Blogroll

Minggu, 26 Februari 2012

Tokoh di Balik Kerusakan Indonesia 1 - 10

Tokoh di Balik Kerusakan Indonesia - 1

Selasa, 11 Oktober 2011

Penjajahan selama 350 tahun yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia memberikan kontribusi signifikan terhadap perubahan dan perkembangan perilaku anak bangsa. Apalagi karena jauh sebelum Belanda menjajah, yakni sekitar abad 14, tak lama setelah Perang Salib berakhir, kedatangan kapal-kapal VOC, sebuah perusahaan niaga di Belanda, ditunggangi sebuah kelompok persaudaraan rahasia Yahudi yang menamakan diri Vrijmetselarij (Freemasonsry). Ketika Belanda menguasai Indonesia, kelompok ini tumbuh dan berkembang pesat dengan merekrut tak hanya para kaum terpelajar, politikus, pejabat negara dan aktivis, namun juga kaum ningrat (lihat artikel bersambung Mewaspadai Bahaya Freemasonry, atau KLIK MULAI DARI SINI). Tujuannya, tentu saja, selain untuk memperluas jaringan, juga untuk mendapatkan limpahan materi guna mewujudkan impian mendirikan negara baru di tanah yang dijanjikan, Palestina, dan menciptakan tatanan dunia baru dimana Yahudi sebagai penguasa seluruh negara di dunia. Negara impian itu, Israel, telah berdiri pada 1948, sementara cita-cita menciptakan tatanan dunia baru masih sedang berproses. Saat Indonesia dijajah Jepang, kelompok ini sempat kocar-kacir karena negeri Matahari Terbit termasuk negara yang memusuhinya. Namun setelah Jepang pergi dan Orde Lama di bawah pimpinan Presiden Soekarno bergulir, organisasi yang selalu melakukan gerakan secara diam-diam ini kembali eksis. Meski akhirnya, karena Soekarno membenci Barat dan berpihak kepada Rusia dan China (komunis), pada 1961 keberadaan organisasi ini beserta underbouw-nya, dilarang. Soekarno sendiri kemudian digulingkan melalui sebuah konspirasi tingkat tinggi yang melibatkan CIA (Central Intelligence Agency) dan antek-antek kelompok ini yang satu di antaranya merupakan seorang pendeta kelahiran Amsterdam, Belanda, bernama Pater Beek. Pendeta Katolik ini pulah lah yang mendudukkan Soeharto sebagai presiden pengganti Soekarno. Beek lahir pada 12 Maret 1917 dengan nama lengkap Josephus Beek. Ia seorang penganut agama Katolik yang taat dan merupakan anggota Ordo Jesuit, sebuah sekte dalam agama Kristen yang didirikan Ignatius Loyola, Fransiscus Xaverius dan lima rekannya di Kapel Montmatre, Perancis, pada 15 Agustus 1534. Seperti halnya kebayakan pemuda Belanda kala itu, cerita tentang sebuah negara kaya raya dengan mayoritas penduduk beragam Islam yang sedang dikuasai negara mereka, juga menarik minat Beek remaja untuk ‘bertualang’ di negara yang kala itu masih bernama Hindia Belanda tersebut. Kesempatan datang kala ia berusia 22 tahun. Diduga kuat berkat rekomendasi ordonya, ia dikirim ke Indonesia dengan mengemban dua misi, yakni menyebarkan agama Kristen dan melakukan kajian tentang pola hidup masyarakat di Pulau Jawa. Tujuan misi kedua ini jelas, demi melanggengkan penjajahan yang dilakukan negaranya terhadap Bumi Pertiwi. Beek bekerja dengan sangat baik. Ia mencatat apapun yang berhasil diamatinya dari kehidupan masyarakat Pulau Jawa setiap hari. Menurut buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, dari pengamatan itu ia bahkan akhirnya berkesimpulan bahwa yang paling membahayakan eksistensi penjajahan Belanda di Indoensia, terutama di Pulau Jawa, adalah agama yang dipeluk mayoritas masyarakatnya; Islam. Tak heran jika kelompok-kelompok perlawanan masyarakat terhadap Belanda dimotori oleh para pemuka agama Rasulullah Saw ini. Contohnya Pangeran Diponegoro. Ia bahkan menyimpulkan, jika penjajahan yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia ingin langgeng, maka Islam harus dilumpuhkan. Dengan cara ini Belanda bahkan mendapat keuntungan lain, yakni penduduk Pulau Jawa dapat dikristenkan dengan lebih mudah. Sekali tepuk, dua nyamuk mati. Sebuah usulan yang cerdik, cerdas dan licik. Sesuai dengan karekternya. (bersambung) 

Tokoh di Balik Kerusakan Indonesia - 2

Rabu, 12 Oktober 2011

Amsterdam masa kini.
Tugas Beek selesai, dan ia kembali ke Belanda. Namun keinginannya untuk kembali ke Indonesia sangat besar. Apalagi karena hasil kajiannya membuat ia terobsesi untuk juga melakukan seperti apa yang diusulkan kepada pemerintahnya; menghancurkan Islam dan mengkristenkan pemeluknya demi melanggengkan penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Ia pun berupaya agar dapat menjadi pastur, dan ditugaskan lagi ke Indonesia.

Pada 1948, Beek ditahbiskan menjadi pastur, namun baru kembali ke Indonesia pada 1956 atau setahun setelah pemilu pertama dilaksanakan di Indonesia. Selama kurun waktu delapan tahun sejak ditahbiskan hingga ditugaskan kembali di Indonesia, ia mengasah diri dengan mempelajari banyak hal, terutama mempelajari metode-metode efektif untuk menghancurkan Islam. Diduga kuat, sejak ia kembali ke Belanda dan menjelang kembali lagi ke Indonesia, ia didekati dua organisasi yang hingga kini pun sangat berpengaruh di dunia, yakni Freemasonry dan CIA. Tak heran jika M. Sembodo dalam buku berjudul ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’ menyebut, ketika Beek menjejakkan kaki kembali di Bumi Pertiwi, statusnya bukan hanya seorang misionaris Kristen Katolik, tapi juga anggota CIA dan Freemason. 

Mungkinkah itu? Jawabannya, ya. 

Pada abad 13, Amsterdam hanya lah sebuah kota nelayan. Legenda orang Belanda menyebutkan, kota itu ditemukan oleh dua orang nelayan dari Frisian. Bersama anjing peliharaannya, kedua orang itu mendarat di pesisir Amstel. Karena kawasan di pesisir pantai ini kemudian tumbuh dan berkembang menjadi kota nelayan, maka namanya berubah menjadi Amsterdam yang berarti empang dalam bendungan Amstel. 

Seiring berjalannya waktu, Amsterdam tumbuh menjadi kota perdagangan. Pesisir pantainya berubah menjadi pelabuhan-pelabuhan yang selalu ramai oleh para pedagang yang datang dan pergi. Letaknya yang strategis, membuat kota ini tak lepas dari pengamatan dua negara tetangga Belanda yang sedang berebut tanah jajahan, yakni Spanyol dan Portugis. Spanyol lah yang akhirnya berhasil menguasai kota ini, dan penduduk Amsterdam memberontak. 

Namun, pemberontakan dapat diredam. Spanyol bahkan dapat memperluas tanah jajahannya hingga ke seluruh penjuru Belanda, sehingga pecah perang antara Belanda dengan Spanyol yang dikenal dengan sebutan ‘Perang 80 Tahun’. 

Sejak awal pertumbuhannya, Amsterdam sangat terbuka bagi agama Kristen dan Yahudi. Bahkan jika di kota-kota lain di seluruh Eropa orang Yahudi dikucilkan, di Amsterdam justru mendapatkan jaminan keselamatan. Maka tak heran jika di antara seluruh kota di Belanda, hanya Amsterdam lah yang memiliki penduduk berkebangsaan Yahudi dalam jumlah yang paling banyak. 

Abad ke-17 merupakan puncak kejayaan Amsterdam, karena saat itu 17 pengusaha kaya Belanda mendirikan sebuah perusahaan bernama VOC, perusahaan yang kemudian menguras hasil bumi Indonesia, dan membuat Amsterdam semakin makmur. Bahkan akhirnya menjelma menjadi pusat perdagangan di Eropa. 


Dari sejarah ini jelas bahwa sebelum kembali lagi ke Indonesia, bisa jadi Beek telah direkrut oleh Freemason karena banyak yang percaya bahwa lambang VOC merupakan kamuflase dari lambang Freemason yang berbentuk bintang David. Apalagi pemilik saham mayoritas di VOC adalah Yahudi yang bermukim di Amsterdam. 

Seperti disinggung pada bagian pertama, Freemason berambisi mendirikan negara di Palestina dan menciptakan tatanan dunia baru dimana Yahudi sebagai penguasa negara-negara di seluruh dunia. Untuk mewujudkan kedua ambisi ini, Freemason membutuhkan dana yang sangat besar. Meski anggota organisasi persaudaraan rahasia bangsa Yahudi ini merupakan orang-orang kaya yang berkecimpung di berbagai bidang, seperti pengusaha, politikus, ilmuwan, seniman dan sebagainya, namun mereka tetap membutuhkan sumber dana lain untuk mendukung perealisasian ambisi mereka. Maka VOC pun dilayarkan kemana-mana, termasuk ke Indonesia, negara yang kaya akan hasil bumi, terutama rempah-rempah. 

Setelah Belanda menjajah Indonesia, VOC tersingkir. Freemason tentu saja tak ingin kehilangan pemasukan dari negara yang kaya ini, maka mereka menempuh beragam cara untuk tetap eksis di Indonesia. Di antaranya dengan mengembangkan organisasinya di Indonesia yang dinamakan Vrijmetselarij. Melalui organisasi ini, Freemason membuat jaringan di segala bidang, terutama di pemerintahan, agar antek-anteknya dapat disusupkan dan pemerintah dapat membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan mereka, terutama dalam bidang investasi. Dengan gerakan bawah tanah seperti inilah Freemason mengeruk kekayaan Indonesia. 

Penjajah Belanda tentu saja tahu akan hal ini, namun karena sepak terjang Freemason tidak merugikan, bahkan dalam beberapa hal menguntungkan, Belanda membiarkannya saja. Itu sebabnya selama Belanda menjajah Indonesia, Vrijmetselarij tumbuh dan berkembang dengan baik. Sepak terjang Vrijmetselarij yang mana yang menguntungkan Belanda? Baca bagian selanjutnya. 
(bersambung)

Tokoh di Balik Kerusakan Indonesia – 3

Kamis, 13 Oktober 2011

Beek.
Seperti telah disinggung pada bagian pertama tulisan ini, selama berkiprah di Indonesia, Vrijmetselarij merekrut anak bangsa dari berbagai kalangan, termasuk kalangan bangsawan. Dengan perekrutan seperti ini, tentu saja anak bangsa yang direkrut menjadi ‘sungkan’ terhadap Belanda dan semangat mereka untuk mendepak penjajah itu menjadi kendor.  

Organisasi Boedi Oetomo yang pendiriannya dimotori Vrijmetselarij bahkan sangat anti Islam, sehingga dalam brosur organisasi kepemudaan yang selama ini didengung-dengungkan pemerintahan Orde Baru sebagai organisasi pencetus nasionalisme itu, Boedi Oetomo tak segan-segan mencaci-maki Nabi Muhammad Saw dan ajarannya. Padahal, hasil kajian Pater Beek sendiri menyebutkan bahwa Islam merupakan sumber utama perlawanan rakyat Pulau Jawa terhadap pemerintah Belanda. Jadi, jelas, dalam mengembangkan organisasinya di Indonesia, Freemason menerapkan politik adu domba. Sama dengan politik yang diterapkan Belanda selama menjajah Indonesia. 

Dari sini dapat ditemukan benang merah mengapa Freemason merekrut Pater Beek, yakni adanya titik temu antara keinginan Beek kembali ke Indonesia, dengan tujuan Freemason untuk tetap dapat eksis di Bumi Pertiwi. Jika Beek ingin kembali ke Indonesia karena ingin menghancurkan Islam agar negaranya tetap dapat menjajah negeri Zamrud Khatulistiwa, maka Freemason ingin Beek kembali ke Indonesia agar tetap dapat mengeruk kekayaan Indonesia. Tak peduli apapun cara yang dilakukan Beek. Kebetulan, Yahudi membenci Islam, sehingga upaya Beek menghancurkan Islam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, didukung sepenuhnya. 

Freemason mengenal sosok Beek dari para petinggi Orgo Jesuit yang di antaranya bahkan ada yang menjadi anggota organisasi ini. Sejak pria ini direkomendasikan, minatnya telah menarik perhatian para petinggi organisasi itu untuk merekrut dan memanfaatkannya. 

Mengapa Beek direkrut CIA? 

Jawabannya mudah. Amerika Serikat (AS) adalah basis utama pergerakan Freemason. Bahkan negara ini dikuasai sepenuhnya oleh organisasi itu dan underbow-underbow-nya. Ketika Beek kembali ke Indonesia, Bumi Pertiwi telah merdeka dari Jepang yang menggantikan Belanda menjajah negara ini. 

Setahun sebelum Beek kembali ke Indonesia, atau pada 1955, Indonesia menggelar pemilu pertama yang hasilnya sangat mencemaskan negara-negara blok Barat, khususnya AS yang merupakan negara boneka Freemason, dan Belanda yang juga ditunggangi organisasi persaudaraan kaum elit Yahudi itu. Sebab, hasil pemilu menempatkan Masyumi dan Nahdatul Ulama (NU) dalam empat besar partai politik di Indonesia. Terlebih karena orientasi politik Presiden Soekarno kala itu memperlihatkan kecenderungan mengarah pada blok Timur yang terdiri dari China dan Uni Soviet yang beraliran komunis. Soekarno bahkan tak hanya membentuk Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis), tapi juga tak pernah sungkan menghantam AS dan antek-anteknya setiap kali berpidato di forum-forum lokal maupun internasional. 

Bagi Freemason yang berada di belakang Amerika dan Belanda, Soekarno jelas menjadi batu sandungan. Apalagi karena pada 1961, Soekarno melarang keberadaan Vrijmetselarij dan underbow-undebow-nya. Maka orang-orang terbaik mereka dikerahkan untuk menggulingkan the founding father ini. Di antaranya CIA dan Beek. 

Fakta bahwa Beek adalah agen CIA antara lain diungkap Dr. George J. Aditjondro, penulis yang juga mantan anak buah Beek, dalam artikel berjudul ‘CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo, dan LB Moerdani. Dalam artikel ini, George menulis begini;

Menurut cerita dari sejumlah pastur yang mengenalnya lebih lama, (Pater) Beek adalah pastur radikal antikomunis yang bekerja sama dengan seorang pastur dan pengamat China bernama Pater Ladania di Hongkong (sudah meninggal beberapa tahun silam di Hongkong). Pos China watcher (pengamat China) pada umumnya dibiayai CIA. Maka tidak untuk sulit dimengerti jika Beek mempunyai kontak yang amat bagus dengan CIA. Sebagian pastur mencurigai Beek sebagai agen Black Pope di Indonesia. Black Pope adalah seorang kardinal yang mengepalai operasi politik Katolik di seluruh dunia”. 

Fakta yang diungkap George itu didukung Mujiburrahman dalam desertasi berjudul ‘Feeling Threatened Muslim-Cristian Relations in Indonesia’s New Orde’. (bersambung ….)

Tokoh di Balik Kerusakan Indonesia - 4

Jumat, 14 Oktober 2011

Soekarno.
Bagi Beek, menggulingkan Soekarno bukanlah sesuatu yang layak untuk ditentang, karena meski berorientasi ke Soviet dan China, dan cenderung sekuler, Soekarno seorang muslim yang sangat memperhatikan perkembangan intelektualisme umat Islam. Soekarno bahkan mendirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di beberapa wilayah di Indonesia untuk mencetak intelektual-intelektual Islam yang tak hanya mumpuni dalam hal keagamaan, namun juga berwawasan modern.
 
Pendirian IAIN ini membahayakan misi Beek, karena jika di Indonesia bermunculan orang Islam-orang Islam yang berpendidikan dan cerdas, maka misinya mengkatolikkan penduduk Pulau Jawa akan mengalami kendala besar. Bahkan eksistensi Katolik di Indonesia bisa saja terancam. Terlebih karena kala itu Soekarno juga sedang berupaya membebaskan Irian Barat yang masih dijajah Belanda, karena selain Pulau Jawa, pulau berbentuk kepala burung itu juga merupakan salah satu pusat pengkatolikkan di Indonesia. 

Dalam buku berjudul ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, M Sembodo menulis, dalam menjalankan misi-misinya di Indonesia, Pater Beek tidak sendirian. Sedikitnya ada dua pastur yang membantunya, yaitu Pastur Melchers dan Djikstra. Tentang hal ini, dalam salah satu tulisannya, peneliti asal Australia, Richard Tanter, menyatakan begini; 

(Pater) Beek mengawali proyeknya di tahun 1950-an, bersama dengan sejumlah kecil (anggota Ordo) Jesuit lainnya, termasuk Pastur Melchers dan Djikstra; kesemuanya ini memiliki pengaruh cukup besar dalam percaturan politik di Indonesia. Di mana masing-masing menata jaringan yang serupa dengan ‘kerajaan’ personal, tetapi dalam wilayah yang berbeda dan tetap saling berkoordinasi”. 

Tentang adanya Pastur Djikstra di Indonesia, dibenarkan Mujiburrahman dalam desertasinya. Tapi, menurut dia, cara kerja Pater Beek dan Pastur Djikstra berbeda. Meski mengemban misi dan tujuan yang sama. Jika Pater Beek lebih mengedepankan aspek politik, dimana Katolik harus dapat mengontrol Indonesia agar kristenisasi dapat berjalan dengan lancar. Sedang Pastur Djikstra lebih mengedepankan aspek ekonomi, sehingga Katolik dapat menjadi penguasa, sekaligus pengendali jalannya perekonomian negara dan hasil-hasilnya. 

Meski dibantu pastur-pastur dari Ordo Jesuit, Beek tetap menggunakan banyak orang untuk membentuk sebuah jaringan yang amat kuat. Jaringan itu adalah orang-orang yang berada di sekitarnya, yang note bene orang Indonesia, dan di antaranya bahkan beragama Islam. Orang-orang ini ia atur dan ia kendalikan sedemikian rupa, sehingga bekerja sesuai dengan apa yang ia inginkan.

Siapa sajakah pion-pion ini? 

(bersambung ….)



Tokoh di Balik Kerusakan Indonesia - 5

Sabtu, 15 Oktober 2011

Pada era 1960-an, Angkatan Darat (AD) merupakan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sangat antikomunis, namun juga tidak mendukung Islam. Ini terlihat dari kiprah politik pasukan ini yang menumpas gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang dipelopori DII/TII pimpinan Kartosuwiryo dan Kahar Muzakar.

Selain kedua hal tersebut, TNI AD juga merupakan kesatuan yang memiliki struktur hingga ke daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia, dari tingkat pusat hingga kecamatan, sehingga TNI AD tak ubahnya bagai negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, tongkat komando tetap berada di pusat (sentralistik). Struktur ini sama dengan struktur dalam agama Katolik, karena meski gereja Katolik tersebar di seluruh dunia, namun pusat segala kebijakan yang terkait dengan agama itu tetap berada di Vatikan.

Kesamaan struktur dan arah politik TNI AD ini menarik perhatian Beek maupun CIA. Dengan dalih kerjasama dalam bidang pelatihan intelijen dan bantuan persenjataan, kedua oknum ini menyusup dan mulai menjalankan rencananya untuk menghancurkan Islam dan ‘menjajah’ Indonesia dengan cara yang berbeda dengan yang dilakukan Belanda atau Jepang, namun akibatnya akan sangat terasa hingga kapan pun, termasuk pada 2011 ini.

Kerja sama TNI AD dengan CIA dijalin pada 1950-an, saat Bung Hatta menjadi perdana menteri. Salah satu realisasi kerja sama ini adalah pengiriman 17 orang pilihan di lingkungan TNI AD untuk menjalani latihan di Saipan Training Station (Pusat Pelatihan Saipan) di Pulau Mariana yang berjarak 82 kilometer sebelah barat daya Manila, Philipina. Menurut Ken Comboy dalam buku berjudul ‘Intel: Dunia Intelijen Indonesia’, Saipan Training Station merupakan pusat pelatihan para agen mata-mata dan pasukan khusus yang sepaham dengan Amerika. Setelah 17 orang dari TNI AD dikirim ke sana, selanjutnya ada lagi yang dikirim, namun dalam jumlah yang berbeda-beda.

Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, M Sembodo menulis, bantuan senjata dikirimkan melalui Yan Walandouw, bawahan Mayor Jenderal Soeharto, bukan melalui pembantu Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal AH Nasution maupun Ahmad Yani yang kala itu merupakan pimpinan-pimpinan tertinggi di AD. Mengapa demikian?

Selama kerja sama dijalankan, Pater Beek secara intens bergaul dengan para perwira AD untuk mencari pion-pion yang dapat dikendalikan. Ia dengan mudah diterima karena menurut Richard Tanter, Beek merupakan pribadi yang powerfull dan mudah bergaul. Dalam setiap obrolan maupun pertemuan-pertemuan, ia sanggup menghasilkan visi kuat yang mampu menarik perhatian dan kepercayaan orang-orang di sekitarnya. Ia juga memiliki gaya bicara yang lugas dan meyakinkan, sehingga setiap kata yang keluar dari mulutnya bagaikan magnet bagi para lawan bicaranya. Dengan kelebihan seperti ini, mendekati para perwira AD dan mencari informasi tentang mereka bukan lah hal sulit bagi Beek. Maka dalam waktu singkat, tiga orang telah terbidik. Salah satunya Soeharto. Mengapa? Dan siapa yang dua lagi?

(bersambung …)


Tokoh di Balik Kerusakan Indonesia - 6

Minggu, 16 Oktober 2011

Soeharto kala masih muda.
Bagi Pater Beek, Soeharto merupakan orang yang paling tepat untuk dimanfaatkan demi misi-misi dan kepentingannya, karena selain bukan Muslim yang taat, Menurut Sembodo dalam buku 'Pater Beek, Freemason dan CIA', Soeharto juga seorang pembohong, licik, dan korup. Tak jauh berbeda dengan karakter Beek sendiri. Waktu kemudian membuktikan bahwa pilihan Beek menjadikan Soeharto sebagai pion utama, sama sekali tidak salah, karena melalui tangan Soeharto lah misi-misi dan tujuannya tercapai.

Nama Soeharto mulai melejit setelah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam serangan itu Soeharto disebut-sebut sebagai pemimpin serangan. Namun berpuluh-puluh tahun kemudian, ketika Soeharto mengkhianati Latief, sahabatnya, terbongkar kalau ketika serangan terjadi, Soeharto justru sedang lahap menyantap soto babat.

Sebelum menjadi anggota TNI AD, Soeharto menjadi bagian dari tentara kolonial Belanda (KNIL). Setelah Belanda dikalahkan Jepang, Soeharto menjadi bagian dari tentara Jepang (PETA).

Menurut Sembodo, karir Soeharto di TNI lebih banyak karena keberuntungan dibanding karena prestasi. Selepas dari Yogyakarta, Soeharto diangkat menjadi Panglima Divisi Diponegoro, Jawa Tengah, namun melakukan korupsi dan dicopot dari jabatannya. Karir Soeharto nyaris tamat, namun Presiden Soekarno meminta KASAD Jenderal AH Nasution untuk menariknya ke Jakarta dengan terlebih dulu disekolahkan di SSKAD agar mental korupsinya dapat dibersihkan.

Menurut John Helmi Mempi dan Umar Abduh dalam artikel berjudul ‘Orde Baru, Freemason dan Pater Beek 35 Tahun Sejarah Latar Belakang Politik dan Intelijen Indonesia di Bawah Soeharto, Beek mendekati Soeharto melalui istrinya, Siti Hartinah atau yang akrab dipanggil Ibu Tin Soeharto, yang lebih dulu dikatolikkan dan ditahbiskan menjadi anggota Ordo Jesuit. Diduga kuat Beek mengetahui sosok Soeharto dari Liem Sioe Liong yang menurut John maupun Umar Abduh, merupakan salah satu agen Freemason di Indonesia. Soeharto mengenal Liem ketika masih menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Mereka bahkan berhubungan baik.

Dua perwira lain yang didekati Beek adalah Yoga Sugama dan Ali Murtopo. Kedua orang ini direkrut karena dinilai memiliki kriteria sesuai yang ia butuhkan. Apalagi karena kedua orang ini lah yang mendukung Soeharto menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Dukungan diberikan saat Soeharto masih menjabat sebagai Komandan Resimen Yogyakarta.

Jadi, setelah mendapatkan pion utama untuk menyukseskan misinya, Beek mendapatkan pembantu-pembantu pion utamanya itu. Maka lengkap sudah pion-pion yang ia butuhkan. Tinggal mencari pion-pion pendukung lain sebagai kacung-kacung ketiga pion ini.
(bersambung …)

Tokoh di Balik Kerusakan Indonesia - 7

Senin, 17 Oktober 2011

Yoga Sugama (tengah)
Yoga Sugama dilahirkan di Tegal, Jawa Tengah, pada 12 Mei 1925. Kala Perang Dunia II meletus, ia mendapat pendidikan militer di Tokyo, Jepang, hingga perang usai. Ketika perang kalah, ia alih profesi menjadi penerjemah di Markas Jenderal Mac Arthur dan kembali ke Indonesia ketika perang kemerdekaan berkecamuk. Ia bergabung dengan dinas intelijen yang dikenal dengan nama Bagian V.

Setelah Bagian V dibubarkan, ia tetap tinggal di Jawa Tengah. Di tempat itulah ia bertemu Soeharto yang kala itu masih menjabat sebagai Komandan Resimen Yogyakarta, dan menjalin hubungan yang sangat baik. Ketika Mabes Angkatan Darat berniat mengangkat Bambang Supeno menjadi Panglima Divisi Diponegoro, Soeharto yang berambisi menduduki jabatan itu, mengajak Yoga mengadakan rapat rahasia di Kopeng. Hasilnya, dibuat suatu isu rekayasa bahwa jika Mabes mengangkat Bambang, maka beberapa perwira akan membangkang. Sabotase sukses, dan Soeharto mendapatkan jabatan yang seharusnya diemban Bambang. Atas jasanya, Yoga diangkat menjadi perwira intelijen.

Karir Yoga seluruhnya dihabiskan di dunia yang sepak terjangnya selalu dilakukan secara diam-diam dan sulit dilacak itu. Selain di Jepang, ia pernah mendapat pendidikan intelijen di Inggris pada 1951. Kehebatannya dalam dunia yang satu ini, juga sifatnya yang cenderung machiavelis (menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan), sesuai yang dibutuhkan Pater Beek. Apalagi karena untuk dapat menyukseskan misi-misinya, Beek memang harus melakukan gerakan seperti layaknya seorang intel. Meski ia seorang pastur, predikat itu hanya alat untuk mencapai misi-misinya. Itu sebabnya dalam lembaran sejarah Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah maupun di perguruan tinggi-perguruan tinggi, nama ini tidak pernah sekali pun muncul karena ia memang tak pernah memunculkan dirinya secara terang-terang dalam beragam peristiwa di Indonesia, termasuk dalam peristiwa G-30S/PKI maupun peristiwa-peristiwa besar lainnya.

Pula, Orde Baru pun sengaja menyembunyikan sosok ini rapat-rapat agar apa yang sebenarnya terjadi di balik peristiwa-peristiwa itu, tidak terungkap kebenarannya, sehingga sejarah yang dicatatkan dalam buku-buku dan dicekokkan kepada para siswa di sekolah-sekolah maupun kepada para mahasiswa di perguruan tinggi-perguruan tinggi, cenderung tidak akurat, berbau rekayasa dan bahkan ada yang menyesatkan. Contohnya adalah peritiwa meletusnya G-20S/PKI.

Beek mengenal sosok Yoga Sugama dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), salah satu organisasi yang menjadi tunggangannya dalam menyukseskan misi-misinya. Organisasi ini bahkan ikut memiliki peranan penting dalam penggulingan Soekarno.
(bersambung ….)


Tokoh di Balik Kerusakan Indonesia – 8

Selasa, 18 Oktober 2011

Ali Murtopo lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 23 September 1924. Karirnya di militer dimulai ketika bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada 1950-an, ia ditugaskan di Kodam Diponegoro, bergabung dengan pasukan “Banteng Raider”, pasukan khusus untuk menumpas pemberontakan Darul Islam (DI).

Pada 1959, ketika meletus pemberontakan di sejumlah daerah, ia dikirim ke Sumatera dengan jabatan sebagai kepala staf Resimen II, dan Yoga Sugama sebagai komandan resimennya. Begitu pemberontakan PRRI berhasil ditumpas, Ali Murtopo kembali ke Jawa Tengah dan melanjutkan tugasnya di Kodam Dipenogoro. Di sini lah ia bertemu Soeharto.

Ketika Mabes Angkatan Darat ingin mengangkat Bambang Supeno sebagai Panglima Divisi Diponegoro, ia dilibatkan Soeharto dalam rapat rahasia di Kopeng yang akhirnya membuat Bambang gagal menduduki jabatan bergengsi itu. Atas jasanya, Soeharto mengangkatnya menjadi Asisten Teritorial.

Ali Murtopo dan Soeharto berpisah setelah Soeharto dicopot dari jabatan sebagai Panglima Divisi Diponegoro akibat korupsi, dan ‘disekolahkan’ Presiden Seokarno di SSKAD. Mereka berkumpul lagi setelah Ali ditarik Soeharto ke Jakarta dan diberi jabatan sebagai Deputi I KSAD. Ketika Jenderal AH Nasution mengangkat Soeharto menjadi Panglima Cadangan Umum Angkatan Darat (CADUAD) dengan pangkat brigadir jenderal, Soeharto mengangkat Ali menjadi asisten kepala staf CADUAD.

Beek mengenal sosok Ali Mutopo juga dari PMKRI. Di mata Beek, Ali adalah sosok yang ambisius dan machiavelis, sosok yang dibutuhkannya. Apalagi karena Ali juga bukan seorang Muslim yang taat, meski berasal dari keluarga santri. Seperti Soeharto, Ali dikenal sebagai penganut ajaran kejawen atau Islam abangan.

Mengenai hubungan Ali Murtopo dengan Beek, Dr. George J. Aditjondro memberikan penjelasan begini;
Banyak yang tak percaya kalau Ali Murtopo (yang berasal dari keluarga santri di pesisir Pulau Jawa) bias menjadi orang yang sangat anti Islam dan berjasa besar dalam menindas orang Islam di awal Orde Baru. Yang orang cenderung lupa adalah, bahwa Ali Murtopo punya rencana berkuasa. Oleh karena itu, semua yang merintanginya untuk mencapai tujuannya haruslah ditebas habis. Musuhnya bukan cuma Islam, tapi juga perwira-perwira ABRI yang dianggapnya sebagai perintang, seperti HR Dharsono, Kemal Idris, Sarwo Edhi Wibowo, dan Soemitro (Pangkopkamtib). Almarhum HR Dharsono (Pak Ton) difitnahnya berkonspirasi dengan orang-orang PSI untuk menciptakan system politik baru untuk menyingkirkan Soeharto. Kemal Idris dituduhnya berambisi jadi presiden. Sedang Sarwo Edhi difitnahnya merencanakan usaha menajibkan (menendang ke atas) Soeharto”.

Maka jelas apa yang membuat Beek merasa cocok merekrut orang ini. Di kemudian hari terbukti bahwa Ali Murtopo merupakan ‘abdi’ Beek yang setia, yang patuh pada apapun perintah Beek untuk menghancurkan Islam yang merupakan agama Ali Murtopo sendiri.
(bersambung ….)




Tokoh di Balik Kerusakan Indonesia - 9

Rabu, 19 Oktober 2011

Untuk mencapai tujuan yang besar, maka dibutuhkan modal dan sarana yang besar pula. Pater Beek tentu menyadari hal ini, sehingga menjadikan Soeharto, Yoga Sugama dan Ali Murtopo saja tidak cukup, maka harus ada pion-pion yang menjadi pendukung ketiga pilar utamanya ini agar tujuan tercapai.

Sebelum dan selama mendekati Soeharto, Yoga Sugama, dan Ali Murtopo, Beek juga mendekati orang-orang di luar institusi militer. Di antaranya adalah mahasiswa yang dalam beberapa peristiwa, terbukti dapat dijadikan motor paling efektif untuk melancarkan sebuah gerakan dan membuat perubahan.

Bagi Beek, merekrut mahasiswa Islam untuk menjadi ‘anggota pasukannya’ tentu lah tidak mudah. Maka dengan didukung agen-agen CIA dan Freemason yang lain, ia menggarap mahasiswa Katolik. Maka berdirilah PMKRI pada 25 Mei 1947.

Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo menulis, berdirinya PMKRI bermula dari hasil fusi Federasi Katholieke Studenten Vereniging (KSV) dan Perserikatan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Yogyakarta. Kala itu Federasi PSV memiliki cabang di beberapa kota di Indonesia, yakni KSC St. Bellarminus Batavia yang didirikan di Jakarta pada 10 November 1928, KSV St. Thomas Aquinas Bandung yang didirikan pada 14 Desember 1947, dan KSV St. Lucas Surabaya yang didirikan pada 12 Desember 1948. Federasi KSV yang didirikan pada 1949 diketuai Gan Keng Soei (KS Gani) dan Ouw Jong Peng Koen (PK Jong). Sedang PMKRI Yogyakarta yang didirikan pada 25 Mei 1947 diketuai pertama kali oleh St. Munadjat Danusaputro.

Di antara tokoh-tokoh PMKRI yang menonjol di era Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah dua bersaudara Liem Bian Koen (Sofian Wanandi) dan Liem Bian Kie (Jusuf Wanandi).

Menurut Mujiburrahman dalam desertasi bertajuk ‘Feeling Threatened Muslim-Cristian Releations in Indonesia’s New Orde’, kedua bersaudara ini merupakan kader utama Beek di PMKRI. Kedua orang ini merupakan motor gerakan mahasiswa untuk menggulingkan Soekarno dan membasmi PKI. Setelah kedua ‘musuh’ tersebut dihancurkan, mereka kemudian mengorganisasikan penindasan terhadap Islam.

Selain kedua bersaudara tersebut, dalam desertasinya Mujiburrahman juga menyebut kader Beek yang lain, yakni Cosmas Batubara dan Harry Tjan Silalahi. Di era Orde Baru, Cosmas menduduki berbagai jabatan penting, termasuk menteri. Ia kelahiran Simalungun 19 September 1938 lulusan Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan FISIP UI yang aktif di PMKRI sejak masih kuliah. Ia bahkan sempat menjadi ketua umum organisasi itu.

Harry Tjan Silalahi yang lahir di Jogjakarta pada 11 Februari 1934 pernah menjabat sebagai sekjen Partai Katolik. Ia aktif berorganisasi sejak masih SMA, dimana kala itu ia menjadi anggota Chung Lien Hui, organisasi keturunan Tionghoa. Di bawah kepemimpinannya, organisasi itu berganti nama menjadi Persatuan Pelajar Sekolah Menengah Indonesia (PPSMI). Ia juga aktif di Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia.

Setelah lulus SMA, Harry pindah ke Jakarta dan kuliah di Fakultas Hukum UI. Ia lulus pada 1962. Selama kuliah, ia aktif di perkumpulan Sin Ming Hui dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan terpilih menjadi sekjen. Dari sini lah ia dikenal Pater Beek dan direkrut.

Tokoh di Balik Kerusakan Indonesia - 10

Kamis, 20 Oktober 2011

Selain menggarap mahasiswa di dalam negeri, melalui Ali Moertopo, Beek juga menggarap mahasiswa Indonesia yang tengah menuntut ilmu di luar negeri. Mahasiswa-mahasiswa ini kelak akan menjadi bagian dari CSIS (Center for Strategic and International Studies) yang menjadi think thank Orde Baru dalam setiap kebijakannya. Tentang pembangunan jaringan ini diungkap sendiri oleh Harry Tjan Silalahi dalam tulisan berjudul ‘Centre Lahir dari Tantangan dan Jaman’. Begini petikannya;

Bapak Ali Moertopo almarhum mendorong para aktivis di dalam negeri untuk mengadakan kontak kerjasama dengan para aktivis mahasiswa di luar negeri tersebut. Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Eropa Barat, seperti antara lain di Perancis, yang waktu itu dipimpin Bapak Daoed Joesoef, PPI Belgia yang diketuai Saudara Surjanto Puspowardojo, PPI Swiss yang dipimpin oleh Saudara Biantoro Wanandi, demikian pula PPI Jerman Barat yang dipimpin oleh Saudara Hadi Susanto, telah mengambil sikap seperti yang ditunjukkan para mahasiswa dan sarjana yang ada di Indonesia”.

Menurut M Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, para mahasiswa dan pemuda-pemuda Katolik tersebut kemudian diberi pelatihan oleh Pater Beek yang dikenal dengan sebutan Kaderisasi Sebulan (Kasbul), untuk dijadikan ‘laskar Kristus’ yang menjalankan kristenisasi di Indonesia secara besar-besaran. Dalam fikiran mereka ditanamkan doktrin bahwa Islam adalah musuh, Islam adalah agama pedang, Islam adalah perampok Yerusalem, Islam adalah perebut Konstantinopel, dan Islam adalah agama anti-Kristus. Tuduhan-tuduhan yang sungguh jauh dari kebenaran.

Tentang apa saja pelajaran yang diberikan kepada para mahasiswa dan pemuda itu, Richard Tanter menjelaskannya sebagai berikut;

(Pater) Beek menyelenggarakan kursus-kursus satu bulanan secara regular bagi mahasiswa, aktivis, maupun kaum muda pedesaan. Dengan menghadirkan pastur maupun rohaniawan, sebagai bagian dari program kaderisasi; pelatihan keterampilan kepemimpinan, kemampuan berbicara di hadapan public, keterampilan menulis, ‘dinamika kelompok’, serta analisis social”.

Sedang Cosmos Batubara menjelaskan begini; “Beliau (Pater Beek) hanya memberikan training-training untuk menghadapi komunis. Kita didoktrin agar kuat melawan Marxisme-Leninisme. Juga diajarkan bagaimana kelompok komunis itu beraksi, dan bagaimana menghadapi mereka. Itu kami pelajari. Kalau tidak, bagaimana kami bias melawan CGMI”.

Apa yang dikatakan Cosmas ini membenarkan adanya Kasbul, namun membantah menyerang Islam. Namun Richard Tanter mengungkapkan begini; “Bagi (Pater) Beek, ada dua musuh besar, baik bagi Indonesia maupun gereja, adalah komunisme dan Islam, dimana ia melihat keduanya memiliki banyak keserupaan; sama-sama memiliki kualitas ancaman”.

Jadi, jelas, Beek memang menggunakan ‘pasukannya’ untuk terlebih dahulu menghancurkan komunis di Indonesia, dan setelah itu Islam. Tantang hal ini, Tanter mengatakan begini; “Pasca 1965, posisi militan yang anti-Islam digaungkan dengan arus dominan yang berlaku dalam kepemimpinan Angkatan Darat ketika itu. Indonesia yang diidealkan Beek adalah Indonesia yang nasionalistik, non-Islamik, dengan golongan Kristen mendapatkan tempat yang istimewa”.

Dengan metode menggunakan mahasiswa sebagai ‘pasukan tempur’, Pater Beek sukses menghancurkan dua musuh sekaligus, komunis dan Islam, dan bahkan waktu kemudian membuktikan bahwa setelah itu kristenisasi berjalan dengan mulus di Indonesia. Tentu saja, setelah Soeharto menjadi presiden.
(bersambung ….)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar