KONSEP Harga
diri
DALAM SASTRA
BATAK TOBA DAN SASTRA KEBIJAKSANAAN ISRAEL
Oleh: Febry Silaban, dkk.
"Na bisuk
nampuna hata, na oto tu panggadisan!"
(Orang bijak punya kuasa, orang bodoh dijual!) Inilah umpama
orang Batak Toba1
yang tetap aktual dalam dan bagi kehidupan masyarakat Toba hingga
pada masa sekarang. Ungkapan ini sering diumbar oleh orang-orang tua
dari zaman ke zaman. Ungkapan tersebut
sungguh mempengaruhi cara hidup, pola pikir, cara pandang
dan tingkah laku (praktik hidup) orang Batak Toba. Ungkapan sejajar
dapat ditemukan juga dalam Kitab
Suci yang termuat dalam nas yang berisi: "Hendaklah kamu
cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati!" (Mat 10:16).
Manusia pada dasarnya ingin bijaksana dan cerdik,
karena Allah memberikan dan menciptakan
potensi itu dalam diri manusia. Sebagai makhluk yang bernilai luhur,
manusia unik dari ciptaan lain karena ia
memiliki akal budi. Dengan akal budi manusia mampu
untuk berkembang menjadi sempurna dan bijaksana. Manusia yang
memiliki akal budi hidup dalam panggung dunia. Panggung dunia
diwarnai oleh pelbagai seni hidup. Dengan
suatu seni hidup para bijak mencoba membantu orang untuk dapat
mengambil sikap yang tepat dalam setiap
situasi hidup, dengan tujuan akhir ialah
kebahagiaan.
Cara-cara hidup tersebut terungkap dalam sastra
hidup manusia. Dalam sastra budaya setiap
suku yang diwariskan turun-temurun, baik secara lisan maupun tulisan.
Sastra itu tertuang dalam bentuk puisi,
pantun, sajak, pepatah, peribahasa, lagu, dan dalam
bentuk lain. Masyarakat Batak Toba dan bangsa
Israel memiliki sastra kebijaksanaan dalam bentuk
budayanya masing-masing seperti bangsa lain. Dalam tugas ini kami
hendak mendalami tema harga diri
dalam sastra kedua suku bangsa ini.
Seni Sastra Masyarakat Batak Toba
Orang Batak Toba suka berbicara.2
Suka berbicara, berkaitan erat dengan
banyak hal dalam hidup orang Batak Toba. Suku ini memiliki
banyak ungkapan-ungkapan berhikmat, pepatah, pantun, filosofi, syair
lagu, dan sebagainya. Ungkapan bijak itu
tidak kalah penting dan nilainya bagi
kehidupan manusia bila dibandingkan dengan ungkapan bijak
dari sastra suku bangsa lain. Ungkapan berhikmat itu sungguh lahir
dari pengalaman dan pergulatan hidup nenek
moyang dari dahulu hingga masa sekarang.3
Bila diteliti secara seksama,
sastra kebijaksanaan Batak Toba terdiri dari empat
bagian atau bentuk, antara lain:
- Pantun (umpasa): ungkapan yang berisi permintaan berkat, keturunan yang banyak, penyertaan, dan semua pemberian dari Allah.
- Kiasan/persamaan (tudosan): ungkapan yang berisi persamaan dengan ciptaan (alam) dan semua yang ada di sekitar kita.
- Nyanyian (endeende): ungkapan yang sering dinyanyikan, diungkapkan oleh orang yang sedang rindu, yang bergembira, dan yang sedang sedih.
- Pepatah (umpama): ungkapan yang mengandung: a) kebijaksanaan/filosofi (umpama na marisi habisuhon), b) pepatah etika kesopanan (umpama hapantunon), c) pepatah adat/peraturan (umpama na mardomu tu adat dohot uhum), d) pepatah kemasyarakatan (umpama na mardomu tu parsaoran si ganup ari, dipakai waktu pesta, pertemuan, dll.)
Masih ada bentuk sastra lain lagi, yakni
andung-andung,
tonggo-tonggo,
torsa-torsa
atau turi-turian,
dan torkan-torkan.
Sastra-sastra ini sudah sedang memudar. Andung-andung
adalah cerita yang dituturkan sembari meratap. Bahasa yang dipakai
dalam andung-andung
kerap mengundang air mata penutur dan pendengar cerita. Tonggo-tonggo
adalah doa berbentuk prosa liris yang ditujukan kepada roh tertentu
seraya memberi sajian. Torsa-torsa
atau turi-turian
adalah cerita berbentuk prosa, sedangkan torkan-torkan
adalah teka teki yang jawabannya terkadang berbentuk cerita.4
Harga Diri dalam Masyarakat
Batak Toba
Kalau kita pergi ke
daerah Balige, Porsea atau arah Laguboti, kita akan banyak menemukan
rumpun bambu yang mengelilingi beberapa rumah. Rumah-rumah yang
dikelilingi rumpun bambu inilah gambaran sekilas perkampungan orang
Batak Toba yang dapat disebut dengan huta.5
Di sekitar kampung yang dikelilingi oleh rumpun bambu ini
terhamparlah lahan pertanian (balian)
yang cukup luas sebagai sumber nafkah.
Sistem sosial dalam
huta ini
didasarkan pada prinsip Dalihan Na
Tolu.6
Dalihan Na Tolu
ini menjadi penyeimbang dalam relasi, menjadi inti struktur
kemasyarakatan. Seluruh kehidupan masyarakat Batak Toba diletakkan di
atas prinsip Dalihan Na Tolu
ini. Hal yang hendak dicapai dalam ber-
Dalihan Na Tolu ini adalah hasangapon,
hamoraon dan hagabeon.
Inilah yang menjadi tujuan hidup orang Batak Toba dan harga diri
orang Batak ada dan ditentukan oleh ketiga konsep ini.7
1. Hasangapon
Paet tabo dai ni Sabi
Pahit-pahit sedap rasa [sayur] Sabi,
Sabi ni Ranto ni Galagala
Sabi Ranto Galagala
Sai sude ma hami dohot pomparan nami Semoga
kami bersama keturunan kami
gabe
jolma na bisuk jala na marsahala
Menjadi orang yang bijak dan berwibawa.
Di dalam umpasa
ini terkandung harapan supaya menjadi orang yang berwibawa
(marsahala),
disegani dan diakui, serta dihormati (parhata
siat, parhata oloan). Inilah yang
dapat disebut dengan hasangapon.8
Di dalam Hasangapon
terkandung makna kemuliaan, kewibawaan, karisma, kehormatan, dan
semacam daya untuk meraih kejayaan. Orang yang sangap
itu terpuji, dapat menjadi teladan dan nyaris tanpa cela, sempurna,
tidak ada cemoohan dari orang lain. Dengan pendek kita dapat
mengartikan hasangapon sebagai
kehormatan.9
Pencapaian hasangapon
terkandung dalam ungkapan: Molo
naeng ho sangap, manat mardongan tubu. Artinya,
kalau engkau ingin terhormat, hati-hati atau bijaksanalah berhadapan
dengan dongan tubu. Dongan tubu secara
harfiah berarti teman lahir, atau sering juga disebut dongan
sabutuha yang artinya teman satu perut.
Dalam konteks zaman dahulu, satu perkampungan pada umumnya dihuni
oleh satu klan atau marga yang mar-dongan
sabutuha. Selebihnya adalah pihak boru
yang menumpang di tanah simatua-nya
(mertua).
Yang paling utama dibutuhkan di dalam huta
adalah kesatuan (hasadaon).
Kesatuan dan kekompakan menjadi penentu hasangapon.
Jika kesatuan kuat di antara orang-orang yang semarga dalam kampung
itu, mereka akan disegani oleh kelompok (marga) yang lain. Manat
mardongan tubu
adalah ungkapan yang hendak menekankan
betapa pentingnya kesatuan.
Penekanan ini juga menyiratkan betapa rentannya yang mardongan
tubu jatuh dalam konflik dan
perpecahan. Perpecahan ini pada umumnya disebabkan oleh harta
warisan.
Untuk menjaga hasadaon
ini, orang Batak Toba sering juga menyebutkan: Suhar
bulu itait dongan [tubu] laos suhar do i taiton.
Artinya, kalau sungsang bambu ditarik dongan
tubu, sungsang jugalah kita tarik.
Dongan tubu ima sisada somba, si sada
raga, si sara guguan, sisada jambar, lumobi maralohon marga na asing
(dongan
tubu itu satu bakti hormat/sembah, satu
pundi-pundi, satu sumbangan, satu jambar
terutama dalam menghadapi marga/bangsa yang lain).
Untuk mencapai hasangapon
ini, maka semua orang harus tahu posisinya di dalam marga. Adik harus
bertindak sebagai adik. Seseorang harus tahu memosisikan diri
terhadap saudara-saudara dari ayahnya. Sikap mantap dalam berhadapan
dengan dongan tubu sebagai
syarat mencapai hasangapon mengandaikan
hagabeon. Selain
itu, hasangapon juga
mengandaikan hamoraon, karena
panggalangan do mula ni harajaon
(menjamu adalah awal kerajaan).10
2. Hagabeon
Hagabeon
berarti memiliki banyak keturunan
sekaligus berumur panjang. Ini terungkap dalam umpasa:
Andor halumpang ma togutogu ni lombu
dohot horbo laho tu Lapogambiri
Sai saur ma hamu leleng mangolu paihutihut
pahompu sahat tu na marnono marnini.
(Artinya: sulur
halumpang [yang cukup rapuh] menjadi
tali pengikat/penuntun lembu dan kerbau [yang sudah sangat tua] yang
akan dibawa ke Lapogambiri. Semoga hidup panjang umur mengikuti para
cucu sampai cicit-cicit.)
Ukuran
umum hagabeon
dalam Batak Toba adalah bila mempunyai keturunan baoa
(laki) dan boru
(perempuan) yang juga kemudian mempunyai keturunan lagi. Jadi bila
seseorang dalam hidupnya sudah mempunyai cucu dari anak laki-laki,
cucu dari anak perempuan, serta semua anaknya baik laki-laki dan
perempuan sudah berumah tangga dan mempunyai keturunan, maka ia
disebut gabe.
Hagabeon-nya
menjadi sempurna ketika masih hidup ia masih bisa melihat cicit
(apalagi kalau dari cucu perempuan dan cucu laki-laki). Itulah puncak
sempurna hagabeon.
Ini biasanya diupacarakan lewat pesta sulangsulang
hariapan. Dalam sulangsulang
hariapan, semua keturunan datang ke
hadapan orang tuanya membawa makanan, dan dengan itu sang orangtua
dinobatkan berhenti dari segala peradatan, karena telah purna dalam
adat. Orang yang sudah mencapai tahap ini sering juga disebut saur
matua bulung lapus marsegesege abuan (karena
begitu lanjut usianya ia kembali seperti cicitnya yang bermain-main
dengan menampi-nampi tanah).
Hagabeon
dalam arti mempunyai keturunan yang banyak sangat penting dalam
meneruskan garis marga (Tarombo),
mengusahai lahan pertanian yang luas, saling membantu dalam
kesulitan, dan mempunyai personil yang banyak dalam menghadapi musuh.
Dengan inilah mereka pun kemudian menjadi disegani (sangap).
Hagabeon
adalah awal dari hasangapon.
Pada zaman dahulu, seorang raja huta
berasal dari yang paling banyak
keturunannya, terutama laki-laki.11
Kebalikan dari hagabeon
adalah tidak berketurunan. Keadaan tidak berketurunan adalah suatu
aib yang sangat besar. Dalam hal ini orang Batak mengatakan:
Hosuk-humosukhosuk, hosuk di tombak ni
Batangtoru; porsuk ni na porsuk, sai umporsuk dope na so maranak so
marboru. Artinya, Hosuksosuk
di hutan Batangtoru; yang paling
menderita adalah tidak memiliki putra dan juga putri. Yang tidak
berketurunan adalah orang yang tidak mempunyai (rasa) harga diri.12
Dalam pencapaian
hagabeon, orang
Batak Toba mengatakan: ”molo naeng ho
gabe, somba marhulahula”
(untuk menjadi gabe
maka harus hormat kepada hulahula).
Dalam pandangan orang Batak Toba, hula-hula
adalah perantara yang sangat berkuasa untuk mendoakan hagabeon
bagi boru-nya
kepada Debata Mulajadi.
Karena inilah, maka hulahula disebut
sebagai Debata Natarida (Dewata
yang Kelihatan). Hulahula
adalah pelimpah rahmat yang harus dihormati. Segala bentuk kehidupan
yang dialami oleh pihak boru
diyakini bersumber dari hulahula.13
Kepada hulahula,
setiap orang harus patuh, menaruh hormat, sopan, mempersembahkan
makanan, materi, dan sebagainya. Dengan cara inilah maka sahala
ni hulahula akan ditransfer kepada
boru-nya.
Dalam hal ini semua orang sebisanya
jangan melakukan kesalahan kepada hulahula-nya.
Tidak hormat kepada hulahula akan
mengakibatkan berkat
hagabeon
akan jauh bahkan pihak boru
bisa ditimpa malapetaka. Kalau belum mempunyai keturunan atau ditimpa
suatu penyakit, maka pihak boru
diduga telah melakukan kesalahan kepada hulahula-nya.
Na so somba marhulahula, siraraon gadongna
(yang tidak menaruh hormat kepada
hulahula,
ubinya akan terasa hambar). Litok
aek di toruan, tu dolok do dalanan
(kalau kotor air di hilir, maka
periksalah ke bagian hulu). Jika ada sesuatu yang tidak baik terjadi
pada kita, maka masalahnya ada menyangkut hulahula.
Kita harus meminta maaf kepada hulahula
atas segala kesalahan yang kita buat. Kepada hulahula
kita harus selalu mengalah, berkorban,
memberi. Songon na mandanggur hu dolok
do mangelehon tu hulahula. Memberikan
sesuatu kepada hulahula
bak melempar batu ke atas bukit. Batunya akan kembali kepada kita
dengan membawa batu-batu yang lain. Rugi secara moril dan materiil
kepada hulahula tidak
perlu diperhitungkan. Karena kita akan dilimpahi dengan pasu-pasu
yang berlipat-lipat.14
Gabe
pun akhirnya bisa dipahami dalam arti terberkati atau dilimpahi
berkat. Gabe na niula, sinur na pinahan.
Artinya, semoga mata pencaharian (pertanian) berhasil baik, serta
ternak berlipat ganda. Gabe mencakup
hamoraon.15
3. Hamoraon
Hamoraon
merupakan hal yang didamba
dan cukup menentukan martabat dan harga
diri dalam masyarakat Batak Toba. Hal ini terkandung dalam umpasa:
Asa tangkas ma uju Purba, tangkasan uju Angkola
Asa tangkas hita maduma, tangkasan hita mamora.
(Artinya: Tampak ke arah
Purba, tetapi lebih tampak lagi ke arah Angkola
Tampak kita kalau
makmur, tetapi lebih tampak lagi kita kalau kaya.)
Orang Batak Toba sangat mendamba kekayaan secara
materiil. Dalam paham orang Batak, cara untuk mendapat kekayaan
terutama berpangkal dari konsep elek
marboru. Molo naeng ho mamora, elek marboru (kalau
engkau ingin kaya, bujuklah [dengan bijaksana] pihak boru.
Boru
adalah (keluarga dari) pihak menantu, atau yang memperistrikan putri
kita. Dalam tataran Dalihan Natolu,
pihak boru
berada di bawah kita. Merekalah yang menjadi ”pelayan” kita.
Tidak dapat dibayangkan misalnya suatu pesta tanpa kehadiran pihak
boru.
Dalam konteks ini, karena boru
sepertinya berada di bawah kita, maka selalu diperingatkan supaya
kita tetap tidak semena-mena terhadap boru.
Mereka harus kita sayangi. Kalau memerintah tidak bisa langsung
dengan nada menyuruh, tetapi dengan mangelek,
yang artinya membujuk dengan penuh
pengertian.16
Lebih lanjut, pemberian
rahmat kepada boru
oleh hulahula
dilambangkan dengan pemberian ulos
yang akan dibalas oleh boru
dengan pemberian pisopiso.
Pisopiso
ini dapat berupa uang, ternak, beras/padi. Pemberian pisopiso
ini bertujuan untuk menjaga wibawa dan kedudukan hulahula
yang merupakan sumber berkat. Dengan pisopiso,
boru
menyatakan ketaatan dan rasa hormatnya kepada hulahula.
17
Tujuan Hidup Orang Batak: Hasangapon,
Hagabeon,
dan Hamoraon
Dari uraian di
atas dapat dikatakan bahwa ketiga hal di atas ada dalam satu kesatuan
dan serentak dalam pencapaiannya. Hal ini terungkap dalam umpasa:
Tinaba hau Sampinur
di tombak ni Simarhorahora
Sai lam matorop ma hamu, maribur lam marsangap
jala mamora.
(Artinya: Ditebang kayu
Sampinur di hutan Simarhorahora
Semoga kalian semakin banyak, ramai-meriah,
terhormat dan kaya.)
Hamoraon, hagabeon
dan
hasangapon pada akhirnya dapat
dikatakan prinsip atau tujuan hidup yang tak terpisahkan dalam diri
orang Batak Toba. Ketiganya adalah satu bagai sempurnanya Dalihan
Na Tolu. Hamoraon
mengandaikan hagabeon,
karena kekayaan akhirnya tidak sebatas harta. Untuk menjadi kaya,
maka harus banyak orang yang bekerja untuk mendapatkan kekayaan.
Semakin banyak anak semakin banyak rejeki, karena semakin banyak yang
bekerja. Anakhonhi do hamoraon di ahu
(anakkulah kekayaan bagiku). Hasangapon
mengandaikan hamoraon
dan hagabeon.
Tidak bisa dibayangkan orang yang sangap
tetapi tidak mempunyai harta dan tidak mempunyai anak. Orang yang
sangap
berarti mempunyai keturunan yang banyak (gabe)
dan juga harta (mora).
Ketiga konsep ini saling mensyaratkan.
Untuk mencapai ketiganya, maka hidup harus
didasarkan pada aturan adat Dalihan Na
Tolu. Ini terungkap dalam umpasa:
Habang Binsusur
martolutolu
Malo martutur
padengganhon ngolu
(Artinya: Terbang burung
Binsusur
bertiga-tiga
Kalau mantap dalam
hubungan kekerabatan [Dalihan Na Tolu],
akan membuat hidup mantap.)
Sempurna dalam
perwujudan hukum adat Dalihan Na Tolu,
berarti bisa dikatakan hampir pasti mendapat ketiga tujuan tersebut.
Hal ini bisa dipahami dalam konsep religius-magis Batak Toba. Karena
itulah orang Batak Toba sejak awal sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai adat. Adat ”dimanfaatkan” untuk mencapai hagabeon,
hamoraon, dan hasangapon.
Di dalam adat Dalihan
Na Tolu semua pihak (hulahula,
dongan tubu dan
boru) saling ”memanfaatkan” dan
saling mengharapkan balasan.18
Orang Toba pun mengatakan: Sinuan bulu
sibahen na las, sinuan partuturan sibahen na horas (ditanam
[rumpun bambu] untuk membuat hangat, ditanam partuturan
[adat] untuk membuat selamat sejahtera).19
Harga Diri dalam Sastra Kebijaksanaan Israel
Bangsa Israel memiliki sastra kebijaksanaan yang
hendak menunjukkan pencarian makna hidup dan
penguasaan hidup yang diketahui dari pengalaman dan tidak hanya dari
iman. Dalam kitab-kitab kebijaksanaan itu juga tampak suatu komitmen
untuk mencari sikap moral yang tepat, cara baik untuk hidup.
Perhatian terhadap hal-hal yang demikian mengundang orang bijak untuk
mempertanyakan hal-hal mengenai hidup, sementara pada waktu yang sama
menganalisis dan mengatur pengalaman yang bisa menjadi aturan-aturan
hidup. Hikmat mendorong disiplin berpikir yang secara hati-hati
dipertimbangkan (bdk. Sir 18:30-31). Selain dari pengalaman hidup
mereka sendiri, para bijak yang berwawasan luas juga meminjam dari
budaya-budaya sekitar. Dengan kata lain, bangsa Israel memiliki
kebijaksanaan hidup dalam segala aspeknya dari pandangan yang sangat
praktis.20
Kebijaksanaan hidup praktis tersebut kemudian berkembang dan mulai
mengandung prinsip-prinsip moral dan agama. Demikian kebijaksanaan
praktis-moral akhirnya langsung dikaitkan dengan relasi yang tepat
dengan Allah (kebijaksanaan religius/ilahi).21
Dari pembahasan di atas, pentinglah melihat
bagaimana sebenarnya konsep harga diri seorang Israel. Tentu saja
konsep ini didasari oleh hubungan atau relasi dengan YHWH.
Pendasarannya dapat dilihat dalam kisah Penciptaan Manusia (Kej
1:26-31).
Manusia diciptakan secara istimewa, karena
dia mendapat kualitas “menurut gambar
dan rupa” Allah (be¦salmēnû
kidmûtenû). Ternyata bila dipakai
kata ¦selem
(gambar) bukan secara rohaniah saja
yang dimaksudkan tetapi juga secara lahiriah (bdk. Yeh 28:12; Mzm
8:6). Dalam Mzm 8:6 manusia dikatakan sebagai “hampir
sama dengan Allah”. Sementara dalam
Keb 2:23 makna “gambar dan rupa”
berkaitan dengan “ketidakmatian”
(immortalitas).22
Diciptakan sebagai gambar Allah berarti menjadi representasi Allah di
bumi. Hal ini ditekankan kembali dalam Kej 1:26, di mana manusia
diberi kekuasaan atas bumi. Sebagaimana Allah memerintah alam
surgawi, begitu pula manusia memerintah alam duniawi sebagai
wakil/representasi Allah. Pandangan ini menunjukkan betapa luhurnya
martabat (harga diri) manusia.23
Bagaimana konsep harga
diri tersebut tampak dalam sastra kebijaksanaan Israel? Di sini kami
hanya akan memaparkan ayat-ayat yang cukup kuat menyampaikan sasaran
perihal harga diri.
Dalam Ams 3:35
dikatakan:
BHS : kābôd
¦hakamîm
yin¦hālû
ûkesîlîm
mērîm qālôn
LAI-TB : Orang
yang bijak akan mewarisi kehormatan,
tetapi orang yang
bebal akan menerima cemooh.
Klausa pertama sejajar dengan Ams 11:2; 12:8;
13:5; 14:19; 22:29; dst. Di sana hendak dikatakan bahwa manusia yang
memiliki pandangan (insight)
yang utuh akan menerima pengakuan dari sesamanya, yang menjadi motif
dan dorongan kuat untuk berbuat baik. Istilah “bijak” dan “bebal”
di sini sangat mengandung unsur moral, religius, dan intelektual.
“Kehormatan” merupakan penghargaan (respect)
atau pengakuan adiluhung (high
recognition) yang diberikan oleh Allah
kepada manusia, atau oleh manusia kepada sesamanya dan kepada Allah
(1Raj 3:13; Kej 45:13; 1 Sam 6:5).24
Makna klausa kedua adalah sifat tercela dan cemoohan merupakan bagian
dari orang-orang bebal. Karena itu diingatkan kepada kita bahwa:
“Jika engkau melihat orang yang
menganggap dirinya bijak, harapan bagi orang bebal lebih banyak
daripada bagi orang itu” (Ams 26:12).
Demikian orang yang bijak dalam hidup mendapat kehormatan dari Allah
dan sesama.
Kehormatan manusia itu ditandai
dengan memiliki nama atau reputasi yang baik. Nama baik ini bahkan
lebih berharga daripada kekayaan. Hal ini terungkap dalam Ams
22:1.
BHS : nib¦hār
šēm mē‘ōšer rāb
mikkēsef ûmizzāhāb
¦hēn
¦tôb
LAI-TB : Nama
baik lebih berharga daripada kekayaan besar,
dikasihi orang
lebih baik daripada perak dan emas.
Kata “nama” (M¤[)
dalam bahasa Ibrani berarti reputasi, yang di sini dilekatkan dengan
predikat “baik”. “Dikasihi orang” maksudnya memiliki
apresiasi yang menyenangkan, yaitu penerimaan yang baik dari orang
lain (persona grata).
In sensu stricto,
reputasi yang baik sebagaimana dikatakan Amsal, merupakan suatu nilai
berharga yang memberikan kehormatan, pengaruh, dan kemakmuran
material. In sensu lato,
nama baik, yang di dalamnya terkandung intelektual dan moral yang
tinggi, menjadi suatu milik yang lebih berharga dibandingkan dengan
kekayaan materi.25
Lalu, kualitas apakah yang menjamin reputasi yang
baik? Ams 22:4 mencatatnya,
yaitu:
BHS : ‘ēqeb
‘anāwāh
yhwh ‘ōšer wekāvôd
we¦hayyim
LAI-TB : Ganjaran
kerendahan hati (dan) takut akan Tuhan
adalah kekayaan,
kehormatan, dan kehidupan.
Kata “dan” dalam
klausa pertama tidak ada dalam TM, namun barangkali kata itu
disisipkan saja.26
Klausa itu sebenarnya diterjemahkan menjadi: Ganjaran
kerendahan hati adalah takut akan Tuhan.
Akan tetapi “kerendahan hati” di sini maksudnya identik dengan
“takut akan Allah”. Dalam hal ini kata “kerendahan hati”
memiliki makna religius atau bahkan sama dengan “kesalehan”.
Dalam beberapa tempat (Ams 15:33; 18:12) sebenarnya kehormatan
merupakan ganjaran kerendahan hati, yang bukan dalam arti religius.27
Jadi makna keseluruhan teks tersebut adalah bahwa ganjaran kerendahan
hati dan kesalehan adalah kekayaan, kehormatan, dan kehidupan.
Berikut Ams 17:6
mengatakan:
BHS : ‘ateret
zeqēnîm
benê
bānîm
wetif’eret
bānîm
’abôtām
LAI-TB : Mahkota
orang-orang tua adalah anak cucu
dan kehormatan
anak-anak ialah nenek moyang mereka.
Amsal ini hendak menunjukkan hubungan intim antara
orangtua dan anak, yang diungkapkan dengan pernyataan bahwa
masing-masing menjadi mahkota atau
kehormatan satu sama lain. Orangtua dan anak sebagai satu unit sosial
masing-masing memberikan dukungan, keluhuran (dignity),
dan kegembiraan.28
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa harga diri seseorang itu
terlihat jika memiliki keturunan (anak-cucu) dan sebaliknya keturunan
(anak-cucu) tersebut semakin terhormat bila menghormati nenek
moyangnya.
Dalam Kitab Sirakh juga ditemukan komentar menarik
tentang harga diri, yakni Sir 10:28-29.
Anakku, hendaklah engkau berbangga tapi dengan rendah hati,
Hargailah dirimu sesuai dengan nilaimu sendiri.
Siapa gerangan akan membenarkan orang yang berbuat dosa terhadap
dirinya sendiri,
Dan siapa yang menghormati orang yang menistakan dirinya?
Bagi beberapa orang, pernyataan ini menggemakan
kebijaksanaan praktis. Biasa orang telah menemukan bahwa jika mereka
tidak percaya pada diri mereka sendiri, orang lain pun juga tidak
akan percaya kepada mereka.29
Perbandingan
Konsep Harga Diri dalam Sastra Batak Toba dan Israel
Dari uraian yang telah dipaparkan
di atas, berikut ini kami mencoba memberikan sintesis atau
perbandingan antara kedua sastra di atas dalam pembahasannya mengenai
harga diri.
No.
|
Topik Bahasan
|
Sastra Toba
|
Sastra kebijaksanaan Israel
|
1
|
Asal-usul
|
|
|
2
|
Cara
Pencapaian
|
|
|
3
|
Tanda-tanda
|
|
|
Refleksi
Seorang sarjana psikologi berlatar belakang suku
Jawa, Dr. Irmawati, menuturkan pandangannya,
“Secara pribadi, saya kagum dengan suku Batak Toba ... Saya duga
keberhasilan dan kesuksesan ini dilandasi oleh prinsip hamoraon,
hagabeon, dan
hasangapon yang menjadi ukuran nilai
dalam suku Batak Toba.”30
Pendapat ini barangkali terlalu subjektif. Namun, bukan untuk
menyatakan suku lain inferior, suku Batak Toba memang terkenal gigih
dan bersemangat dalam mencapai cita-cita hidupnya. Ada ungkapan
mengatakan: values are principles that
guide our lives (nilai-nilai itu adalah
prinsipiil, yang menuntun hidup kita). Barangkali untuk suku-suku
lain di luar Toba ada penekanan pada nilai-nilai tertentu. Demikian
halnya dengan orang Batak Toba, nilai-nilai hamoraon,
hagabeon, dan
hasangapon mendasari pola hidup dan
perjuangannya.
Sebagaimana dalam pemaparan di atas, orang Batak
Toba sangat menjunjung tinggi paradaton.
Mereka sangat anti jika dikatakan
tidak maradat
(ndang maradat).
Di dalam acara adat, bagaimana posisi dan kedudukan kita harus jelas
dalam struktur Dalihan Na Tolu:
apakah sebagai boru,
dongan tubu,
atau hulahula.
Posisi itu menentukan peran dan tanggung jawab yang menjadi gambaran
harga diri itu sendiri. Adat Dalihan Na
Tolu dijunjung tinggi.
Namun, paham harga diri Batak Toba dalam tiga
prinsip hamoraon,
hagabeon,
dan hasangapon
itu, bukan tanpa kelemahan sama sekali, baik secara sosiologis maupun
bila dilihat dari moral kekristenan. Dalam lagu “Alusi
Ahu” (ciptaan Nahum Situmorang)
secara tersirat sebenarnya terkandung kritik orang Batak Toba sendiri
terhadap pemutlakan cita-cita hamoraon,
hagabeon,
dan hasangapon itu
sendiri. Memang, bila tidak dihidupi secara kritis, paham hamoraon,
hagabeon,
dan hasangapon cenderung
membuat orang Batak Toba menjadi sulit mengalah, kurang rendah hati,
dan mau menang sendiri. Padahal, Yesus sendiri sangat menekankan
perlunya sikap saling merendahkan diri di antara para pengikut-Nya.
”Barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini,
dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga” (Mat 18:4).
Dr. Soritua Albert Nababan (Dr. SAE Nababan,
mantan Ephorus HKBP) sendiri mengkritik paham harga diri orang Batak
Toba sendiri. Beliau menuturkan bahwa paham itu cenderung kurang
relevan bila ditinjau dari iman kekristenan.31
Prinsip hagabeon,
misalnya, bagi orang Batak Toba berarti memiliki banyak anak,
terutama anak laki-laki. Padahal, tujuan perkawinan sejatinya bukan
semata-mata prokreasi, melainkan juga kesejahteraan suami dan isteri.
Keturunan penting, tetapi jauh lebih perlu lagi kasih dan kesetiaan
kepada pasangan (bdk. Ef. 5:31-32). Oleh karena itu, tiadanya
keturunan bukan menjadi alasan untuk menceraikan istri dan menikah
dengan perempuan lain (bdk. Mrk 10:9). Dan, lagi, baik anak laki-laki
dan perempuan memiliki posisi yang sama dan setara dalam keluarga
kristen.32
Di samping itu, hidup selibat dalam Gereja Katolik (tidak menikah dan
mendapat keturunan yang banyak) dalam arti tertentu tetap dapat
dikategorikan masuk dalam ruang ’hagabeon’.
Yesus sendiri mengingatkan: ”Ada orang yang tidak dapat kawin
karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang
dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat
dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan
Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti” (Mat
19:12).
Terkait dengan paham hamoraon,
Dr. SAE Nababan mengatakan bahwa
kekayaan tidak otomatis membuat harga diri kita bertambah, karena
banyak orang menjadi kaya lewat jalan yang tidak halal. Kekayaan juga
tidak selalu harus dinilai dari hal-hal yang sifatnya material.
Sebaliknya, banyak orang yang hidupnya sederhana tetapi semangat
berbagi sangat tinggi dihayati. Sementara itu, prinsip hasangapon
sebagai prinsip yang membuat rasa
disegani dan diberi tempat istimewa dalam perkumpulan-perkumpulan
(misalnya: adat), tampaknya bisa diklarifikasi. Seharusnya, orang
Batak Toba yang menganut agama Kristen menyadari bahwa kehormatan
diperoleh jika mereka berada di jalan yang benar (jalan Tuhan).33
Akhirulkalam
Ada ungkapan para
tua-tua orang Batak Toba: “Hansit do
na haion (so dapotan) jambar juhut,
alai hansitan dope na so dapotan jambar hata”.
Artinya, sangat menyakitkan jika seseorang
tidak mendapat bagian dalam pembagian daging, tetapi lebih
sakit lagi jika seseorang tidak mendapat kesempatan untuk berbicara
dalam pesta adat. Ungkapan ini hendak
menunjukkan betapa penting dan tingginya harga diri seseorang dalam
berbicara dalam budaya Batak Toba.
Ungkapan-ungkapan orang bijak di kalangan Batak Toba memiliki
ciri tersendiri. Hal itu tercermin dalam semua tulisan dan sastra
yang dimiliki oleh suku ini. Sastra Israel
juga menunjukkan hal yang sama dan memiliki ciri yang khas dan
bernilai tinggi. Karena itu dalam membandingkan kedua sastra ini,
kami tidak dapat menemukan ungkapan atau
teks yang sungguh-sungguh sama. Makna, arti dan
tujuan dapat sama namun pengungkapannya berbeda-beda. Sastra
diungkapkan dengan kata dan gaya bahasa
yang berbeda. Hal itu dipengaruhi oleh cara pikir dan perkembangan
budaya dari kedua sastra ini.
Kami melihat poin lain, berkaitan dengan
perbandingan kedua sastra ini, yakni masing-masing
sastra kebijaksanaan dari kedua suku bangsa ini sungguh bertujuan
untuk membangun, mengembangkan dan mengatur
kehidupan manusia sehingga semakin berharga dan terhormat, dan
manusia dapat hidup sejahtera dan damai di
bumi ini. Orang yang bijak dan memiliki kehormatan akan tampak dalam
dan dari tingkah laku dan tutur kata serta
dari ungkapan-ungkapannya.
***
Sumber Bacaan:
Bergant, Dianne dan Robert J. Karris. Tafsir
Alkitab Perjanjian Lama (judul asli:
The Collegeville Bible Commentary).
Diterjemahkan oleh A.S. Hadiwiyata. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Hamidly, Basyral dan Hotman M. Siahaan. Orientasi
Nilai-Nilai Budaya Batak: Suatu Pendekatan terhadap Perilaku Batak
Toba di Angkola-Mandailing. Jakarta:
Sanggar Willem Iskandar, 1987.
Irmawati, Keberhasilan
Suku Batak Toba: Suatu Tinjauan Psikologi Ulayat.
[tanpa tempat]: [tanpa penerbit], 2007. (Stensilan)
Marpodang, D.J. Gultom. Dalihan
Na Tolu: Nilai Budaya Suku Batak. Medan:
Armada, 1992.
Marun, M.A., I.M.T. Hutapea. Kamus
Budaya Batak Toba. Jakarta: Balai
Pustaka:1987.
Sihombing, T.M. Filsafat
Batak: tentang Kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat
(Jakarta: Balai Pustaka, 2000.
-------------. Jambar
Hata: Dongan tu Ulaon Adat. [tanpa
kota]: Tulus Jaya, 1989.
Simamora, Serpulus.
DXEZ: Pengantar
ke dalam Pentateukh. Sinaksak: STFT St.
Yohanes, 2001. (Diktat)
Simanjuntak, Bungaran Antonius.
Struktur Sosial dan Sistem Politik
Batak Toba hingga 1945: Suatu Pendekatan Sejarah Antropologi Budaya
Politik. Jakarta: Obor, 2006.
Situmorang, Jaulahan.
Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon dohot
Mula ni Paradaton-Mula ni Marga-Mula ni Umpasa.
Pematangsiantar: [tanpa penerbit], 1965.
Sper, David (ed.). Self-Esteem:
What Does the Bible Say? Grand Rapids,
Michigan: RBC Ministries, 2001.
Tambunan, Anggur P. “Kajian Sastra Batak”.
Dalam B.A. Simanjuntak (ed.), Pemikiran
tentang Batak. Medan: Pusat Dokumentasi
dan Pengkajian Kebudayaan Batak, Universitas Nommensen, 1986.
Toy, Crawford H. Proverbs
(ICC). Edinburgh: T & T Clark,
1988.
van der Weiden, Wim. Seni
Hidup: Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama.
Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Vergouwen, J.C.
Masyarakat Hukum Adat Batak Toba.
Jakarta: Pustaka Azet, 1985.
http://bataknews.wordpress.com/2007/05/16/presiden-dewan-gereja-gereja-dunia-falsafah-orang-batak-tidak-sesuai-ajaran-agama/,
2 November 2011.
Nikolas Sinar Naibaho, Perbandingan
antara Sastra Kebijaksanaan Israel dan Sastra Budaya Batak Toba,
dalam
http://www.sirajabatak.com/perbandingan_antara_sastra_%20kebijaksanaan_israel.htm,
28 Oktober 2011.
1
Masyarakat Batak Toba pada umumnya hidup
tersebar atau tinggal di sekitar daerah
Sumatra Utara, khususnya di daerah pulau Samosir dan daerah
Tapanuli. Namun demikian orang Batak telah
tersebar ke berbagai penjuru dunia ini. Suku Batak Toba
menjadi suku bangsa yang besar. Nenek moyang suku bangsa Batak
diduga berasal dari Hindia Belakang, walau menurut mitos orang Batak
yang beredar di kalangan masyarakat ini,
nenek moyang orang Batak berasal dari titisan dewa Si Raja Deang
Parujar. Raja Batak sebagai manusia pertama dikirim oleh dewa ke
bumi ini di Gunung Pusuk Buhit, di pulau Samosir. Suku ini memiliki
beberapa persamaan dengan salah satu suku
di daerah Pilipina. Karena itu diperkirakan bahwa sebenarnya
keturunan Batak Toba berasal dari daerah
Asia bagian Hindia Belakang.
Banyak teori dan pendapat yang berbicara tentang
keberadaan suku Batak Toba. Sebagian berpendapat bahwa Suku Batak
mencakup lima suku: Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak
Mandailing, Batak Dairi-Pakpak. Tetapi pendapat ini sangatlah
lemah karena bukti untuk itu tidak kuat. Sebagian orang berpendapat
bahwa suku ini berdiri sendiri. Memang ada
kemiripan di antara kelima suku ini, misalnya memiliki
sedikit persamaan dalam bahasa, adat kebiasaan. Namun lebih banyak
perbedaan. Perbedaan ini menjadi dasar
penentu bahwa suku Batak Toba berbeda dari suku
yang lainnya itu. [Nikolas Sinar Naibaho, Perbandingan
antara Sastra Kebijaksanaan Israel dan Sastra Budaya Batak Toba,
dalam
http://www.sirajabatak.com/perbandingan_antara_sastra_%20kebijaksanaan_israel.htm,
28 Oktober 2011.]
2
Orang Batak Toba terkenal dengan
keberaniannya untuk berbicara di depan umum
dan keberanian dalam hal-hal lainnya. Sifat umum dan khas dari suku
bangsa ini ialah "Si
boru puas si boru bakkara, molo nunga puas ampema soada mara”
(seseorang harus mengungkapkan isi hati
dan perasaannya, dan jika hal itu telah terungkapkan
maka puaslah rasanya dan damai serta selesailah masalah, semua
masalah harus dituntaskan dengan pembicaraan). Ungkapan ini umumnya
mewarnai sifat orang Batak. [N.S.
Naibaho, Perbandingan ...
28 Oktober 2011.]
4
Anggur P. Tambunan, “Kajian Sastra Batak” dalam B.A. Simanjuntak
(ed.), Pemikiran tentang Batak
(Medan: Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak,
Universitas Nommensen, 1986), hlm. 251.
5
Huta merupakan
organisasi terkecil dalam struktur masyarakat Batak Toba. Sebuah
huta
mempunyai wilayah adat, masyarakat, penatua-penatua dan raja
huta. Huta
dihuni oleh enam sampai dua belas kepala keluarga yang biasanya
didominasi oleh satu kelompok marga
raja. [Lihat Bungaran Antonius
Simanjuntak, Struktur Sosial dan
Sistem Politik Batak Toba hingga 1945: Suatu Pendekatan Sejarah
Antropologi Budaya Politik (Jakarta:
Obor, 2006), hlm. 84-85.]
6
Secara harfiah, Dalihan Na Tolu
berarti tiga tiang (batu) tungku. Dalihan
Na Tolu ini adalah tempat untuk
meletakkan periuk ketika memasak. Dalihan
yang terdiri dari tiga batu ini
menjaga keseimbangan supaya periuk tidak jatuh. Simbolisasi ini
menunjuk pada tiga kelompok yang terdapat dalam masyarakat Batak
Toba, yaitu hulahula,
boru dan
dongan sabutuha.
Hulahula
merupakan kelompok pemberi istri atau keluarga dari mana istri
berasal. Kelompok dongan sabutuha
adalah merupakan kelompok yang semarga kita. Sementara boru
adalah kelompok marga
dari pihak menantu. Menurut keyakinan masyarakat Batak Toba,
hulahula
merupakan representasi Batara Guru
di dunia ini, sebagai penyalur berkat bagi pihak boru.
Boru
merupakan representasi Mangalabulan,
yang pancaran kekuatannya dilihat dalam aneka bentuk seperti
pemberian harta dan terutama kerja. Dongan
sabutuha adalah representasi Soripada.
Ia menjadi penyalur kesucian dan kebenaran bagi sesama dongan
sabutuha-nya. [Lihat B.A. Simanjuntak,
Struktur Sosial …,
hlm. 100; bdk. D.J. Gultom Marpodang, Dalihan
Na Tolu: Nilai Budaya Suku Batak (Medan:
Armada, 1992), hlm. 56-57.]
7
Jaulahan Situmorang, Hagabeon,
Hamoraon, Hasangapon dohot Mula ni Paradaton-Mula ni Marga-Mula ni
Umpasa (Pematangsiantar: [tanpa
penerbit], 1965), hlm. 30-33.
9
Basyral Hamidly, Hotman M. Siahaan, Orientasi
Nilai-Nilai Budaya Batak: Suatu Pendekatan terhadap Perilaku Batak
Toba di Angkola-Mandailing (Jakarta:
Sanggar Willem Iskandar, 1987), hlm. 133.
10
T.M. Sihombing, Filsafat Batak: tentang
Kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat
(Jakarta: Balai Pustaka, 2000), hlm. 104.
20
Lawrence E. Boadt, “Pengantar Sastra Kebijaksanaan”, dalam
Dianne Bergant dan Robert J. Karris, Tafsir
Alkitab Perjanjian Lama (judul asli:
The Collegeville Bible Commentary),
diterjemahkan oleh A.S. Hadiwiyata (Yogyakarta: Kanisius, 2002),
hlm. 393.
21
Wim van der Weiden, Seni Hidup: Sastra
Kebijaksanaan Perjanjian Lama
(Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 37-38.
22
Serpulus Simamora,
DXEZ: Pengantar
ke dalam Pentateukh (Sinaksak: STFT
St. Yohanes, 2001), hlm. 65. (Diktat)
29
David Sper (ed.), Self-Esteem: What
Does the Bible Say? (Grand Rapids,
Michigan: RBC Ministries, 2001), hlm. 6.
30
Irmawati, Keberhasilan Suku Batak Toba:
Suatu Tinjauan Psikologi Ulayat
([tanpa tempat]: [tanpa penerbit], 2007), hlm. 1. (Stensilan)
Konsep Harga Diri Dalam Sastra Batak Toba Dan Sastra Kebijaksanaan Israel Oleh: Febry Silaban, Dkk. ~ Badai Guruh >>>>> Download Now
BalasHapus>>>>> Download Full
Konsep Harga Diri Dalam Sastra Batak Toba Dan Sastra Kebijaksanaan Israel Oleh: Febry Silaban, Dkk. ~ Badai Guruh >>>>> Download LINK
>>>>> Download Now
Konsep Harga Diri Dalam Sastra Batak Toba Dan Sastra Kebijaksanaan Israel Oleh: Febry Silaban, Dkk. ~ Badai Guruh >>>>> Download Full
>>>>> Download LINK