A.
LAKON “WAHYU MAKUTARAMA”
1.
Pengantar
Lakon
“Wahyu Makutarama” adalah bukti kepiawaian para pujangga Nusantara dalam
mengadopsi cerita wayang, yang aslinya dari India. Epos India terdiri dari “Ramayana” dan
“Mahabharata”.
Lakon
“Wahyu Makutarama” adalah hasil karya leluhur Nusantara kita, merupakan “titik
temu” atau “jembatan penghubung” antara kedua kisah tadi,
Dalam
lakon ini ada tokoh Gunawan Wibisana dan Anoman, tokoh dalam kisah Ramayana.
2.
Ringkasan lakon “Wahyu Makutarama”.
Syahdan,
para dewa mengabarkan kepada para insan marcapada, bahwa telah ada Mahkota yang
diberi nama Sri Batara Rama. Barangsiapa memiliki mahkota itu, akan menjadi
sakti, dan kelak akan menurunkan raja-raja yang memerintah di marcapada. Karena
berkhasiat menurunkan raja-raja, kemudian sering disebut sebagai “Wahyu
Makutarama”.
Prabu
Duryudana dari Astina mengutus Adipati Karna untuk memperoleh mahkota sekaligus
wahyu tadi. Adipati Karna, dengan diiringi para senapati Kurawa, pergi menemui
Begawan Kesawasidi di pertapaan Kutharunggu. Karna meminta wahyu itu, yang
diyakininya berada di tangan Kesawasidi. Kesawasidi mengatakan dia tidak punya
Makutarama. Adipati Karna marah, dan melepaskan panahnya, yang disambut oleh
Anoman, pendamping Kesawasidi. Panah itu ditangkap Anoman, kemudian
dipersembahkan kepada Kesawasidi. Bukannya dipuji, Anoman malah ditegur
Kesawasidi, karena, dapat dipandang sebagai meragukan kepiawaian kanuragan
gurunya.
Setelah
Karna pergi, datanglah Begawan Wibisana, adik Rahwana, yang sudah berusia
lanjut dan ingin segera meninggalkan dunia, kembali ke alam asal. Tidak
dilayani oleh Kesawasidi, hingga terjadi pertempuran. Kesawasidi “tiwikrama”,
dan sadarlah WIbisana bahwa Kesawasidi titisan Rama, bekas junjungannya dulu.
Kesawasidi memberi petunjuk cara kembali ke alam asal. Wibisana pamit, dan
dalam perjalanan ke alam asal bertemu sukma Kumbakarna, kakaknya dulu, yang
sedang gelisah. Wibisana menasehati Kumbakarna supaya menyatu dengan Bima,
ksatria Pandawa.
Sementara
itu, Arjuna juga berupaya mendapatkan Makutarama. Dia pergi diam-diam dari istananya, kemudian
menyamar sebagai pendeta. Selagi bersemedi, Arjuna mendapat “wangsit” untuk
menemui Begawan Kesawasidi.
Setelah Arjuna datang menghadap,
tahulah Kesawasidi bahwa sudah tiba saatnya memberikan wahyu itu kepada orang
yang tepat. Diwedarkannya rahasia bahwa Makutarama bukanlah berujud benda,
tetapi berupa ajaran luhur yang patut dijadikan pedoman dan dilakoni oleh
manusia, terutama yang mengemban tugas sebagai pemimpin. Ajaran luhur ini
dinamakan “Asta Brata”, yang intinya meneladan sifat-sifat alam dalam melakoni
kehidupan. Asta Brata ini dulunya diajarkan Rama kepada Wibisana, sepeninggal
Rahwana, sebagai bekal bagi Wibisana menjadi raja Alengka menggantikan Rahwana.
Sepeninggal Arjuna, Bima mencarinya.
Dalam pencarian itu, ketemu sukma Kumbakarna, yang kemudian merasuk ke paha
kiri Bima. Istri Arjuna, Sumbadra, juga mencari Arjuna. Sumbadra dibantu Betara
Narada, dan berubah rupa menjadi ksatria, yang kemudian pergi ke Kutharunnggu
menantang perang Arjuna.
Dalam perang tanding itu, Kesawasidi
datang. dan “badar” lah semuanya. Kesawasidi kembali ke wujud Kresna, sang
ksatria penantang kembali menjadi Sumbadra.
Arjuna mewarisi wahyu Makutarama
berupa ajaran “Asta Brata”, yang kelak diwariskan kepada puteranya, Abimanyu. Anak Abimanyu, Parikesit, belakangan
mewarisi tahta kerajaan Hastina.
B. “ASTA BRATA”.
1. Inti ajaran Asta Brata.
Ajaran Astabrata pada awalnya merupakan
ajaran yang diberikan olah Rama kepada Wibisana. Ajaran tersebut terdapat dalam
Serat Rama Jarwa Macapat, tertuang pada pupuh 27 Pankur, jumlah bait 35 buah.
Pada dua pupuh sebelumnya diuraikan kekalahan Rahwana dan kesedihan Wibisana.
Disebutkan, perkelahian antara Rahwana melawan Rama sangat dahsyat. Seluruh kesaktian
Rahwana ditumpahkan dalam perkelahian itu, namun tidak dapat menendingi
kesaktian Rama. Ia gugur olah panah Gunawijaya yang dilepaskan Rama. Melihat
kekalahan kakaknya, Wibisana segera bersujud di kaki jasad kakaknya dan
menangis penuh kesedihan.
Rama menghibur Wibisana dengan memuji
keutamaan Rahwana yang dengan gagah berani sebagai seorang raja yang gugur di
medan perang bersama balatentaranya. Oleh Rama, Raden Wibisana diangkat menjadi
Raja Alengka menggantikan Rahwana. Rama berpesan agar menjadi raja yang
bijaksana mengikuti delapan sifat dewa yaitu Indra, Yama, Surya, Bayu, Kuwera,
Brama, Candra, dan Baruna. Itulah yang disebut dengan Asthabrata.
Dalam lakon Wahyu Makutarama, Prabu Rama
menitis kepada Kresna untuk melestarikan Asta Brata dan menurunkannya kepada
Arjuna. Setelah itu, Asta Brata diturunkan oleh Arjuna kepada Abimanyu dan
diteruskan kepada Parikesit yang kemudian menjadi Raja.
Asta Brata adalah simbol alam
semesta. Arti harfiahnya “delapan simbol alam”, tetapi sejatinya menyiratkan
keharmonisan sistem alam semesta. Pada hakikatnya kedelapan sifat tersebut
merupakan manifestasi keselarasan yang terdapat pada tata alam semesta yang
diciptakan Tuhan, dan manusia harus menyelaraskan diri
dengan tata alam semesta kalau ingin
selamat dan terhindar malapetaka. Bila manusia, sebagai ciptaan Tuhan, bisa
selaras dengan alam semesta, maka selaraslah kehidupannya.
Delapan simbol alam itu adalah: bumi,
geni, banyu, angin, srengenge, bulan, lintang, dan awan. Mengambil kedelapan
simbol alam sebagai contoh, itu lah inti ajaran Asta Brata, sebagai pedoman
tingkah laku seorang raja, yang secara singkat dapat dirangkum sebagai:
“Dapat memberikan kesejukan dan
ketentraman kepada warganya; membasmi kejahatan dengan tegas tanpa pandang
bulu; bersifat bijaksana, sabar, ramah dan lembut; melihat, mengerti dan
menghayati seluruh warganya; memberikan kesejahteraan dan bantuan bagi warganya
yang memerlukan; mampu menampung segala sesuatu yang datang kepadanya, baik
yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan; gigih dalam mengalahkan musuh
dan dapat memberikan pelita bagi warganya.”
2. Beberapa versi rumusan Asta Brata
a. Menurut Yasadipura I ((1729-1803 M)
dari keraton Surakarta:
-Asta Brata adalah delapan prinsip
kepemimpinan sosial yang meniru filosofi/sifat alam, yaitu:
1. Mahambeg Mring Kismo (meniru sifat
bumi)
Seperti halnya bumi, seorang pemimpin
berusaha untuk setiap saat menjadi sumber kebutuhan hidup bagi siapa pun. Dia
mengerti apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya dan memberikan kepada siapa saja
tanpa pilih kasih. Meski selalu memberikan segalanya kepada rakyatnya, dia
tidak menunjukkan sifat sombong/angkuh.
2. Mahambeg Mring Warih (meniru sifat air)
Seperti sifat air, mengalir dari tinggi ke
tempat yang lebih rendah dan sejuk/dingin. Seorang pemimpin harus bisa menyatu
dengan rakyat sehingga bisa mengetahui kebutuhan riil rakyatnya. Rakyat akan
merasa sejuk, nyaman, aman, dan tentram
bersama pemimpinnya. Kehadirannya selalu diharapkan oleh rakyatnya. Pemimpin
dan rakyat adalah mitra kerja dalam membangun persada tercinta ini. Tanpa
rakyat, tidak ada yang jadi pemimpin, tanpa rakyat yang mencintainya, tidak ada
pemimpin yang mampu melakukan tugas yang diembannya sendirian.
3. Mahambeg Mring Samirono (meniru sifat
angin)
Seperti halnya sifat angin, dia ada di
mana saja/tak mengenal tempat dan adil kepada siapa pun. Seorang pemimpin harus
berada di semua strata/lapisan masyarakatnya dan bersikap adil, tak pernah
diskriminatif (membeda-bedakan).
4. Mahambeg Mring Condro (meniru sifat
bulan)
Seperti sifat bulan, yang terang dan
sejuk. Seorang pemimpin mampu menawan hati rakyatnya dengan sikap keseharian
yang tegas/jelas dan keputusannya yang tidak menimbulkan potensi konflik.
Kehadiran pemimpin bagi rakyat menyejukkan, karena aura sang pemimpin memancarkan
kebahagiaan dan harapan.
5. Mahambeg Mring Suryo (meniru sifat
matahari)
Seperti sifat matahari yang memberi sinar
kehidupan yang dibutuhkan oleh seluruh jagat. Energi positif seorang pemimpin
dapat memberi petunjuk/jalan/arah dan solusi atas masalah yang dihadapi
rakyatnya.
6. Mahambeg Mring Samodra (meniru sifat
laut/samudra)
Seperti sifat lautan, luas tak bertepi,
setiap hari menampung apa saja (air dan sampah) dari segala penjuru, dan
membersihkan segala kotoran yang dibuang ke pinggir pantai. Bagi yang memandang
laut, yang terlihat hanya kebeningan air dan timbulkan ketenangan. Seorang
pemimpin hendaknya mempunyai keluasan hati dan pandangan, dapat menampung semua
aspirasi dari siapa saja, dengan penuh kesabaran, kasih sayang, dan pengertian
terhadap rakyatnya.
7. Mahambeg Mring Wukir (meniru sifat
gunung)
Seperti sifat gunung, yang teguh dan
kokoh, seorang pemimpin harus memiliki keteguhan-kekuatan fisik dan psikis
serta tidak mudah menyerah untuk membela kebenaran maupun membela rakyatnya.
Tetapi juga penuh hikmah tatkala harus memberikan sanksi. Dampak yang
ditimbulkan dengan cetusan kemarahan seorang pemimpin diharapkan membawa
kebaikan seperti halnya efek letusan gunung berapi yang dapat menyuburkan
tanah.
8. Mahambeg Mring Dahono (meniru sifat
api)
Seperti sifat api, energi positif seorang
pemimpin diharapkan mampu menghangatkan hati dan membakar semangat rakyatnya
mengarah kepada kebaikan, memerangi kejahatan, dan memberikan perlindungan
kepada rakyatnya.
b. Menurut Serat Aji Pamasa (Pedhalangan)
karya Raden Ngabehi Rangga Warsita. Pemimpin dituntut ngerti, ngrasa, dan
nglakoni (Tri-Nga) 8 (delapan) watak alam. Hasta berarti delapan, brata berarti
laku atau watak.
1. Watak Surya atau srengenge (matahari);
sareh sabareng karsa, rereh ririh ing pangarah.
2. Watak Candra atau rembulan (Bulan);
noraga met prana, sareh sumeh ing netya, alusing budi jatmika, prabawa sreping
bawana.
3. Watak Sudama atau lintang (Bintang);
lana susila santosa, pengkuh lan kengguh andriya. Nora lerenging ngubaya, datan
lemeren ing karsa. Pitayan tan samudana, setya tuhu ing wacana, asring umasung
wasita. Sabda pandhita ratu tan kena wola wali.
4. Watak Maruta atau angin (Udara yang
bergerak); teliti setiti ngati-ati, dhemen amariksa tumindake punggawa kanthi cara
alus.
5. Watak Mendhung atau mendhung (Awan
hujan); bener sajroning paring ganjaran, jejeg lan adil paring paukuman.
6. Watak Dahana atau geni atau latu (Api);
dhemen reresik regeding bawana, kang arungkut kababadan, kang apateng
pinadhangan.
7. Watak Tirta atau banyu atau samodra
(Air); tansah paring pangapura, adil paramarta. Basa angenaki krama tumraping
kawula.
8. Watak pratala atau bumi atau lemah
(Tanah); tansah adedana lan karem paring bebungah marang kawula.
c. Menurut lakon Wahyu Makutharama, diajarkan
oleh Begawan Kesawasidi (Prabu Kresna) kepada Raden Arjuna, sebagai berikut:
1. “kapisan bambege surya, tegese sareh
ing karsa, derenging pangolah nora daya-daya kasembadan kang sinedya. Prabawane
maweh uriping sagung dumadi, samubarang kang kena soroting Hyang Surya nora
daya-daya garing. Lakune ngarah-arah, patrape ngirih-irih, pamrihe lamun sarwa
sareh nora rekasa denira misesa, ananging uga dadya sarana karaharjaning sagung
dumadi.
2. Kapindho hambege candra yaiku rembulan,
tegese tansah amadhangi madyaning pepeteng, sunare hangengsemake, lakune bisa
amet prana sumehing netya alusing budi anawuraken raras rum sumarambah marang
saisining bawana.
3. Katelu hambeging kartika, tegese tansah
dadya pepasrening ngantariksa madyaning ratri. Lakune dadya panengeraning
mangsa kala, patrape santosa pengkuh nora kengguhan, puguh ing karsa pitaya
tanpa samudana, wekasan dadya pandam pandom keblating sagung dumadi.
4. Kaping pate hameging hima, tegese
hanindakake dana wesi asat; adil tumuruning riris, kang akarya subur
ngrembakaning tanem tuwuh. Wesi asat tegese lamun wus kurda midana ing guntur
wasesa, gebyaring lidhah sayekti minangka pratandha; bilih lamun ala antuk
pidana, yen becik antuk nugraha.
5. Kalima ambeging maruta, werdine tansah
sumarambah nyrambahi sagung gumelar; lakune titi kang paniti priksa patrape
hangrawuhi sakabehing kahanan, ala becik kabeh winengku ing maruta.
6. Kaping nem hambeging dahana, lire
pakartine bisa ambrastha sagung dur angkara, nora mawas sanak kadang pawong
mitra, anane muhung anjejegaken trusing kukuming nagara.
7. Kasapta hambeging samodra, tegese
jembar momot myang kamot, ala becik kabeh kamot ing samodra; parandene nora
nana kang anabet. Sa-isene maneka warna, sayekti dadya pikukuh hamimbuhi
santosa.
8. Kaping wolu hambeging bantala, werdine
ila legawa ing driya; mulus agewang hambege para wadul. Danane hanggeganjar
myang kawula kang labuh myang hanggulawenthah.
C. NILAI DAN TELADAN
a. Relevansi Asta Brata dengan ajaran
serupa di dunia Internasional.
Ada banyak rumusan Asta Brata. Bahkan,
pernah dijadikan pelajaran wajib di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).
Apakah ajaran ini bersifat Universal,
dalam arti tidak hanya dihayati bangsa Indonesia saja?
Ternyata, memang benar. Ajaran Asta Brata
bersifat Universal, dikenal pula di belahan dunia yang lain, walau pun berbeda
sebutan dan rumusannya. Berupa apa sifat ajaran Universalnya?
Yaitu, bahwa manusia harus hidup selaras
dengan alam.
Di Negeri China, Korea, dan Jepang dikenal
“Fengshui” (harfiahnya Angin dan Air), yang berlandaskan teori lima proses:
Logam, Kayu, Tanah, Air, dan Api.
Di anak benua India, dikenal pula Teori 5
Unsur: Api, Tanah, Air, Udara (Angin) dan Ruang.
Mengapa hanya lima? Berarti ajaran Asta
Brata lebih lengkap?
Ternyata, tidak sesederhana itu.
Perhatikan, adakah unsur “Ruang” dalam
ajaran Asta Brata?
Tanpa ruang, di manakah ke unsur-unsur
alam itu berada?
Makna: Tidak semua yang terlihat berbeda
itu benar-benar berbeda. Perluaslah wawasan kita untuk bisa melihat, bahwa ada
kesamaan di antara perbedaan.
b. Esensi Makna Asta Brata
Asta Brata bukan hanya berlaku bagi para
pemimpin saja. Setiap manusia, seyogyanya mengamalkannya, dalam arti “hidup
selaras dengan alam”, dan “menjalankan peran yang diembannya, sehingga memberi
manfaat bagi sesama”.
Seorang
pemimpin yang tidak mampu melaksanakan Asta Brata bagai raja tanpa mahkota.
Sebaliknya, rakyat jelata yang dalam hidupnya mampu melaksanakan Asta Brata,
berarti ia adalah rakyat jelata yang bermahkota, dialah manusia yang luhur budi
pekertinya.
http://budayaleluhur.blogspot.com/2011/12/perilaku-ajaran-hasta-brata-wahyu.html