Blogroll

Kamis, 24 Mei 2012

KONSEP Harga diri DALAM SASTRA BATAK TOBA DAN SASTRA KEBIJAKSANAAN ISRAEL Oleh: Febry Silaban, dkk.



KONSEP Harga diri
DALAM SASTRA BATAK TOBA DAN SASTRA KEBIJAKSANAAN ISRAEL
Oleh: Febry Silaban, dkk.

"Na bisuk nampuna hata, na oto tu panggadisan!" (Orang bijak punya kuasa, orang bodoh dijual!) Inilah umpama orang Batak Toba1 yang tetap aktual dalam dan bagi kehidupan masyarakat Toba hingga pada masa sekarang. Ungkapan ini sering diumbar oleh orang-orang tua dari zaman ke zaman. Ungkapan tersebut sungguh mempengaruhi cara hidup, pola pikir, cara pandang dan tingkah laku (praktik hidup) orang Batak Toba. Ungkapan sejajar dapat ditemukan juga dalam  Kitab Suci  yang termuat dalam nas yang berisi: "Hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati!" (Mat 10:16).
Manusia pada dasarnya ingin bijaksana dan cerdik, karena Allah memberikan dan menciptakan potensi itu dalam diri manusia. Sebagai makhluk yang bernilai luhur, manusia unik dari ciptaan lain karena ia memiliki akal budi. Dengan akal budi manusia mampu untuk berkembang menjadi sempurna dan bijaksana. Manusia yang memiliki akal budi hidup dalam panggung dunia. Panggung dunia diwarnai oleh pelbagai seni hidup. Dengan suatu seni hidup para bijak mencoba membantu orang untuk dapat mengambil sikap yang tepat dalam setiap situasi hidup, dengan tujuan akhir ialah kebahagiaan.
Cara-cara hidup tersebut terungkap dalam sastra hidup manusia. Dalam sastra budaya setiap suku yang diwariskan turun-temurun, baik secara lisan maupun tulisan. Sastra itu tertuang dalam bentuk puisi, pantun, sajak, pepatah, peribahasa, lagu, dan dalam bentuk lain. Masyarakat  Batak  Toba dan  bangsa  Israel memiliki  sastra kebijaksanaan dalam bentuk budayanya masing-masing seperti bangsa lain. Dalam tugas ini kami hendak mendalami tema harga diri dalam sastra kedua suku bangsa ini.

Seni Sastra Masyarakat Batak Toba
Orang Batak Toba suka berbicara.2 Suka berbicara, berkaitan erat dengan banyak hal dalam hidup orang Batak Toba. Suku ini memiliki banyak ungkapan-ungkapan berhikmat, pepatah, pantun, filosofi, syair lagu, dan sebagainya. Ungkapan bijak itu tidak kalah penting dan nilainya bagi kehidupan manusia bila dibandingkan dengan ungkapan bijak dari sastra suku bangsa lain. Ungkapan berhikmat itu sungguh lahir dari pengalaman dan pergulatan hidup nenek moyang dari dahulu hingga masa sekarang.3
Bila diteliti secara seksama, sastra kebijaksanaan Batak Toba terdiri dari empat bagian atau bentuk, antara lain:
  1. Pantun (umpasa): ungkapan yang berisi permintaan berkat, keturunan yang banyak, penyertaan, dan semua pemberian dari Allah.
  2. Kiasan/persamaan (tudosan): ungkapan yang berisi persamaan dengan ciptaan (alam) dan semua yang ada di sekitar kita.
  3. Nyanyian (endeende): ungkapan yang sering dinyanyikan, diungkapkan oleh orang yang sedang rindu, yang bergembira, dan yang sedang sedih.
  4. Pepatah (umpama): ungkapan yang mengandung: a) kebijaksanaan/filosofi (umpama na marisi habisuhon), b) pepatah etika kesopanan (umpama hapantunon), c) pepatah adat/peraturan (umpama na mardomu tu adat dohot uhum), d) pepatah kemasyarakatan (umpama na mardomu tu parsaoran si ganup ari, dipakai waktu pesta, pertemuan, dll.)
Masih ada bentuk sastra lain lagi, yakni andung-andung, tonggo-tonggo, torsa-torsa atau turi-turian, dan torkan-torkan. Sastra-sastra ini sudah sedang memudar. Andung-andung adalah cerita yang dituturkan sembari meratap. Bahasa yang dipakai dalam andung-andung kerap mengundang air mata penutur dan pendengar cerita. Tonggo-tonggo adalah doa berbentuk prosa liris yang ditujukan kepada roh tertentu seraya memberi sajian. Torsa-torsa atau turi-turian adalah cerita berbentuk prosa, sedangkan torkan-torkan adalah teka teki yang jawabannya terkadang berbentuk cerita.4

Harga Diri dalam Masyarakat Batak Toba
Kalau kita pergi ke daerah Balige, Porsea atau arah Laguboti, kita akan banyak menemukan rumpun bambu yang mengelilingi beberapa rumah. Rumah-rumah yang dikelilingi rumpun bambu inilah gambaran sekilas perkampungan orang Batak Toba yang dapat disebut dengan huta.5 Di sekitar kampung yang dikelilingi oleh rumpun bambu ini terhamparlah lahan pertanian (balian) yang cukup luas sebagai sumber nafkah.
Sistem sosial dalam huta ini didasarkan pada prinsip Dalihan Na Tolu.6 Dalihan Na Tolu ini menjadi penyeimbang dalam relasi, menjadi inti struktur kemasyarakatan. Seluruh kehidupan masyarakat Batak Toba diletakkan di atas prinsip Dalihan Na Tolu ini. Hal yang hendak dicapai dalam ber- Dalihan Na Tolu ini adalah hasangapon, hamoraon dan hagabeon. Inilah yang menjadi tujuan hidup orang Batak Toba dan harga diri orang Batak ada dan ditentukan oleh ketiga konsep ini.7

1. Hasangapon
Paet tabo dai ni Sabi Pahit-pahit sedap rasa [sayur] Sabi,
Sabi ni Ranto ni Galagala Sabi Ranto Galagala
Sai sude ma hami dohot pomparan nami Semoga kami bersama keturunan kami
gabe jolma na bisuk jala na marsahala Menjadi orang yang bijak dan berwibawa.
Di dalam umpasa ini terkandung harapan supaya menjadi orang yang berwibawa (marsahala), disegani dan diakui, serta dihormati (parhata siat, parhata oloan). Inilah yang dapat disebut dengan hasangapon.8 Di dalam Hasangapon terkandung makna kemuliaan, kewibawaan, karisma, kehormatan, dan semacam daya untuk meraih kejayaan. Orang yang sangap itu terpuji, dapat menjadi teladan dan nyaris tanpa cela, sempurna, tidak ada cemoohan dari orang lain. Dengan pendek kita dapat mengartikan hasangapon sebagai kehormatan.9
Pencapaian hasangapon terkandung dalam ungkapan: Molo naeng ho sangap, manat mardongan tubu. Artinya, kalau engkau ingin terhormat, hati-hati atau bijaksanalah berhadapan dengan dongan tubu. Dongan tubu secara harfiah berarti teman lahir, atau sering juga disebut dongan sabutuha yang artinya teman satu perut. Dalam konteks zaman dahulu, satu perkampungan pada umumnya dihuni oleh satu klan atau marga yang mar-dongan sabutuha. Selebihnya adalah pihak boru yang menumpang di tanah simatua-nya (mertua).
Yang paling utama dibutuhkan di dalam huta adalah kesatuan (hasadaon). Kesatuan dan kekompakan menjadi penentu hasangapon. Jika kesatuan kuat di antara orang-orang yang semarga dalam kampung itu, mereka akan disegani oleh kelompok (marga) yang lain. Manat mardongan tubu adalah ungkapan yang hendak menekankan betapa pentingnya kesatuan. Penekanan ini juga menyiratkan betapa rentannya yang mardongan tubu jatuh dalam konflik dan perpecahan. Perpecahan ini pada umumnya disebabkan oleh harta warisan.
Untuk menjaga hasadaon ini, orang Batak Toba sering juga menyebutkan: Suhar bulu itait dongan [tubu] laos suhar do i taiton. Artinya, kalau sungsang bambu ditarik dongan tubu, sungsang jugalah kita tarik. Dongan tubu ima sisada somba, si sada raga, si sara guguan, sisada jambar, lumobi maralohon marga na asing (dongan tubu itu satu bakti hormat/sembah, satu pundi-pundi, satu sumbangan, satu jambar terutama dalam menghadapi marga/bangsa yang lain).
Untuk mencapai hasangapon ini, maka semua orang harus tahu posisinya di dalam marga. Adik harus bertindak sebagai adik. Seseorang harus tahu memosisikan diri terhadap saudara-saudara dari ayahnya. Sikap mantap dalam berhadapan dengan dongan tubu sebagai syarat mencapai hasangapon mengandaikan hagabeon. Selain itu, hasangapon juga mengandaikan hamoraon, karena panggalangan do mula ni harajaon (menjamu adalah awal kerajaan).10
2. Hagabeon
Hagabeon berarti memiliki banyak keturunan sekaligus berumur panjang. Ini terungkap dalam umpasa:
Andor halumpang ma togutogu ni lombu dohot horbo laho tu Lapogambiri
Sai saur ma hamu leleng mangolu paihutihut pahompu sahat tu na marnono marnini.
(Artinya: sulur halumpang [yang cukup rapuh] menjadi tali pengikat/penuntun lembu dan kerbau [yang sudah sangat tua] yang akan dibawa ke Lapogambiri. Semoga hidup panjang umur mengikuti para cucu sampai cicit-cicit.)
Ukuran umum hagabeon dalam Batak Toba adalah bila mempunyai keturunan baoa (laki) dan boru (perempuan) yang juga kemudian mempunyai keturunan lagi. Jadi bila seseorang dalam hidupnya sudah mempunyai cucu dari anak laki-laki, cucu dari anak perempuan, serta semua anaknya baik laki-laki dan perempuan sudah berumah tangga dan mempunyai keturunan, maka ia disebut gabe.
Hagabeon-nya menjadi sempurna ketika masih hidup ia masih bisa melihat cicit (apalagi kalau dari cucu perempuan dan cucu laki-laki). Itulah puncak sempurna hagabeon. Ini biasanya diupacarakan lewat pesta sulangsulang hariapan. Dalam sulangsulang hariapan, semua keturunan datang ke hadapan orang tuanya membawa makanan, dan dengan itu sang orangtua dinobatkan berhenti dari segala peradatan, karena telah purna dalam adat. Orang yang sudah mencapai tahap ini sering juga disebut saur matua bulung lapus marsegesege abuan (karena begitu lanjut usianya ia kembali seperti cicitnya yang bermain-main dengan menampi-nampi tanah).
Hagabeon dalam arti mempunyai keturunan yang banyak sangat penting dalam meneruskan garis marga (Tarombo), mengusahai lahan pertanian yang luas, saling membantu dalam kesulitan, dan mempunyai personil yang banyak dalam menghadapi musuh. Dengan inilah mereka pun kemudian menjadi disegani (sangap). Hagabeon adalah awal dari hasangapon. Pada zaman dahulu, seorang raja huta berasal dari yang paling banyak keturunannya, terutama laki-laki.11 Kebalikan dari hagabeon adalah tidak berketurunan. Keadaan tidak berketurunan adalah suatu aib yang sangat besar. Dalam hal ini orang Batak mengatakan: Hosuk-humosukhosuk, hosuk di tombak ni Batangtoru; porsuk ni na porsuk, sai umporsuk dope na so maranak so marboru. Artinya, Hosuksosuk di hutan Batangtoru; yang paling menderita adalah tidak memiliki putra dan juga putri. Yang tidak berketurunan adalah orang yang tidak mempunyai (rasa) harga diri.12
Dalam pencapaian hagabeon, orang Batak Toba mengatakan: ”molo naeng ho gabe, somba marhulahula (untuk menjadi gabe maka harus hormat kepada hulahula). Dalam pandangan orang Batak Toba, hula-hula adalah perantara yang sangat berkuasa untuk mendoakan hagabeon bagi boru-nya kepada Debata Mulajadi. Karena inilah, maka hulahula disebut sebagai Debata Natarida (Dewata yang Kelihatan). Hulahula adalah pelimpah rahmat yang harus dihormati. Segala bentuk kehidupan yang dialami oleh pihak boru diyakini bersumber dari hulahula.13 Kepada hulahula, setiap orang harus patuh, menaruh hormat, sopan, mempersembahkan makanan, materi, dan sebagainya. Dengan cara inilah maka sahala ni hulahula akan ditransfer kepada boru­-nya.
Dalam hal ini semua orang sebisanya jangan melakukan kesalahan kepada hulahula-nya. Tidak hormat kepada hulahula akan mengakibatkan berkat hagabeon akan jauh bahkan pihak boru bisa ditimpa malapetaka. Kalau belum mempunyai keturunan atau ditimpa suatu penyakit, maka pihak boru diduga telah melakukan kesalahan kepada hulahula-nya.
Na so somba marhulahula, siraraon gadongna (yang tidak menaruh hormat kepada hulahula, ubinya akan terasa hambar). Litok aek di toruan, tu dolok do dalanan (kalau kotor air di hilir, maka periksalah ke bagian hulu). Jika ada sesuatu yang tidak baik terjadi pada kita, maka masalahnya ada menyangkut hulahula. Kita harus meminta maaf kepada hulahula atas segala kesalahan yang kita buat. Kepada hulahula kita harus selalu mengalah, berkorban, memberi. Songon na mandanggur hu dolok do mangelehon tu hulahula. Memberikan sesuatu kepada hulahula bak melempar batu ke atas bukit. Batunya akan kembali kepada kita dengan membawa batu-batu yang lain. Rugi secara moril dan materiil kepada hulahula tidak perlu diperhitungkan. Karena kita akan dilimpahi dengan pasu-pasu yang berlipat-lipat.14
Gabe pun akhirnya bisa dipahami dalam arti terberkati atau dilimpahi berkat. Gabe na niula, sinur na pinahan. Artinya, semoga mata pencaharian (pertanian) berhasil baik, serta ternak berlipat ganda. Gabe mencakup hamoraon.15

3. Hamoraon
Hamoraon merupakan hal yang didamba dan cukup menentukan martabat dan harga diri dalam masyarakat Batak Toba. Hal ini terkandung dalam umpasa:
Asa tangkas ma uju Purba, tangkasan uju Angkola
Asa tangkas hita maduma, tangkasan hita mamora.
(Artinya: Tampak ke arah Purba, tetapi lebih tampak lagi ke arah Angkola
Tampak kita kalau makmur, tetapi lebih tampak lagi kita kalau kaya.)
Orang Batak Toba sangat mendamba kekayaan secara materiil. Dalam paham orang Batak, cara untuk mendapat kekayaan terutama berpangkal dari konsep elek marboru. Molo naeng ho mamora, elek marboru (kalau engkau ingin kaya, bujuklah [dengan bijaksana] pihak boru. Boru adalah (keluarga dari) pihak menantu, atau yang memperistrikan putri kita. Dalam tataran Dalihan Natolu, pihak boru berada di bawah kita. Merekalah yang menjadi ”pelayan” kita. Tidak dapat dibayangkan misalnya suatu pesta tanpa kehadiran pihak boru. Dalam konteks ini, karena boru sepertinya berada di bawah kita, maka selalu diperingatkan supaya kita tetap tidak semena-mena terhadap boru. Mereka harus kita sayangi. Kalau memerintah tidak bisa langsung dengan nada menyuruh, tetapi dengan mangelek, yang artinya membujuk dengan penuh pengertian.16
Lebih lanjut, pemberian rahmat kepada boru oleh hulahula dilambangkan dengan pemberian ulos yang akan dibalas oleh boru dengan pemberian pisopiso. Pisopiso ini dapat berupa uang, ternak, beras/padi. Pemberian pisopiso ini bertujuan untuk menjaga wibawa dan kedudukan hulahula yang merupakan sumber berkat. Dengan pisopiso, boru menyatakan ketaatan dan rasa hormatnya kepada hulahula. 17
Tujuan Hidup Orang Batak: Hasangapon, Hagabeon, dan Hamoraon
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa ketiga hal di atas ada dalam satu kesatuan dan serentak dalam pencapaiannya. Hal ini terungkap dalam umpasa:
Tinaba hau Sampinur di tombak ni Simarhorahora
Sai lam matorop ma hamu, maribur lam marsangap jala mamora.
(Artinya: Ditebang kayu Sampinur di hutan Simarhorahora
Semoga kalian semakin banyak, ramai-meriah, terhormat dan kaya.)
Hamoraon, hagabeon dan hasangapon pada akhirnya dapat dikatakan prinsip atau tujuan hidup yang tak terpisahkan dalam diri orang Batak Toba. Ketiganya adalah satu bagai sempurnanya Dalihan Na Tolu. Hamoraon mengandaikan hagabeon, karena kekayaan akhirnya tidak sebatas harta. Untuk menjadi kaya, maka harus banyak orang yang bekerja untuk mendapatkan kekayaan. Semakin banyak anak semakin banyak rejeki, karena semakin banyak yang bekerja. Anakhonhi do hamoraon di ahu (anakkulah kekayaan bagiku). Hasangapon mengandaikan hamoraon dan hagabeon. Tidak bisa dibayangkan orang yang sangap tetapi tidak mempunyai harta dan tidak mempunyai anak. Orang yang sangap berarti mempunyai keturunan yang banyak (gabe) dan juga harta (mora). Ketiga konsep ini saling mensyaratkan.
Untuk mencapai ketiganya, maka hidup harus didasarkan pada aturan adat Dalihan Na Tolu. Ini terungkap dalam umpasa:
Habang Binsusur martolutolu
Malo martutur padengganhon ngolu
(Artinya: Terbang burung Binsusur bertiga-tiga
Kalau mantap dalam hubungan kekerabatan [Dalihan Na Tolu], akan membuat hidup mantap.)
Sempurna dalam perwujudan hukum adat Dalihan Na Tolu, berarti bisa dikatakan hampir pasti mendapat ketiga tujuan tersebut. Hal ini bisa dipahami dalam konsep religius-magis Batak Toba. Karena itulah orang Batak Toba sejak awal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat. Adat ”dimanfaatkan” untuk mencapai hagabeon, hamoraon, dan hasangapon. Di dalam adat Dalihan Na Tolu semua pihak (hulahula, dongan tubu dan boru) saling ”memanfaatkan” dan saling mengharapkan balasan.18 Orang Toba pun mengatakan: Sinuan bulu sibahen na las, sinuan partuturan sibahen na horas (ditanam [rumpun bambu] untuk membuat hangat, ditanam partuturan [adat] untuk membuat selamat sejahtera).19
Harga Diri dalam Sastra Kebijaksanaan Israel
Bangsa Israel memiliki sastra kebijaksanaan yang hendak menunjukkan pencarian makna hidup dan penguasaan hidup yang diketahui dari pengalaman dan tidak hanya dari iman. Dalam kitab-kitab kebijaksanaan itu juga tampak suatu komitmen untuk mencari sikap moral yang tepat, cara baik untuk hidup. Perhatian terhadap hal-hal yang demikian mengundang orang bijak untuk mempertanyakan hal-hal mengenai hidup, sementara pada waktu yang sama menganalisis dan mengatur pengalaman yang bisa menjadi aturan-aturan hidup. Hikmat mendorong disiplin berpikir yang secara hati-hati dipertimbangkan (bdk. Sir 18:30-31). Selain dari pengalaman hidup mereka sendiri, para bijak yang berwawasan luas juga meminjam dari budaya-budaya sekitar. Dengan kata lain, bangsa Israel memiliki kebijaksanaan hidup dalam segala aspeknya dari pandangan yang sangat praktis.20 Kebijaksanaan hidup praktis tersebut kemudian berkembang dan mulai mengandung prinsip-prinsip moral dan agama. Demikian kebijaksanaan praktis-moral akhirnya langsung dikaitkan dengan relasi yang tepat dengan Allah (kebijaksanaan religius/ilahi).21
Dari pembahasan di atas, pentinglah melihat bagaimana sebenarnya konsep harga diri seorang Israel. Tentu saja konsep ini didasari oleh hubungan atau relasi dengan YHWH. Pendasarannya dapat dilihat dalam kisah Penciptaan Manusia (Kej 1:26-31).
Manusia diciptakan secara istimewa, karena dia mendapat kualitas “menurut gambar dan rupa” Allah (be¦salmēnû kidmûtenû). Ternyata bila dipakai kata ¦selem (gambar) bukan secara rohaniah saja yang dimaksudkan tetapi juga secara lahiriah (bdk. Yeh 28:12; Mzm 8:6). Dalam Mzm 8:6 manusia dikatakan sebagai “hampir sama dengan Allah”. Sementara dalam Keb 2:23 makna “gambar dan rupa” berkaitan dengan “ketidakmatian” (immortalitas).22 Diciptakan sebagai gambar Allah berarti menjadi representasi Allah di bumi. Hal ini ditekankan kembali dalam Kej 1:26, di mana manusia diberi kekuasaan atas bumi. Sebagaimana Allah memerintah alam surgawi, begitu pula manusia memerintah alam duniawi sebagai wakil/representasi Allah. Pandangan ini menunjukkan betapa luhurnya martabat (harga diri) manusia.23
Bagaimana konsep harga diri tersebut tampak dalam sastra kebijaksanaan Israel? Di sini kami hanya akan memaparkan ayat-ayat yang cukup kuat menyampaikan sasaran perihal harga diri.
Dalam Ams 3:35 dikatakan:
BHS : bôd ¦hakamîm yin¦hālû ûkesîlîm mērîm qālôn
LAI-TB : Orang yang bijak akan mewarisi kehormatan,
tetapi orang yang bebal akan menerima cemooh.
Klausa pertama sejajar dengan Ams 11:2; 12:8; 13:5; 14:19; 22:29; dst. Di sana hendak dikatakan bahwa manusia yang memiliki pandangan (insight) yang utuh akan menerima pengakuan dari sesamanya, yang menjadi motif dan dorongan kuat untuk berbuat baik. Istilah “bijak” dan “bebal” di sini sangat mengandung unsur moral, religius, dan intelektual. “Kehormatan” merupakan penghargaan (respect) atau pengakuan adiluhung (high recognition) yang diberikan oleh Allah kepada manusia, atau oleh manusia kepada sesamanya dan kepada Allah (1Raj 3:13; Kej 45:13; 1 Sam 6:5).24 Makna klausa kedua adalah sifat tercela dan cemoohan merupakan bagian dari orang-orang bebal. Karena itu diingatkan kepada kita bahwa: “Jika engkau melihat orang yang menganggap dirinya bijak, harapan bagi orang bebal lebih banyak daripada bagi orang itu” (Ams 26:12). Demikian orang yang bijak dalam hidup mendapat kehormatan dari Allah dan sesama.
Kehormatan manusia itu ditandai dengan memiliki nama atau reputasi yang baik. Nama baik ini bahkan lebih berharga daripada kekayaan. Hal ini terungkap dalam Ams 22:1.
BHS : nib¦hār šēm mē‘ōšer rāb mikkēsef ûmizzāhāb ¦hēn ¦b
LAI-TB : Nama baik lebih berharga daripada kekayaan besar,
dikasihi orang lebih baik daripada perak dan emas.
Kata “nama” (M¤[) dalam bahasa Ibrani berarti reputasi, yang di sini dilekatkan dengan predikat “baik”. “Dikasihi orang” maksudnya memiliki apresiasi yang menyenangkan, yaitu penerimaan yang baik dari orang lain (persona grata). In sensu stricto, reputasi yang baik sebagaimana dikatakan Amsal, merupakan suatu nilai berharga yang memberikan kehormatan, pengaruh, dan kemakmuran material. In sensu lato, nama baik, yang di dalamnya terkandung intelektual dan moral yang tinggi, menjadi suatu milik yang lebih berharga dibandingkan dengan kekayaan materi.25
Lalu, kualitas apakah yang menjamin reputasi yang baik? Ams 22:4 mencatatnya, yaitu:
BHS : ‘ēqebanāwāh yhwh ‘ōšer wekāvôd we¦hayyim
LAI-TB : Ganjaran kerendahan hati (dan) takut akan Tuhan
adalah kekayaan, kehormatan, dan kehidupan.
Kata “dan” dalam klausa pertama tidak ada dalam TM, namun barangkali kata itu disisipkan saja.26 Klausa itu sebenarnya diterjemahkan menjadi: Ganjaran kerendahan hati adalah takut akan Tuhan. Akan tetapi “kerendahan hati” di sini maksudnya identik dengan “takut akan Allah”. Dalam hal ini kata “kerendahan hati” memiliki makna religius atau bahkan sama dengan “kesalehan”. Dalam beberapa tempat (Ams 15:33; 18:12) sebenarnya kehormatan merupakan ganjaran kerendahan hati, yang bukan dalam arti religius.27 Jadi makna keseluruhan teks tersebut adalah bahwa ganjaran kerendahan hati dan kesalehan adalah kekayaan, kehormatan, dan kehidupan.
Berikut Ams 17:6 mengatakan:
BHS : ateret zeqēnîm bebānîm wetif’eret bānîm ’abôtām
LAI-TB : Mahkota orang-orang tua adalah anak cucu
dan kehormatan anak-anak ialah nenek moyang mereka.
Amsal ini hendak menunjukkan hubungan intim antara orangtua dan anak, yang diungkapkan dengan pernyataan bahwa masing-masing menjadi mahkota atau kehormatan satu sama lain. Orangtua dan anak sebagai satu unit sosial masing-masing memberikan dukungan, keluhuran (dignity), dan kegembiraan.28 Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa harga diri seseorang itu terlihat jika memiliki keturunan (anak-cucu) dan sebaliknya keturunan (anak-cucu) tersebut semakin terhormat bila menghormati nenek moyangnya.
Dalam Kitab Sirakh juga ditemukan komentar menarik tentang harga diri, yakni Sir 10:28-29.
Anakku, hendaklah engkau berbangga tapi dengan rendah hati,
Hargailah dirimu sesuai dengan nilaimu sendiri.
Siapa gerangan akan membenarkan orang yang berbuat dosa terhadap dirinya sendiri,
Dan siapa yang menghormati orang yang menistakan dirinya?

Bagi beberapa orang, pernyataan ini menggemakan kebijaksanaan praktis. Biasa orang telah menemukan bahwa jika mereka tidak percaya pada diri mereka sendiri, orang lain pun juga tidak akan percaya kepada mereka.29

Perbandingan Konsep Harga Diri dalam Sastra Batak Toba dan Israel
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, berikut ini kami mencoba memberikan sintesis atau perbandingan antara kedua sastra di atas dalam pembahasannya mengenai harga diri.


No.
Topik Bahasan
Sastra Toba
Sastra kebijaksanaan Israel
1
Asal-usul
  • Bersumber dari sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu.
  • Dianugerahkan oleh Allah kepada seluruh manusia, manusia dicipta “menurut gambar dan rupa Allah”.
  • Melalui usaha manusia dalam berelasi/pengakuan manusia (Kej. 45:13; 1Raj 3:13; 1Sam. 6:5)
2
Cara Pencapaian
  • Menjalankan dengan baik budaya (religius) yang termuat dalam Dalihan Na Tolu (somba marhula-hula, elek marboru, jala manat mardongan tubu)

  • Takut akan YHWH (Ams 22:4)
  • Mengikuti tradisi nenek moyang (Ams 17:6)
3
Tanda-tanda
  • Mora (kaya dalam hal materi)
  • Gabe (memiliki keturunan yang lengkap: putra-putri, cucu, cicit)
  • Sangap (memiliki wibawa, kata-katanya didengarkan orang)
  • Mewariskan kehormatan yang telah diterima kepada keturunan (Ams 3:35)
  • Memiliki reputasi yang baik, hal itu terungkap dari pengakuan orang lain (Ams.22:1)
  • Rendah hati dan takut akan Allah (Ams 22:4)
  • Memiliki keturunan (Ams 17:6)
  • Hidup dengan rendah hati (Sir 10:28-29)

Refleksi
Seorang sarjana psikologi berlatar belakang suku Jawa, Dr. Irmawati, menuturkan pandangannya, “Secara pribadi, saya kagum dengan suku Batak Toba ... Saya duga keberhasilan dan kesuksesan ini dilandasi oleh prinsip hamoraon, hagabeon, dan hasangapon yang menjadi ukuran nilai dalam suku Batak Toba.”30 Pendapat ini barangkali terlalu subjektif. Namun, bukan untuk menyatakan suku lain inferior, suku Batak Toba memang terkenal gigih dan bersemangat dalam mencapai cita-cita hidupnya. Ada ungkapan mengatakan: values are principles that guide our lives (nilai-nilai itu adalah prinsipiil, yang menuntun hidup kita). Barangkali untuk suku-suku lain di luar Toba ada penekanan pada nilai-nilai tertentu. Demikian halnya dengan orang Batak Toba, nilai-nilai hamoraon, hagabeon, dan hasangapon mendasari pola hidup dan perjuangannya.
Sebagaimana dalam pemaparan di atas, orang Batak Toba sangat menjunjung tinggi paradaton. Mereka sangat anti jika dikatakan tidak maradat (ndang maradat). Di dalam acara adat, bagaimana posisi dan kedudukan kita harus jelas dalam struktur Dalihan Na Tolu: apakah sebagai boru, dongan tubu, atau hulahula. Posisi itu menentukan peran dan tanggung jawab yang menjadi gambaran harga diri itu sendiri. Adat Dalihan Na Tolu dijunjung tinggi.
Namun, paham harga diri Batak Toba dalam tiga prinsip hamoraon, hagabeon, dan hasangapon itu, bukan tanpa kelemahan sama sekali, baik secara sosiologis maupun bila dilihat dari moral kekristenan. Dalam lagu “Alusi Ahu” (ciptaan Nahum Situmorang) secara tersirat sebenarnya terkandung kritik orang Batak Toba sendiri terhadap pemutlakan cita-cita hamoraon, hagabeon, dan hasangapon itu sendiri. Memang, bila tidak dihidupi secara kritis, paham hamoraon, hagabeon, dan hasangapon cenderung membuat orang Batak Toba menjadi sulit mengalah, kurang rendah hati, dan mau menang sendiri. Padahal, Yesus sendiri sangat menekankan perlunya sikap saling merendahkan diri di antara para pengikut-Nya. ”Barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga” (Mat 18:4).
Dr. Soritua Albert Nababan (Dr. SAE Nababan, mantan Ephorus HKBP) sendiri mengkritik paham harga diri orang Batak Toba sendiri. Beliau menuturkan bahwa paham itu cenderung kurang relevan bila ditinjau dari iman kekristenan.31 Prinsip hagabeon, misalnya, bagi orang Batak Toba berarti memiliki banyak anak, terutama anak laki-laki. Padahal, tujuan perkawinan sejatinya bukan semata-mata prokreasi, melainkan juga kesejahteraan suami dan isteri. Keturunan penting, tetapi jauh lebih perlu lagi kasih dan kesetiaan kepada pasangan (bdk. Ef. 5:31-32). Oleh karena itu, tiadanya keturunan bukan menjadi alasan untuk menceraikan istri dan menikah dengan perempuan lain (bdk. Mrk 10:9). Dan, lagi, baik anak laki-laki dan perempuan memiliki posisi yang sama dan setara dalam keluarga kristen.32 Di samping itu, hidup selibat dalam Gereja Katolik (tidak menikah dan mendapat keturunan yang banyak) dalam arti tertentu tetap dapat dikategorikan masuk dalam ruang ’hagabeon’. Yesus sendiri mengingatkan: ”Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti” (Mat 19:12).
Terkait dengan paham hamoraon, Dr. SAE Nababan mengatakan bahwa kekayaan tidak otomatis membuat harga diri kita bertambah, karena banyak orang menjadi kaya lewat jalan yang tidak halal. Kekayaan juga tidak selalu harus dinilai dari hal-hal yang sifatnya material. Sebaliknya, banyak orang yang hidupnya sederhana tetapi semangat berbagi sangat tinggi dihayati. Sementara itu, prinsip hasangapon sebagai prinsip yang membuat rasa disegani dan diberi tempat istimewa dalam perkumpulan-perkumpulan (misalnya: adat), tampaknya bisa diklarifikasi. Seharusnya, orang Batak Toba yang menganut agama Kristen menyadari bahwa kehormatan diperoleh jika mereka berada di jalan yang benar (jalan Tuhan).33

Akhirulkalam
Ada ungkapan para tua-tua orang Batak Toba: “Hansit do na haion (so dapotan) jambar juhut, alai hansitan dope na so dapotan jambar hata”. Artinya, sangat menyakitkan jika seseorang tidak mendapat bagian dalam pembagian daging, tetapi lebih sakit lagi jika seseorang tidak mendapat kesempatan untuk berbicara dalam pesta adat. Ungkapan ini hendak menunjukkan betapa penting dan tingginya harga diri seseorang dalam berbicara dalam budaya Batak Toba. Ungkapan-ungkapan orang bijak di kalangan Batak Toba memiliki ciri tersendiri. Hal itu tercermin dalam semua tulisan dan sastra yang dimiliki oleh suku ini. Sastra Israel juga menunjukkan hal yang sama dan memiliki ciri yang khas dan bernilai tinggi. Karena itu dalam membandingkan kedua sastra ini, kami tidak dapat menemukan ungkapan atau teks yang sungguh-sungguh sama. Makna, arti dan tujuan dapat sama namun pengungkapannya berbeda-beda. Sastra diungkapkan dengan kata dan gaya bahasa yang berbeda. Hal itu dipengaruhi oleh cara pikir dan perkembangan budaya dari kedua sastra ini.
Kami melihat poin lain, berkaitan dengan perbandingan kedua sastra ini, yakni masing-masing sastra kebijaksanaan dari kedua suku bangsa ini sungguh bertujuan untuk membangun, mengembangkan dan mengatur kehidupan manusia sehingga semakin berharga dan terhormat, dan manusia dapat hidup sejahtera dan damai di bumi ini. Orang yang bijak dan memiliki kehormatan akan tampak dalam dan dari tingkah laku dan tutur kata serta dari ungkapan-ungkapannya.
***

Sumber Bacaan:
Bergant, Dianne dan Robert J. Karris. Tafsir Alkitab Perjanjian Lama (judul asli: The Collegeville Bible Commentary). Diterjemahkan oleh A.S. Hadiwiyata. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Hamidly, Basyral dan Hotman M. Siahaan. Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak: Suatu Pendekatan terhadap Perilaku Batak Toba di Angkola-Mandailing. Jakarta: Sanggar Willem Iskandar, 1987.
Irmawati, Keberhasilan Suku Batak Toba: Suatu Tinjauan Psikologi Ulayat. [tanpa tempat]: [tanpa penerbit], 2007. (Stensilan)
Marpodang, D.J. Gultom. Dalihan Na Tolu: Nilai Budaya Suku Batak. Medan: Armada, 1992.
Marun, M.A., I.M.T. Hutapea. Kamus Budaya Batak Toba. Jakarta: Balai Pustaka:1987.
Sihombing, T.M. Filsafat Batak: tentang Kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat (Jakarta: Balai Pustaka, 2000.
-------------. Jambar Hata: Dongan tu Ulaon Adat. [tanpa kota]: Tulus Jaya, 1989.
Simamora, Serpulus. DXEZ: Pengantar ke dalam Pentateukh. Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2001. (Diktat)
Simanjuntak, Bungaran Antonius. Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba hingga 1945: Suatu Pendekatan Sejarah Antropologi Budaya Politik. Jakarta: Obor, 2006.
Situmorang, Jaulahan. Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon dohot Mula ni Paradaton-Mula ni Marga-Mula ni Umpasa. Pematangsiantar: [tanpa penerbit], 1965.
Sper, David (ed.). Self-Esteem: What Does the Bible Say? Grand Rapids, Michigan: RBC Ministries, 2001.
Tambunan, Anggur P. “Kajian Sastra Batak”. Dalam B.A. Simanjuntak (ed.), Pemikiran tentang Batak. Medan: Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak, Universitas Nommensen, 1986.
Toy, Crawford H. Proverbs (ICC). Edinburgh: T & T Clark, 1988.
van der Weiden, Wim. Seni Hidup: Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Vergouwen, J.C. Masyarakat Hukum Adat Batak Toba. Jakarta: Pustaka Azet, 1985.
Nikolas Sinar Naibaho, Perbandingan antara Sastra Kebijaksanaan Israel dan Sastra Budaya Batak Toba, dalam http://www.sirajabatak.com/perbandingan_antara_sastra_%20kebijaksanaan_israel.htm, 28 Oktober 2011.




1 Masyarakat Batak Toba pada umumnya hidup tersebar atau tinggal di sekitar daerah Sumatra Utara, khususnya di daerah pulau Samosir dan daerah Tapanuli. Namun demikian orang Batak telah tersebar ke berbagai penjuru dunia ini. Suku Batak Toba menjadi suku bangsa yang besar. Nenek moyang suku bangsa Batak diduga berasal dari Hindia Belakang, walau menurut mitos orang Batak yang beredar di kalangan masyarakat ini, nenek moyang orang Batak berasal dari titisan dewa Si Raja Deang Parujar. Raja Batak sebagai manusia pertama dikirim oleh dewa ke bumi ini di Gunung Pusuk Buhit, di pulau Samosir. Suku ini memiliki beberapa persamaan dengan salah satu suku di daerah Pilipina. Karena itu diperkirakan bahwa sebenarnya keturunan Batak Toba berasal dari daerah Asia bagian Hindia Belakang.
Banyak teori dan pendapat yang berbicara tentang keberadaan suku Batak Toba. Sebagian berpendapat bahwa Suku Batak mencakup lima suku: Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Dairi-Pakpak. Tetapi pendapat ini sangatlah lemah karena bukti untuk itu tidak kuat. Sebagian orang berpendapat bahwa suku ini berdiri sendiri. Memang ada kemiripan di antara kelima suku ini, misalnya memiliki sedikit persamaan dalam bahasa, adat kebiasaan. Namun lebih banyak perbedaan. Perbedaan ini menjadi dasar penentu bahwa suku Batak Toba berbeda dari suku yang lainnya itu. [Nikolas Sinar Naibaho, Perbandingan antara Sastra Kebijaksanaan Israel dan Sastra Budaya Batak Toba, dalam http://www.sirajabatak.com/perbandingan_antara_sastra_%20kebijaksanaan_israel.htm, 28 Oktober 2011.]
2 Orang Batak Toba terkenal dengan keberaniannya untuk berbicara di depan umum dan keberanian dalam hal-hal lainnya. Sifat umum dan khas dari suku bangsa ini ialah "Si boru puas si boru bakkara, molo nunga puas ampema soada mara” (seseorang harus mengungkapkan isi hati dan perasaannya, dan jika hal itu telah terungkapkan maka puaslah rasanya dan damai serta selesailah masalah, semua masalah harus dituntaskan dengan pembicaraan). Ungkapan ini umumnya mewarnai sifat orang Batak. [N.S. Naibaho, Perbandingan ... 28 Oktober 2011.]
3 N.S. Naibaho, Perbandingan ... 28 Oktober 2011.
4 Anggur P. Tambunan, “Kajian Sastra Batak” dalam B.A. Simanjuntak (ed.), Pemikiran tentang Batak (Medan: Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak, Universitas Nommensen, 1986), hlm. 251.
5 Huta merupakan organisasi terkecil dalam struktur masyarakat Batak Toba. Sebuah huta mempunyai wilayah adat, masyarakat, penatua-penatua dan raja huta. Huta dihuni oleh enam sampai dua belas kepala keluarga yang biasanya didominasi oleh satu kelompok marga raja. [Lihat Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba hingga 1945: Suatu Pendekatan Sejarah Antropologi Budaya Politik (Jakarta: Obor, 2006), hlm. 84-85.]
6 Secara harfiah, Dalihan Na Tolu berarti tiga tiang (batu) tungku. Dalihan Na Tolu ini adalah tempat untuk meletakkan periuk ketika memasak. Dalihan yang terdiri dari tiga batu ini menjaga keseimbangan supaya periuk tidak jatuh. Simbolisasi ini menunjuk pada tiga kelompok yang terdapat dalam masyarakat Batak Toba, yaitu hulahula, boru dan dongan sabutuha. Hulahula merupakan kelompok pemberi istri atau keluarga dari mana istri berasal. Kelompok dongan sabutuha adalah merupakan kelompok yang semarga kita. Sementara boru adalah kelompok marga dari pihak menantu. Menurut keyakinan masyarakat Batak Toba, hulahula merupakan representasi Batara Guru di dunia ini, sebagai penyalur berkat bagi pihak boru. Boru merupakan representasi Mangalabulan, yang pancaran kekuatannya dilihat dalam aneka bentuk seperti pemberian harta dan terutama kerja. Dongan sabutuha adalah representasi Soripada. Ia menjadi penyalur kesucian dan kebenaran bagi sesama dongan sabutuha-nya. [Lihat B.A. Simanjuntak, Struktur Sosial …, hlm. 100; bdk. D.J. Gultom Marpodang, Dalihan Na Tolu: Nilai Budaya Suku Batak (Medan: Armada, 1992), hlm. 56-57.]
7 Jaulahan Situmorang, Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon dohot Mula ni Paradaton-Mula ni Marga-Mula ni Umpasa (Pematangsiantar: [tanpa penerbit], 1965), hlm. 30-33.
8 T.M. Sihombing, Jambar Hata: Dongan tu Ulaon Adat ([tanpa kota]: Tulus Jaya, 1989), hlm. 261.
9 Basyral Hamidly, Hotman M. Siahaan, Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak: Suatu Pendekatan terhadap Perilaku Batak Toba di Angkola-Mandailing (Jakarta: Sanggar Willem Iskandar, 1987), hlm. 133.
10 T.M. Sihombing, Filsafat Batak: tentang Kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), hlm. 104.
11 J. Situmorang, Hagabeon ..., hlm. 35-36.
12 T.M. Sihombing, Filsafat Batak: …, hlm. 105.
13 B.A. Simanjuntak, Struktur Sosial ...., hlm. 103.
14 T.M. Sihombing, Filsafat Batak: …, hlm. 105.
15 M.A. Marbun, I.M.T. Hutapea, Kamus Budaya Batak Toba (Jakarta: Balai Pustaka:1987), hlm. 45.
16 T.M. Sihombing, Filsafat Batak: …, hlm. 105.
17 J.C. Vergouwen, Masyarakat Hukum Adat Batak Toba (Jakarta: Pustaka Azet, 1985), hlm. 69-70.
18 J.C. Vergouwen, Masyarakat Hukum … hlm. 62-70; bdk. T.M. Sihombing, Filsafat Batak: …, hlm. 103.
19 T.M. Sihombing, Jambar Hata: …, hlm. 103
20 Lawrence E. Boadt, “Pengantar Sastra Kebijaksanaan”, dalam Dianne Bergant dan Robert J. Karris, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama (judul asli: The Collegeville Bible Commentary), diterjemahkan oleh A.S. Hadiwiyata (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 393.
21 Wim van der Weiden, Seni Hidup: Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 37-38.
22 Serpulus Simamora, DXEZ: Pengantar ke dalam Pentateukh (Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2001), hlm. 65. (Diktat)
23 Pauline A. Viviano, “Kejadian”, dalam D. Bergant dan R.J. Karris, Tafsir Alkitab …, hlm. 36.
24 Crawford H. Toy, Proverbs (ICC) (Edinburgh: T & T Clark, 1988), hlm. 82-83.
25 C.H. Toy, Proverbs …, hlm. 413.
26 Dalam Apparatus Criticus BHS memang diberi kemungkinan tambahan kata ”dan”: Z¢@¥X¦I¥E.
27 C.H. Toy, Proverbs …, hlm. 414-415.
28 C.H. Toy, Proverbs …, hlm. 338.
29 David Sper (ed.), Self-Esteem: What Does the Bible Say? (Grand Rapids, Michigan: RBC Ministries, 2001), hlm. 6.
30 Irmawati, Keberhasilan Suku Batak Toba: Suatu Tinjauan Psikologi Ulayat ([tanpa tempat]: [tanpa penerbit], 2007), hlm. 1. (Stensilan)

1 komentar:

  1. Konsep Harga Diri Dalam Sastra Batak Toba Dan Sastra Kebijaksanaan Israel Oleh: Febry Silaban, Dkk. ~ Badai Guruh >>>>> Download Now

    >>>>> Download Full

    Konsep Harga Diri Dalam Sastra Batak Toba Dan Sastra Kebijaksanaan Israel Oleh: Febry Silaban, Dkk. ~ Badai Guruh >>>>> Download LINK

    >>>>> Download Now

    Konsep Harga Diri Dalam Sastra Batak Toba Dan Sastra Kebijaksanaan Israel Oleh: Febry Silaban, Dkk. ~ Badai Guruh >>>>> Download Full

    >>>>> Download LINK

    BalasHapus