalisme tersebut. Mereka menuduh bahwa teologi  
al-Asy’ariyyahlah yang membelenggu fikiran dan kebebasan manusia,  
sehingga umat Islam, yang mayoritas menjadi penganutnya tergiring kepada
  sikap fatalisme atau Jabariyyah.
Permasalahan Kajian
Berdasar uraian diatas, dapat diambil  suatu permasalahan kajian yaitu; bagaimanakah eksistensi aliran  al-Asy’ariyyah
  dalam kehidupan umat Islam, apakah aliran ini telah membelenggu 
fikiran  dan kebebasan manusia dan menggiring penganutnya kepada sikap  
patalisme, determinisme, atau Jabariyyah, bagaimanakah peranan aliran  
al-Asy’ariyyah terhadap peningkatan produktivitas kerja?. 
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan sumber-sumber kepustakaan
  yang ada kaitannya dengan masalah utama kajian. Sebagai data primer  
yang akan dihinpun dalam Penelitian ini adalah berupa karya-karya Abū  
al- Hasan al- Asycarī,
  al-Bāqillānī, al-Juwaynī, dan al-gazālī yang berkaitan dengan  
metodologi pemikiran dan ajaran teologi mereka. Keempat-empat tokoh ini 
 dianggap sebagai tokoh-tokoh utama yang  telah berhasil mengantar 
mazhab  al-Asy’ariyyah kearah lebih sempurna sehingga mereka dianggap 
sebagai  tokoh-tokoh refresentatif yang dapat mewakili tokoh-tokoh 
al-Ashacirah lainnya dari segi aspek kemajuan, perkembangan dan kesempurnaan  aliran al-Asy’ariyyah. Banyak tokoh lain melakukan hal yang sama, tetapi mereka tidak lepas daripada upaya keempat-empat tokoh tersebut. Dengan kata lain, mereka-mereka inilah merupakan refresentatif yang sesungguhnya dari aliran al-Asy’ariyyah.
           
  Untuk kelengkapan data-data kajian, penulis menggunakan data sekunder,
  yakni bahan-bahan tertulis yang telah dipublikasikan dan diedarkan 
dalam  bentuk buku, dokumen, majallah, dan lain-lain yan dianggap 
relevan,  selain bersifat kepustakaan juga bersifat deskriptif yaitu  
mengeksplorasi produk-produk pemikiran kalam ulama terdahulu sebagai  
bahan perbandingan. 
Qadariyyah vs Jabariyyah
Pada
  dasarnya, terdapat dua pandangan dalam khazanah pemikiran Islam  
menyangkut masalah perbuatan manusia, dalam teologi Islam dikenal dengan
  istilah afcal al-cibad. Golongan pertama adalah mereka yang percaya pada karsa bebas dan kemampuan manusia untuk mewujudkan kemauan dan perbuatannya (free will and free act), golongan ini disebut Qadariyyah.[5]
  Golongan kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa manusia pada  
hakikatnya tidak mempunyai kemampuan apa-apa untuk mewujudkan keinginan 
 dan perbuatannya, karena segala perbuatan manusia telah ditentukan oleh
  Allah sebagai pencipta manusia. Golongan yang berfaham predestinasi 
ini  disebut Jabariyyah.[6]
Qadariyyah,
  dalam hal ini Muktazilah, sangat menitik beratkan tanggung jawab  
manusia atas setiap perbuatannya. Mereka menolak faham yang berpendapat 
 bahwa Allah berkuasa mutlak atas setiap perbuatan manusia.([7]) Menurut
  Muktazilah, dengan akal yang diberikan oleh Allah kepadanya, manusia  
mampu membedakan (memilih) perbuatan baik dan buruk. ([8]) Dengan
  kemampuan dan kebebasan itulah manusia berkuasa menciptakan nasibnya  
sendiri. Dengan demikian, setiap perbuatan manusia, baik atau buruk,  
beriman atau kufur, ditentukan oleh dirinya sendiri.([9]) Allah tidak dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatan manusia. Separti dinyatakan Ghaylan,
  bahwa manusia melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan  
sendiri, dan melakukan perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
  ([10])
  Di sini kelihatan manusia merdeka atas kemauan dan tingkah lakunya,  
apakah ia mau berbuat baik atau berbuat buruk; beriman atau kufur  
terhadap Allah. Atas perbuatan yang dilakukannya itu, manusia memperoleh
  balasan yang sepadan atau setimpal dari Allah. Sesuai dengan sifat  
keadilan Allah, maka di samping memberikan perintah kepada manusia untuk
  berbuat sesuatu, Allah membekali manusia dengan daya atau kekuatan  
untuk berbuat. Allah Yang Maha Adil tidak mungkin mengingkari diri-Nya  
sendiri dengan berbuat zalim kepada manusia, ([11]) yaitu,
  tidak memberikan daya dan kekuatan bagi manusia guna mewujudkan  
perbuatannya yang berkaitan dengan perintah dan larangan-Nya.
Pandangan
  Qadariyyah tersebut, selain menggunakan pendekatan rasional, juga  
berpijak pada dalil-dalil al-Qurān. Karena itu, tidak tepat kalau  
golongan Qadariyyah disebut sebagai kelompok orang-orang yang sudah  
tidak percaya lagi kepada wahyu, sebagaimana ia sering dituduhkan oleh  
sebahagian golongan dalam Islam. Beberapa ayat yang sering mereka  
jadikan sebagai landasan pendapatnya, antara lain adalah firman Allah  
s.w.t:  قل الحق من ربكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر[12] beraksud: “Kebenaran datang dari Tuhanmu. Siapa yang mau, silahkan beriman dan siapa yang mau menyangkal silakan tidak percaya”. Juga firman  Allah :  “ان الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم[13] beraksud: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum (umat) kecuali mereka sendiri yang mengubahnya”. 
           
  Berbeda dengan Qadariyyah, kaum Jabariyyah berpendapat sebaliknya,  
bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan atas kehendak dan  
perbuatannya. ([14]) Mereka yakin, kekuasaan Allah tiada terbatas. Allah adalah Pencipta segala sesuatu, termasuk manusia dan perbuatannya. [15] Jabariyyah
  menyatakan bahwa setiap gerak dan perbuatan apa pun yang terjadi di  
alam semesta ini berlangsung atas kudrat dan iradat Ilahi. Jika  
dikatakan ada kehendak, gerak, atau perbuatan yang terjadi di luar  
kudrat dan iradat Ilahi, separti perbuatan manusia, berarti kekuasaan  
Allah terbatas. Dan mustahil Allah bersifat terbatas. Hal itu, menurut  
Jabariyyah, berarti mengakui adanya pelaku lain di alam semesta ini  
selain  Allah swt. ([16]) 
Jabariyyah dalam mengemukakan fikiran-fikirannya, juga mengambil nas-nas al-Qur’an, antara lain: firman Allah:   يخلق ما يشاء bermaksud “Dialah yang menciptakan apa yang Ia kehendaki”.[17] Juga  فان الله يضل من يشاء ويهدى من يشاء  bermaksud “Sesungguhnya Allah membiarkan sesat siapa yang dikehendaki-Nya dan dipimpin-Nya siapa yang dikehendaki-Nya”.[18] Ayat lain yang dijadikan sandaran adalah: ما أصاب من مصيبة في الأرض ولا فى أنفسكم الا فى كتاب من قبل أن نبرأها[19]  bermaksud: “Tidak
  ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali yang telah  
ditentukan di dalam buku sebelum Kami laksanakan terjadinya”. 
Konsep al-Kasb
Untuk menengahi kedua faham tersebut Abu Hasan al-Ashcari mengajukan konsep al-kasb, dengan pengertian bahwa yang mewujudkan perbuatan manusia adalah Allah, ([20])
  namun manusia diberi daya dan pilihan untuk berbuat atas kehendak  
Allah. Manusia dalam perbuatannya banyak bergantung kepada kehendak dan 
 kekuasaan Allah. Oleh karena itu, manusia, dalam pandangan al-Ashcari, bukan facil, tetapi kasib. Berdasarkan itulah muncul teori al-kasb. Al-Shahrustani memperjelas pengertian al-kasb
  dengan menyatakan bahwa lahirnya perbuatan manusia adalah dengan jalan
  Allah memperlakukan sunnah-Nya melalui daya yang baru diciptakan  
bersama-sama dengan terjadinya perbuatan. Berkaitan dengan itu, lahirlah
  konsep al-iktisab. ([21]) 
            Arti al-iktisab, menurut al-Ashcari, ialah bahwa sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul. ([22]) Di dalam al-Lumac, al-Ashcari memberikan penjelasan yang sama. Arti yang sebenarnya dari al-kasb ialah bahwa sesuatu timbul dari al-muktasib (acquirer, yang memperoleh) dengan perantaraan daya yang diciptakan. ([23]) 
Argumen yang dimajukan oleh al-Ashcari tentang diciptakannya  kasb oleh Allah adalah firman Allah yang bermaksud: “Dan Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”.([24]) Berdasarkan ayat ini, mereka berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan manusia diciptakan oleh Allah. [25] Tidak ada pembuat atau facil bagi kasb kecuali Allah.[26] Dengan perkataan lain, yang menentukan wujudnya kasb atau perbuatan manusia, dalam pandangan al-Ashcari, sebenarnya adalah Allah sendiri. 
Dari keterangan diatas dapat difahami bahwa; sejak masa Ashcari, polemik dan kontroversi tentang perbuatan manusia, dalam teologi dikenal dengan istilah afcal al-cibad, hingga kini tetap hangat diperbincangkan. Terutama kaum Muktazilah yang selalu memunculkan ide qadariyyah atau free will yang menjadi anutan mereka. Dalam suasana demikian al-Ashcarī, sebagai tokoh kalam sunni
  terpanggil mengemukakan idenya seiring dengan metodologi yang ia  
kembangkan untuk menjembatani antara dua kelompok ekstrim, Jabariyyah  
dan Qadariyyah[27] dengan menawarkan konsep ‘teologi poros tengah’ (moderat). 
            Dalil naql yang dijadikan dasar diciptakannya kasb([28]) itu adalah firman Allah s.w.t.:والله خلقكم وما تعملون   “Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”.[29] Kata   وما تعملون  dalam ayat tersebut diartikan oleh al-Ashcarī dengan “apa yang kamu perbuat” dan bukan “apa yang kamu buat”. Hal ini berarti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu. Jadi, menurut al-Ashcarī, perbuatan-perbuatan manusia adalah diciptakan Allah, dan Dia pulalah yang membuat kasb. ([30]) Dengan kata lain, bahwa Allah yang mewujudkan kasb atas
  perbuatan manusia. Dengan demikian, berarti Allah sebenarnya yang  
menjadikan (pembuat) perbuatan manusia, sedangkan manusia hanya  
merupakan tempat berlakunya perbuatan-perbuatan Allah tersebut.
            Al-Ashcari membagi perbuatan atau gerakan manusia terbahagi kepada idtirar (perbuatan tanpa sengaja, di luar kemampuan) dan perbuatan kasb. Masing-masing perbuatan itu mempunyai dua unsur. Bagi idtirar memiliki
  unsur penggerak yang mewujudkan gerak, dan unsur badan yang bergerak. 
 Penggerak adalah Allah, sementara badan yang bergerak adalah manusia,  
sebab badan yang bergerak menghendaki tempat yang bersifat jasmani.  
Sedangkan Allah mustahil mempunyai tempat jasmani. ([31]) Adapun unsur bagi kasb, mengikut al-Ashcari, ialah pembuat dan yang memperoleh perbuatan sebagaimana yang terjadi pada gerakan idtirar. Oleh itu, pembuat kasb yang sebenarnya adalah Allah, sedangkan yang memperoleh kasb adalah manusia.([32])
            Al-Ashcari berusaha membedakan antara perbuatan idtirar dan kasb. Pada  perbuatan pertama terdapat unsur ‘keterpaksaan’ manusia melakukan sesuatu tanpa dapat dihindarinya, walaupun ia berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan hal itu. Sedangkan dalam perbuatan yang kedua, tidak terdapat unsur ‘paksaan’ di dalamnya. Namun keduanya itu adalah perbuatan Allah. ([33]) Argumen ini, sesuai dengan firman Allah: وما تشاءون الا أن يشاء الله[34] “Kamu tidak menghendaki kecuali bila dikehendaki oleh Allah”. Maksud ayat ini, menurut al-Ashcari,
  adalah bahwa manusia tidak dapat menghendaki sesuatu tanpa dikehendaki
  oleh Allah. Jika seseorang berkehendak untuk pergi ke Mekkah, maka  
kehendaknya ini akan terlaksana jika Allah menghendakinya. Jadi kehendak
  manusia satu dengan kehendak Allah, dan kehendak yang ada dalam diri  
manusia itu tidak lain adalah kehendak Allah. ([35])
            Adapun mengenai daya, menurut al-Ashcari, diciptakan Allah pada diri manusia sewaktu ia melakukan perbuatan dan tertentu untuk satu kali perbuatan saja. ([36])
  Jika demikian, berarti orang yang dalam dirinya tidak memperoleh daya 
 ciptaan Allah tidak dapat melakukan perbuatan apa pun, dan daya 
tersebut  tentu selain dari diri manusia. ([37])
  Penjelasan ini membawa kepada kesimpulan, bahwa daya untuk mewujudkan 
 perbuatan sebenarnya bukanlah daya manusia melainkan daya Allah 
Sendiri. ([38])
            Penjelasan al-Ashcari tentang teori kasb tersebut
  sangat jelas, tidak rumit dan tidak membingungkan sebagaimana yang  
sering diungkapkan oleh pelbagai pihak yang mengeritiknya([39]) disebabkan karena mereka tidak memahami konsep yang sesungguhnya dari teori al-kasb al-Ashcari. Akibat dari ketidakfaham inilah, banyak orang berkesimpulan bahwa teori kasb al-Ashcari tersebut tergolong dalam faham Jabariyyah. [40])
            Yang jelas dalam konsep kasb itu al-Ashcari ingin menyatakan bahwa di dalam perbuatan itu terdapat dua fācil,  yaitu
  Allah dan manusia. Walaupun manusia itu tidak mempunyai pengaruh yang 
 efektif, namun dapat difahami bahwa ia tidak mutlak pasif tetapi 
justeru  aktif walau dalam kadar minimum. Jadi, teori kasb al-Ashcari itu belum dapat dikategorikan sebagai jabari, tetapi tidak pula sebagai qadari. Lagi
  pula, suatu penilaian hendaknya jangan terfokus atau terbatas pada isi
  dari teori tersebut, melainkan harus pula dilihat bagaimana latar  
belakang dan tujuan teori itu diketengahkan. 
            Al-Ashcari
  sebenarnya tidak menginginkan umat terjatuh dalam lingkaran Jabariyyah
  dan juga Qadariyyah. Oleh sebab itulah dia mengemukakan sebuah ajaran 
 yang mengambil posisi jalan tengah, dalam tulisan ini diistilahkan  
dengan teologi ‘Poros Tengah’, melalui teori kasb tersebut. Sebagai ajaran pertengahan, tentu yang dimaksudkan oleh al-Ashcari
  adalah bahwa manusia, dalam perbuatannya, bebas tapi terikat; terpaksa
  tapi masih mempunyai kebebasan. Demikianlah maksud al-Ashcari tersebut. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa di sinilah letak keunikan teologi al-Ashcarī.
  Ia memberi peluang kepada generasi berikutnya untuk memberikan  
interpretasi dan penjelasan-penjelesan positif, terutama dari  
tokoh-tokoh al-Asy’ariyyah. 
            Al-Bāqillāni dan al-Juwayni,
  misalnya, berpendapat bahwa perbuatan terjadi dengan daya manusia,  
dengan demikian perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan manusia  
itu sendiri. ([41])
  Namun, ada perbuatan yang manusia itu terpaksa melakukannya. Misalnya,
  manusia manpu berdiri, duduk dan bicara dengan keinginannya sendiri,  
tetapi manusia tidak mampu bergerak ketika ia lunpuh dan Sakit. ([42]) Sehubungan dengan itu, al-Bāqillāni menyatakan bahwa manusia hanya mampu berbuat dengan kudrat yang
  diciptakan Allah padanya. Ini terlihat bahwa seseorang hanya dapat  
berbuat sesuatu pada suatu waktu, tetapi tidak dapat berbuat yang serupa
  pada waktu yang lain. ([43])
            Selanjutaya, menurut al-Bāqillāni, manusia tidak mampu berbuat sebelum terjadi perbuatan (iktisab). Manusia hanya manpu berbuat ketika terjadi perbuatan (fi hal al-iktisāb), sebab ia tidak diberikan kudrat sebelumnya. ([44]) Berkaitan dengan itu, al-Bāqillāni mengatakan bahwa kudrat yang
  ada pada manusia tidak tetap. Karena, apabila ia tetap dengan  
sendirinya mestilah ia tetap ada pada waktu yang sama atau pada waktu  
yang berlainan, hal ini adalah mustahil. ([45])Karena
  itu, kemampuan manusia hanya ada bersamaan dengan perbuatan. Apabila  
manusia telah mempunyai kemampuan sebelum terjadi perbuatan, maka pada  
waktu terjadi perbuatan itu ia tidak lagi memerlukan bantuan Allah. Maka
  yang demikian itu, menurut al-Bāqillāni, mustahil. ([46]) Jadi, dapat dikatakan bahwa Allahlah
  yang menciptakan daya pada manusia dan kebebasan manusia terletak pada
  penggunaan daya tersebut. Allah s.w.t. memberikan kudrat tidak untuk 
dua  perbuatan yang bertentangan atau yang sama, atau yang berbeda. 
Dengan  kata lain, Allah memberikan satu kudrat untuk satu perbuatan. ([47]) Pandangan separti ini, menurut al-Bāqillāni,
  tidak menunjukkan seseorang terpaksa dalam perbuatannya. Orang yang  
terpaksa berbuat adalah orang yang dibebani sesuatu yang tidak  
disukainya. Sementara orang yang dikatakan mampu berbuat adalah orang  
yang berbuat dengan kemauannya sendiri. Orang yang terpaksa berbuat dan 
 yang mampu berbuat berbeda dengan orang yang tidak mampu berbuat sama  
sekali. Maka dalam hal ini, orang yang tidak berbuat apa yang  
diperintahkan kepadanya adalah orang yang tidak mampu melakukannya. [48]Selain itu, al-Bāqillani mengatakan bahwa Allah memberikan kudrat untuk
  berbuat kepada manusia yang sebelumnya tidak ada. Kudrat itu ada  
bersamaan dengan terlaksananya perbuatan. Sebagaimana sebuah cincin  
bergerak bersamaan dengan kejadian gerakan tangan. Begitu juga seseorang
  baru mengetahui rasa sakit bersamaan dengan adanya sakit itu sendiri. ([49]) Argumen ini diperkuat dengan firman Allah :   لا يكلف الله نفسا إلا وسعــهــا[50] “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. Firman Allah: لا يكلف الله نفســا إلا مــا ءاتاهـــا[51] “Allah
  tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang  
diberikan Allah kepadanya”. Kedua-dua ayat ini, menurut al-Bāqillani, menunjukkan bahwa tidak ada kudrat sebelum perbuatan. ([52]) Dan dalam al-Quran dijelaskan kewajipan bagi orang yang berat menjalankan suatu perbuatan untuk membayar fidyah. ([53]) Hal ini, kata al-Bāqillani jelas menunjukkan tidak adanya kudrat. ([54])
            Dari keterangan di atas, dapat dikatakan bahwa al-Ashcari dan al-Bāqillāni  sependapat dalam memandang perbuatan manusia sebagai ciptaan Allah, namun al-Bāqillāni  telah menyempurnakan pendapat gurunya, al-Ashcari, dengan mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan di dalam perbuatannya. al-Bāqillāni  memandang al-kasb sebagai gerakan orang yang disertai kudrat pada
  waktu terjadinya perbuatan, berbeda dengan orang yang lumpuh, yang  
tidak dapat bergerak. Ia membedakan antara gerakan tangan orang yang sehat,
  sebagai gerakan yang tidak terpaksa, dengan gerakan orang yang 
gementar  karena sakit, yaitu yang bergerak karena terpaksa. Oleh karena
 al-kasb merupakan perbuatan melalui jalan ikhtiar, maka al-kasb bukan perbuatan yang terpaksa.[55] Dengan demikian, konsep al-kasb al-Bāqillāni  mengandung
  faham kebebasan. Manusia mempunyai peran efektif di dalam 
perbuatannya,  Allah hanya menciptakan gerak di dalam diri manusia, 
sedangkan bentuk  dari gerakan itu, yang kemudian disebut perbuatan 
seperti duduk,  berdiri, berbicara dan sebagainya, adalah perbuatan 
manusia. ([56]) 
            Pandangan teologis al-Bāqillāni diatas diteruskan oleh al-Juwayni dengan formulasi bahwa manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya, ([57])
  karena ia diberi hak untuk menentukan pilihan, mempergunakan daya yang
  telah diciptakan Allah di dalam dirinya dan megamalkan pengetahuan 
yang  diberikan Allah secara global kepadanya supaya direalisasikan 
dalam  bentuk perbuatan. Selanjutnya, al-Juwayni menyatakan bahwa Allah menciptakan daya di dalam diri manusia sebelum terjadinya perbuatan. Daya itu bersifat card (accidentil) dan setiap card tidak kekal. Jadi, karena card sifatnya tidak kekal (al-card la yabqā), tidak dapat digunakan untuk mewujudkan berbagai macam perbuatan.([58]) Untuk terwujudnya suatu perbuatan, mesti ada daya Allah yang menyertainya. ([59])Manusia, menurut al-Juwayni,
  bebas mengarahkan daya yang diciptakan Allah itu untuk mewujudkan  
perbuatan perbuatannya sesuai dengan kehendak dan kemauannya. Jadi,  
jelas bahwa manusia, menurut al-Juwayni,
  mempunyai peranan efektif untuk mengarahkan daya dan mewujudkan  
perbuatan-perbuatan yang dikehendakinya, sedangkan daya untuk mewujudkan
  perbuatan itu dengan menggunakan daya Allah. Hal ini terjadi karena  
Allah senantiasa memberikan tambahan energi kepada manusia. 
Al-Ghazali
  juga memberikan keterangan yang sama. Menurutnya, Allahlah yang  
menciptakan perbuatan manusia dan kudrat untuk berbuat dalam diri  
manusia. ([60])
  Perbuatan manusia terjadi dengan kudrat Allah dan bukan dengan kudrat 
 manusia, sungguhpun yang disebutkan terakhir ini erat hubungannya 
dengan  perbuatan itu. Oleh karena itu, tidak dapat dikatakan bahwa 
manusialah  yang menciptakan perbuatannya. Untuk itu, kata al-Ghazālī, 
sesuai dengan  apa yang disebutkan dalam al-Qur'an, perbuatan manusia 
itu disebut al-kasb.[61] 
Al-Ghazali memperjelas
  adanya kemungkinan dua kudrat dalam satu perbuatan, yaitu kudrat Allah
  dan kudrat manusia, karena keterkaitan antara kedua kudrat itu dengan 
 perbuatan manusia berbeda. Kudrat Allah berkaitan dengan al-khalq (penciptaan), sementara kudrat manusia berkaitan dengan al-kasb. AI-KhaIq berasal dari Allah sedangkan al-kasb berasal daripada manusia. Karena itu, perbuatan manusia disebut al-kasb. ([62]) 
Peningkatan Produktivitas Kerja
Dari
  pemaparan diatas jelaslah bahwa teologi al-Asy’ariyyah adalah teologi 
 yang yang mementingkan amalan (ikhtiar), sebagaimana yang diisyaratkan 
 dalam teori al-Kasb. Untuk itu, dalam konteks keimanan, bukan hanya  
mengetahui atau membenarkan bahwa Allah itu ada, tetapi juga meletakkan 
 posisi amal (ikhtiar) amat penting dalam kehidupan. Statement ini  
menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh al-Asy’ariyyah dengan teori al-kasb
  itu ialah “perolehan” seperangkat alat untuk infrastruktur  yang  
diberikan kepada manusia untuk diproyeksikan dalam berbagai aspek  
kehidupan di dunia. Seperangkat alat itu ialah “ikhtiar dan daya” dalam 
 perbuatan yang kemudian menimbulkan apa yang disebut  dengan ‘pahala’  
dan ‘dosa’.
            Dengan teori al-Kasb maka percaya kepada takdir sama sekali tidak mengandung kesan fatalisme, sebab fatalisme itu mengandung sikap Jabariyyah, menyerah kalah, kepada nasib atau fate yang mengandung tidak ada usaha (inactivity).
  Krena itu, percaya kepada takdir yang dikehendaki dalam aliran  
al-Ash’ariyyah adalah menyuruh manusia beramal dan berusaha, dan  
mustahil ‘takdir’ memiliki makna menentang aktivitas dan amal perbuatan.
  Dengan kata lain, adanya ikhtiar dalam perbuatan, di samping tidak  
menafikan adanya takdir,  ia juga  membuat manusia bergairah dan dinamis
  dalam melakukan aktivitas. 
Dengan demikian, al-kasb berarti manusia tetap memiliki peranan, yaitu berusaha melaksanakan pekerjaannya, walaupun usahanya itu berada dalam ‘batasan’ kekuasaan
  mutlak Allah. Dalam perkataan lain, manusia tidak dalam keadaan  
terpaksa, tetapi ia juga tidak bebas. Ringkasnya, manusia dalam  
perbuatannya tidak terpaksa secara mutlak, namun juga tidak bebas tanpa 
 batas. Jadi, secara teori al-kasb
  mengandung aspek dinamisme. Menilai faktor kedinamisan dan kestatisan,
  keaktifan dan kepasifan sesorang, standard yang lazim dipakai adalah  
sejauh mana akal mendapat peranan. Dalam konteks ini, teologi  
al-Asy’ariyyah, di samping menggunakan argument  tekstual, ia juga menggunakan argument  rasional. Di dalam Istihsan al-khawd fi  cilm al-kalam, al-Ashcari menjelaskan betapa pentingnya penggunaan logika dalam soal caqliyyah sebagaimana pentingnya menggunakan nas dalam masalah syari’at.
     
        Kenyataan diatas semakin memperkuat keyakinan kita bahwa di 
dalam  faham teologi al-Asy’ariyyah terdapat aspek dinamisme, suatu 
aspek yang  memotifasi pengikutnya untuk senantiasa berfikir dan 
berkarya serta  menciptakan penemuan-penemuan baru; mendorong atau 
setidak-tidaknya,  membiarkan umat untuk melakukan reinterpretasi dan 
reaktualisasi  terhadap berbagai   ajaran agama demi mengantisipasi 
perkembangan zaman  dan pola kehidupan sosial yang selalu dinamis.
           
  Dengan demikian, teori al-Kasb dalam system teologi al-Asy’ariyyah  
dapat merefleksikan suatu sikap dan kreatifitas diri dalam menghadapi  
hidup dan kehidupan sehari-sehari, bahkan yang lebih penting dari  itu  
adalah memberi spirit untuk berbuat dan melaksanakan fungsi kekhalifahan
  dalam merespons segala dampak kemajuan tamaddun (peradaban) 
dunia saat ini. Oleh itu, bekerja  adalah sebahagian daripada ibadah, 
dan itulah yang dimaksud sebagai  ‘produktivitas kerja’ yang mesti 
diperjuangkan  oleh umat Islam. 
            Sebagai inplementasi dari keyakinan diatas, maka menurut ajaran Islam, setiap kali seorang Muslim akan memulai segala aktivitas diperintahkan untuk  mengucapkan basmalah, yaitu Bismi Allah al-Rahman al-Rahim. Apapun yang dilakukan, maka mulailah dengan perkataan tersebut. Dengan mengucapkan basmalah,
  seseorang bukan hanya sekedar mengharapkan “berkah”, tetapi juga  
menghayati maknanya, sehingga dapat melahirkan sikap dan produktifitas  
yang positif.
            Kata bi yang terletak diawal kalimat basmalah, diterjemahkan ‘dengan’, yang oleh para ulama dikaitkan dengan kata ‘memulai’, sehingga pengucap basmalah
  pada hakikatnya berkata: “dengan atau demi Allah saya memulai 
pekerjaan  ini”. Apabila kita menjadikan pekerjaan kita ‘atas nama 
Allah’, maka  pekerjaan tersebut pasti tidak akan mengakibatkan kerugian
 pihak lain,  dan juga tidak akan menimbulkan kerusakan pada harta benda
 orang lain.  Karena ketika itu, kita telah membentengi diri dan 
pekerjaan kita dari  godaan nafsu serta ambisi peribadi. Kata bi juga dikaitkan dengan ‘kekuasaan dan pertolongan’, sehingga si pengucap basmalah
  menyadari bahwa pekerjaan yang dilakukannya terlaksana atas kekuasaan 
 (kudrat) Allah. Ia memohon bantuan Allah agar pekerjaannya dapat  
terselesaikan dengan baik dan sempurna. Dengan permohonan itu, maka di  
dalam jiwa si pengucap basmalah tertanam rasa kelemahan di  
hadapan Allah s.w.t. Namun, pada masa yang sama, tertanam pula kekuatan,
  rasa percaya diri, dan optimisme, karena ia merasa memperoleh bantuan 
 dan kekuatan dari Allah, yakni  sumber dari semua kekuatan. Apabila  
suatu pekerjaan dilakukan atas bantuan Allah, maka suda pasti ia  
sempurna, indah, baik dan benar karena sifat-sifat Allah “berbekas” pada
  pekerjaan tersebut. 
            Argumen diatas semakin mempertegas bahwa betapa pemahaman seseorang terhadap nilai-nilai yang tertanam dalam teori al-Kasb al-Asy’ariyyah akan memberi pengaruh  positif terhadap pengembangan dan peningkatan produktifitas
  kerja. Karena teori ini  selalu mengorientasikan penganutnya untuk  
senatiasa merasa dekat dengan Allah yang pada akhirnya melahirkan sebuah
  kesadaran sebagai manusia yang paling lemah dihadapan kekuasaan mutlak
  Allah, dan pada masa yang sama ia merasa paling kuat dan percaya diri,
  apabila berhadapan dengan makhluk ciptaan Allah, karena ia menyadari  
bahwa ia sedang bersama (معية الله) dengan zat Yang Maha Kuat dan Maha Berkuasa.
            Dalam
  teologi al-Asy’ariyyah, prinsip separti itu dikenal dengan istilah  
“aqidah atau tauhid”. Landasan inilah yang seharusnya mendasari sikap,  
gerak, dan pola pikir (ittijah) setiap Muslim. Komitmen seseorang terhadap aqidah atau tauhid ini terimplementasi dalam bentuk perilaku (suluk), moraliti (akhlaq), visi (wijhah al-Nazr), dalam meniti kehidupan nyata.                       Pemahaman yang kuat terhadap konsep seperti ini akan membentuk sebuah sikap dan jati diri yang kuat dalam memproyeksikan sebuah pranata kehidupan yang dinamis,  produktiv, dan cinta kemajuan.
            Sesungguhnya, bagian-bagian tertentu dari kerangka  konseptual teologis ‘tesis Max Weber’ telah banyak diapresiasi untuk mendorong
  umat supaya bekerja keras dalam mengatasi kemunduran mereka dalam  
bidang ekonomi. Sakralisasi kerja dengan formulasi “kerja adalah bagian 
 dari ibadah” dapat dibandingkan dengan “kerja keras adalah panggilan 
dan  harus terlaksana dalam kehidupan duniawi”. Kesuksesan hidup di 
dunia  ini sebagai konsekwensi logis daripada kerja keras, dan itu merupakan pertanda bahwa orang itu terpilih dan mendapat keselamatan.[63] 
            Keterangan
  di atas mengantar kita kepada sebuah keyakinan bahwa dalam menata  
kehidupan  yang cerah dan cemerlang di hari esok, maka yang paling  
produktif untuk kita lakukan adalah memperbaiki kualitas usaha ikhtiar  
kita (al-kasb) terhadap sesuatu yang lebih bermakna, produktif, dan  
prosfektif  dalam mengantisifasi kemajuan dan perkembangan ilmu  
pengetahuan dan teknologi. 
PENUTUP
 Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa konsep teologi al-Asy’ariyyah sama sekali tidak mengandung kesan fatalisme, sebab fatalisme itu mengandung sikap Jabariyyah, menyerah kalah, kepada nasib atau fate yang mengandung tidak ada usaha (inactivity). Karena itu, percaya kepada takdir yang dikehendaki dalam aliran al-Asy’ariyyah adalah menyuruh manusia beramal dan berusaha. Dengan demikian, konsep al-kasb bermakna manusia tetap memiliki peranan, berusaha melaksanakan pekerjaannya, walaupun usahanya itu berada dalam ‘batasan’ kekuasaan mutlak Allah. 
RUJUKAN
al-Ashcari, Abu al-Hasan cAli ibn Ismacil 1955. Kitab al-luma’ fi al-radd cala ahl al-ziyaqh wa al-bidac. Masr: Matbacat al-Munir.
al-Ashcari, Abu al-Hasan cAli ibn Ismacil. 1950. Maqalat al-Islamiyyin wa ikhtilaf al-musallin. al-Qahirah: Maktabat al-Nahdah al-Misriyyah.
al-Ashcari, Abu al-Hasan cAli ibn Ismacil. 1985. al-Ibanah can usul al-diyanah. Bayrut: Dar al-Kitab al-cArabi.
al-Baghdadi, 1928M/1346H, Kitab usul al-din, Bayrut: Dar al-Kutub al-cIlmiyyah.
al-Baghdadi, Abu Mansur cAbd al-Qadir ibn Tahir al-Tamimi. 1928. Kitab usul al-din. Constatinople: Madrasat al- Misriyyah.
al-Baqillani, al-Qadi Abu Bakr. 1957. Kitab al-tamhil al-awa’il wa talkhis al-dala’il. Bayrut: al-Maktabah al-Sharqiyyah.
al-Baqillani. 1963. al-Insaf fi ma yajib ictiqaduh wa la yajuz al-jahl bih. Tahqiq Muhammad Dhahib al-Kawthari, al-Qahirah: Mu’assasat al-Khanji.
al-Ghazali,  Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad.  1962. Al-iqtisad fi al-ictiqad. Masr: Maktabat Muhammad Subayh.
al-Ghazali,  Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad.  1966. Tahafut al-falasifah. al-Qahirah: Dar al-Ma’arif.
al-Ghazali,  Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad.  1970. “Iljam al-cawam can cilm al-kalam” Masr: Maktabat al-Jundi, Jil. 1.
al-Ghazali,  Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad. 1937. al-Mustasfa min  cilm al-usul. Masr: Maktabat Mustafa Muhammad.
al-Ghazali,  Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad. 1960. Maqasid al-falasifah. Masr: Dar al-Macarif, Cet. 2
al-Ghazali,  Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad. t.th. Ihya’ culum al-din. Bayrut: Dar al-Fikr, Jil. 2.
al-Ghazali,  Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad.. 1907. Kitab al-mawaqif. 8 Juz, al-Qahirah: Maktabat al-Sacadah,
al-Ghurabi., cAli Mustafa. 1958. Tarikh al-firaq al-Islamiyyah wa nash’at cilm al-kalam. al-Qahirah: Maktabat Muhammad cAli Sabih, Cet. 2.
al-Ghurabi., cAli Mustafa. 1958. Tarikh al-firaq al-Islamiyyah wa nash’at cilm al-kalam. al-Qahirah: Maktabat Muhammad cAli Sabih, Cet. 2.
al-Juwayni, Abu al-Macali Abd al-Malik ibn al-Shaykh Abi Muhammad. 1959. al-Irshad cala qawatic al-adillah fi usul al-ictiqad. Misr: Matbacat al-Sacadah.
al-Juwayni, Abu al-Macali Abd al-Malik ibn al-Shaykh Abi Muhammad. 1969. al-Shamil fi usul al-din. Tahqiq Faysal Badir cAwn dan Suhayr Muhammad Mukhtar. Iskandariyyah: Mansha’at al-Macarif.
al-Juwayni, Abu al-Macali cAbd al-Malik ibn al-Shaykh Abi Muhammad. 1979. al-cAqidah al-nizamiyyah. al-Qahirah: Maktabat al-Kulliyyah al-Azhariyyah.
al-Shahrastāni. t.th.al-Milal-wa al-nihal, Bayrut: Dār al-Fikr
Ahmad Amin. 1975. Zuhr al-Islam. Al-Qahirah: Maktabat al-Nahdah al-Misriyyah, Cet. 4.
Ahmad Amin, 1964, Duha al-Islam, al-Qahirah: al-Nahdah, Jil. 3
cAli Sami al-Nashar. t.th. Nash’ah al-fikr al-falsafi fi al-Islam, Masr: Dar al-Fikr al-cArabi.
 D.B. Macdonald, 1903,.Deplopment of Muslim Theologi, Jurisprudence and constitusional Theory, London: George Routledge & Sons Ltd
Fazlur Rahman. 1979. Islam, Chicago and London: University of Chicago Press, Second edition
Ibn cAsakir, Abu al-Qasim cAli ibn al-Hasan ibn Hibatullah al-Dimashqi. 1979. Tabyin kadhb al-muftari fi ma nusiba ila al-Imam Abi al-Hasan al-Ashcari. Bayrut: Dar al-Kitab al-cArabi.
Ibn Taymiyyah. 1980. Dar’ tacarud al-caql wa al-naql, Juz VI, Riyad: Jamicah al-Imam Muhammad bin Sacud al-Islamiyyah, 
Jalal Musa. 1975. Nash’at al-Asy’ariyyah wa al-tatawwuruha, Bayrut: Dar al-Kitab al-Lubnani.
Nurcholish Masid, 1984. Khasanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Subhi, Ahmad Mahmud. 1969. Fi cilm al-kalam. al-Qahirah: Dar al-Macarif.
[1]
  Disampaikan dalam Seminar Internasional kerja sama Fak. Ushuluddin UIN
  Aladdin dengan Jabatan Usuluddin dan Falsafah UKM Malaysia di Kampus 
II  UIN Aladdin Samata, tgl 11 Juni 2009.
[2] Alumni UKM Malaysia dan dosen Tetap Fak. Tarbiyah dan Keguruan UIN Aladdin Makassar
[3] Mengenai silsilah al-Asy’ary ini, rujuk Ibn ‘Asakir, Tabyin kadhb al-Muftari, hal. 34.
[4] Faham Sunni dalam Islam disebut juga: Ahli Sunah waljamaah, dengan watak utamanya: neutral dalam politik dan moderat dalam faham keagamaan. Lihat Fazlur Rahman, hal. 87.
[5] Istilah Qadariyyah mengandung dua arti. Pertama, qadariyyah yang berasal dari kata qadara yang berarti berkuasa. Qadariyyah
  dalam pengartian pertama ini adalah mereka yang memandang manusia  
berkuasa dan bebas dalam perbuatan-perbuatannya. Kedua, qadariyyah yang juga berasal dari kata qadara tetapi dengan arti menentukan. Qadariyyah dalam pengartian ini adalah orang-orang yang berpendapat bahwa nasib manusia telah ditentukan oleh Allah sejak zaman azali.
  Dalam pembahasan ini, Qadariyyah yang dimaksud adalah dalam pengartian
  pertama. Sedangkan Qadariyyah menurut pengartian kedua separti dikenal
  dalam sejarah teologi Islam, tidak lazim digunakan, tetapi biasa 
disebut  Jabariyyah. 
[6] Nama itu berasal dari kata jabara yang mengandung arti al-zamahu bificlihi, yakni berkewajiban atau terpaksa dalam pekerjaannya. Faham Jabariyyah, menurut cAbd al-Halim Mahmud, kelihatan pertama kali ditonjolkan dalam teologi Islam oleh al-Jacad ibn Dirham. Tetapiapi yang menyebarkannya adalah Jahm ibn Safwan. Faham ini berkembang pesat pada kekuasaan Daulah Umayyah (661-750 M).  
[7]  cAbd al-Jabbar, Sharh al-usul al-khamsah  hal. 132, 361, 362.
[8]  Ibid, hal. 564; al-Shahrastani, al-Milal wa al-nihal, Jil. 1, hal. 59, 63.
[9] Al-Khayyat, hal. 86-87. 198.
[10] Ahmad Amin, Duha al-Islam, hal. 53-54.
[11] Ibid; lihat juga, cAbd al-Jabbar, hal. 301.
[12] Al-Qur’an, al-Kahf (18):29.
[13] Al-Qur’an, al-Racd (13):11. juga Fussilat 41:41; al-Bara'ah 9:70, 111; dan Yunus 10:30.
[14] al-Ghurabi, Tarikh al-firaq al-Islamiyyah, hal. 2930.
[15] lbrahim Madkur, Fi  al-falsafah al-Islamiyyah, hal. 27. al-Shahrustani, al-Milal, hal. 86-88.
[16] Demikianlah
  pandangan dasar kaum Jabariyyah, yang dalam perkembangan seterusnya  
terpilah-pilah dalam beberapa hal kecil. Tetapi, perbedaan-perbedaan  
yang terjadi di kalangan Jabariyyah itu tidak mengubah konsepsi  
dasarnya. Sebab, pada prinsipnya, mereka tetap tidak menerima adanya  
kemauan dan perbutan bebas manusia.
[17] Al-Qur’an, Rum 30:54.
[18] Al-Qur’an, Fatir 35:8.
[19] Al-Qur’an, al-Hadid 57:22. al-Anbiya' 21:23; al-Anfal 8:17.
[20]  al-Ashcari, Maqalat al-Islamiyyin, Jil. 1, hal. 315. Al-Bazdawi, Usul al-din, hal. 100.
[21] al-Shahrastani, al-Milal wa al-nihal, hal. 97.
[22] al-Ashcari, Maqalat al-Islamiyyin, Jil. 2, hal. 221.
[23] al-Ashcari, al-Lumac, hal. 76.
[24] Maksud al-Qurān, al-Saffat 37: 96.
[25] al-Ashcari, al-Lumac, hal. 70.
[26] Ibid hal. 72.
[27] Abū Zahrah, Tarikh al-madhahib al-Islāmiyyah, Jil. 1, hal. 187.
[28] al-Ashcarī, al-Ibānah, hal. 243
[29]Al-Qur’an, al-Sāffāt 37:96.
[30] al-Ashcarī, al-Lumac, hal. 70, 72.
[31] Ibid, hal. 73-74.
[32]  Ibid.
[33]  Ibid., hal. 75-76.
[34]  Al-Qur’an, al-Insan 76:30
[35]  al-Ashcari, al-Lumac, hal. 93.
[36]  Ibid, hal. 93, 96
[37]  Ibid
[38] al-Ashcarī, al-Ibānah, hal. 54.
[39] Ahmad Amin, Zuhr al-IsIām, Jil. 4, hal. 83; JaIāl Musa, Nash'at al-Ashcariyyah, hal. 238.
[40] Ahmad Amin, hal. 83.
[41] al-Bāqillānī, al-Tamhid, hal. 346; al-Juwaynī, al-Aqīdah al-nizamiyyah, hal.
  34. Pada masa silam, keyakinan semacam itu memupuk keberanian dan  
kesabaran dalam jiwa umat Islam untuk menghadapi segala macam tantangan 
 dan kesukaran kerana inilah umat Islam di zaman silam bersifat dinamis 
 dan dapat mewujudkan peradaban yang tinggi. Lihat Harun Nasution,  hal. 155.
[42] al-Bāqillānī
  mengakui adanya andil manusia di dalam perbuatannya. Kerana itu,  
manusia memiliki kebebasan di dalam menentukan perbuatan yang  
diinginkannya. al-Bāqillānī, , hal. 323.
[43]  Ibid., hal. 324,
[44]  Ibid.
[45]  Ibid., hal. 324
[46]  Ibid.
[47]  lbid, hal. 326.
[48]  Ibid., hal. 331-332.
[49]  Ibid., hal. 328.
[50] Al-Qur’an, al-Baqarah (2):286.
[51] Al-Qur’an, al-Talāq (65):7.
[52]  Ibid., hal. 239,
[53]  Al-Qur’an, al-Baqarah 2:184
[54] Al-Bāqillānī,  hal. 239.
[55]  Ibid, hal. 347
[56] al-Shahrustani, hal. 97-98.
[57] al-Juwaynī, al-cAqīdah al-nizāmiyyah, hal. 34.
[58] al-Juwaynī, al-Irshād, hal. 217.
[59]Tuhan
  adalah pencipta perbuatan manusia. Ertinya Tuhan benar-benar 
mengetahui  perbuatan manusia secara terperinci. Manusia tidak dikatakan
 sebagai  pencipta perbuatannya, kerana, kadang-kadang, manusia tidak 
mengetahui  dan tidak menyedari adanya perbuatan yang sedang 
diperbuatnya. Misalnya,  ia makan dan minum sewaktu sedang mabuk atau ia
 membalikkan tubuhnya  ketika sedang tidur, ia berbicara semasa sedang 
'ngigau' sakit dan  sebagainya. Perbuatan-perbuatan seperti itu jelas 
bukan manusia sendiri  yang menciptakanrrya, tetapi Tuhanlah yang 
menciptakannya, sebab Ia  mengetahui segala perbuatan yang diperbuat 
oleh hamba-Nya. Lihat Ibid, hal 190. Idem, al-cAqīdah al-nizāmiyyah, hal. 33.
[60] al-Ghazālī, al-Iqtisād fī al-ictiqād, hal. 49.
[61] Ibid 314
[62] al-Ghazali, al-Iqtisad fi al-Ictiqad,  hal. 49.
[63]
  Dalam tesisnya, Max Weber menegaskan adanya hubungan antar Etika  
Protestan dengan semangat kapitalisme. Semangat Kapitalisme yang  
berdasarkan pada cinta ketekunan, berhemat cermat, punya perhitungan,  
rasional, dan sanggup menahan diri, menemukan pasangannya dengan  
kerangka pemikiran teologi Calvinisme, terutama Puritanisme, iaitu bahwa
  keselamatan diberikan Tuhan kepada orang terpilih sesuai dengan takdir
  yang telah ditentukan. Karenanya manusia selalu merasa dalam  
ketidakpastian, apakah terpilih sehingga memperoleh keselamatan atau  
tidak. Dan kewajibannya adalah menganggap dirinya terpilih dan memerangi
  keraguannya tentang anggapan tersebut, sebab keraguannya merupakan  
pertanda dia tidak terpilih dalam takdir. Untuk menghilangkan  
keraguannya itu dia harus bekerja keras, dan keberhasilan dari kerja  
keras ini dianggap sebagai pembenaran bahwa dia memang terpilih. Jadi  
kerja keras merupakan pangilan dan suatu tugas suci. Kerangka pemikiran 
 teologi ini melahirkan etos kerja para penganut Protestan yang berhasil
  mengembangkan kapitalisme dari dunia Barat. Lihat Taufik Abdullah, Ethos kerja dan perkembangan ekonomi, Jakarta, LP3ES, 1979, hal. 4-10.











 
 





















![[Most Recent Quotes from www.kitco.com]](http://www.kitconet.com/images/quotes_special.gif) 

 
 
 
 
