Blogroll

Sabtu, 17 Maret 2012

Orde Baru, Freemason dan Pater Beek


35 Tahun Sejarah Latar Belakang Politik dan Intelejen Indonesia di bawah Soeharto (Orde Baru)
John Helmi Mempi - Umar Abduh

BANGSA Indonesia memiliki catatan sejarah perjalanan budaya dan peradaban politik kemanusiaan yang gelap dan kelabu. Setelah republik berada di bawah rezim militeris Orde Baru Soeharto, yang dikenal dengan kebijakan politik destruktif atau program dekonstruksi terhadap masyarakat dan bangsanya sendiri selama kurun waktu tiga dasawarsa.

Seperti diketahui, sejarah perjalanan politik dan kekuasaan rezim Orde Baru menggelar sistem kekuasaan tirani (diktator-otoriter) menerapkan rekayasa dan kekerasan yang kejam atas bangsa ini. Dimulai sejak awal peralihan kekuasaan republik ini terjebak dalam tiga skenario besar yang secara tidak langsung merupakan program berorientasi pada agenda politik Barat. Disebut demikian karena situasi dan kondisi sistem politik, sosial-ekonomi Indonesia saat itu boleh dikata sedang luluh-lantak, berantakan akibat tekanan Barat. Setelah berhasil menggulingkan Soekarno, Soeharto sukses memanfaatkan peluang dan kesempatan menapak untuk membangun kekuatan dan kekuasaan rezim militeristik.

Rezim militer Orde Baru menggelar kebijakan politik yang dikondisikan bagi keperluan masa depan politik, ambisi kekuasaan sekaligus menyesuaikan posisi Indonesia sebagai agen strategis kepentingan Barat (Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya). Sangat disadari penyesuaian politik kepentingan dan kebijakan strategis tersebut dilatari pengaruh politik-ideologi global, yaitu kekuatan Barat yang sekuler pro kapitalis. Penyesuaian terhadap kepentingan Barat tersebut dilakukan Orde Baru dengan tujuan pragmatis, demi berlangsungnya kekuasaan sekaligus memperoleh bantuan militer, pangan serta utang yang berlanjut hingga sekarang. Program penyesuaian tersebut adalah membangun ideologi pro1 dan secara tidak langsung menjadi kapitalistis dan anti Komunis sekaligus anti Islam melalui nasionalisme sempit ideologi Pancasila seraya merintis program destruksi-dekonstruksi terhadap peta kekuatan politik yang cenderung berkiblat kepada Demokrasi dan Islam.

Berdasarkan kenyataan sejarah budaya dan peradaban politik 35 tahun di bawah rezim Orde baru mengindikasikan adanya grand schenario yang dijalankan rezim Soeharto sejak tampil ke permukaan antara lain:

1. Menggelar politik rekayasa intelejen dalam rangka stigma (pembusukan, pemojokan sekaligus mendistorsi) terhadap peta kekuatan Islam, antara lain menghidupkan gerakan neo NII melalui Ali Murtopo. Dimulai sejak tahun 1966 2 era hegemoni militer yang loyal dan berideologi militer Soehartois - Ali Murtopois terus belanjut dan gentanyangan hingga sekarang. Seluruh rekayasa intelejen Negara rezim Orde Baru dilakukan dalam rangka menjalankan pembusukan terhadap peta kekuatan gerakan Islam melalui provokasi dan adu domba, baik dalam partai atau organisasi maupun antar golongan, antar agama sekaligus menjebak masyarakat muslim masuk dalam jaringan aksi kekerasan teror, ekstremisme, radikalisme dan makar. 3

2. Menggelar kebijakan politik buka pintu bagi masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis dan sekuler (di bawah kordinasi jaringan Freemasonry, Jessuit dan sebagainya) yang oleh kalangan Islam dianggap sebagai bagian dari program Kristenisasi di Asia Tenggara. Kecurigaan terhadap program ‘Kristenisasi‘ itu timbul akibat dominasi para politisi dan para perwira berlatar belakang Kristen, terutama kalangan Katholik, yang menempati posisi strategis dalam jajaran birokrasi Golkar sebagai partai penguasa, dan jajaran militer Indonesia, serta dominannya think tank Golkar, CSIS (Centre for Strategic and International Studies) sebagai ‘pemerintah bayangan’ dan merupakan kepanjangan tangan intelejen CIA, MI-6, Mossad dan Belanda maupun untuk kepentingan jaringan Freemasonry, Katholik ordo Jessuit dan sebagainya yang berlangsung selama dua dasawarsa pertama pada era kepresidenan Soeharto dan terus berlanjut hingga kini. 4

3. Menggelar budaya politik totalitarian, melalui konsep Dwifungsi ABRI dan budaya demokrasi Pancasila-nasionalisme sempit, ekstrim dan otoriter –yang dikemas dalam konsep asas tunggal Pancasila / UUD’45 sebagai satu-satunya konsep ideologi sebagai sumber hukum dan tata nilai bangsa Indonesia. Sebuah konsep dan obsesi penyelenggaraan sistem nasionalisme dalam bentuk Negara totaliter yang sekaligus dinyatakan demokratis dan humaniter. 5

Dengan ketiga pilar inilah sinergi kekuasaan sipil, militer dan intelejen berhasil digelar Orde baru menjadi sebuah kekuatan dan kekuasaan yang berwujud sistem dan kelembagaan yang luar biasa, kuat dan stabil. Konsep Dwifungsi ABRI selanjutnya diisi dengan nafas militerisasi build-in melalui dua wajah yaitu Dwifungi teritorial dan struktural. Dwifungsi teritorial terwujud dalam bentuk struktur birokrasi sipil dan militer yang hirarkis dan pararel dari pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota, kecamatan sampai kelurahan/desa. Mendagri adalah pengendali hirarki birokrasi sipil yang bertanggungjawab kepada presiden. Pararel dengan hirarki birokrasi sipil adalah hirarki militer dari Dephankam/Mabes TNI, Kodam, Korem, Kodim, Koramil dan Babinsa. Menhankam dan Panglima TNI adalah pengendali utama hierarkhi militer yang bertanggung jawab hanya kepada presiden.

Dwifungi skruktural yang hadir dalam bentuk kekaryaan TNI/Polri atau keterlibatan mereka dalam jabatan sipil, sehingga hampir semua jabatan sipil yang strategis dimasuki militer, baik di wilayah eksekutif (dari gubernur sampai dengan lurah/ kepala desa) maupun legislatif (MPR, DPR sampai DPRD II). Dalam birokrasi sipil terdapat pula Ditjen Depdagri, Ditsospol dan Kantor Sospol sebagai aparat intelejen sipil dan aparat ideologis untuk melakukan indoktrinasi kepada masyarakat dan regulasi terhadap aktivitas politik dan sosial. Militer selalu nimbrung dalam pengendalian pemerintahan sampai di tingkat kabupaten dan kecamatan. Mereka tampil melalui forum Muspida yang terdiri dari Bupati, Dandim, Kapolres, Kajari, dan Kepala Pengadilan, di tingkat kecamatan melalui forum Muspika yang memberi ruang bagi Danramil dan Kapolsek untuk ikut mengontrol pemerintah dan rakyat.

Dwifungsi ABRI tidak hanya merambah bidang politik dan kemasyarakatan, tapi sampai bidang ekonomi. Salah satu bentuk konkretnya berupa "premanisme". Dwifungsi ABRI menjadi ancaman dan penghalang serius bagi demokratisasi keamanan dan bahkan stabilitas sosial-politik. Analisis ini bertolak belakang dengan ideologisasi Dwifungsi ABRI yang mengandaikan ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator. Meski pada masa Orde Baru stabilitas nasional relatif mapan, tapi bersifat semu karena lebih kuatnya budaya rekayasa politik dan intelejen diikuti dengan matinya demokrasi, merajalelanya kekerasan, dan kuatnya supremasi militer, sementara elemen-elemen sipil dalam posisi lemah.

Dengan program inilah antara kebijakan politik pemerintah, intelejen dan militer maupun pelaksana politik di lapangan menjadi tidak bisa dibedakan. Apalagi setelah program tersebut diterapkan sampai ke tingkat Koramil-Babinsa (Badan Pembinaan Desa) dan Polsek-BINMAS (tingkat Kecamatan). Di bidang keamanan, kehadiran militer terlihat dalam realitas melembaganya intervensi Sistem Hankamrata. Semua elemen masyarakat lokal dipaksa terlibat dalam pemeliharaan keamanan dan pertahanan di wilayah masing-masing di bawah "pembinaan" polisi dan tentara. Pembentukan Babinsa, Binkamtibmas, Hansip, Kamra maupun Siskamling merupakan perwujudan dari sistem Hankamrata. Intervensi Hankamrata telah membentuk pola hubungan antara masyarakat dan "militer/polisi” dalam mengelola masalah keamanan dan meciptakan pola ketergantungan masyarakat terhadap militer/polisi di bidang keamanan dan politik serta ekonomi.

Di sini tentara dan polisi menjadi terlibat dalam penanganan masalah keamanan desa. Dalam kesadaran semu warga masyarakat, tentara dan poIisi tidak berbeda jenis profesinya, tetapi hanya berbeda tingkat semata, Polisi menangani masalah keamanan yang bersifat mikro atau masalah kriminal kecil, sedangkan tentara menangani keamanan yang bersifat makro, seperti keributan massa dan yang bersifat instabilitas sosial-poIitik di desa. Polsek melakukan pembinaan siskamling sekaligus meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan keamanan warga. Koramil dan Babinsa berkutat dengan kewaspadaan terhadap kelompok yang membahayakan negara seperti bekas anggota DI-TII atau Muslim Fundamentalis (ektrem kanan) dan PKI (ektrem kiri). Pembinaan militer/tentara terhadap warga desa dalam hal keamanan berdampak melemahnya kesadaran hak dan tanggungjawab mereka dalam menangani masalah yang sebetulnya dapat diselesaikan oleh mereka sendiri.

Strategi Campur Tangan Politik Freemasonry dan Gerakan Katholik Ordo Jessuit Dalam Politik Orde Baru
Konspirasi kekuatan politik dan ideologis antara rezim Suharto dengan kekuatan Barat (Amerika Serikat, Inggris dan Israel) antara lain ditempuh dengan cara menggandeng dan mengakomodir masuknya organisasi Zionis FREEMASONRY dengan membangun eksistensi jaringan, peran, keterlibatan dalam pembangunan Indonesia – orde baru.

Zionis FREEMASONRY sendiri, sejak awal kemerdekaan bangsa Indonesia dan berdirinya NKRI tahun 1945 mampu menempatkan posisinya secara taktis strategis di hadapan kekuatan Islam yang mayoritas. Melalui semangat nasionalisme yang dimiliki Sukarno, kekuatan dan agen FREEMASON Indonesia mampu memaksakan diplomasi politiknya terhadap tokoh-tokoh (politisi) Islam kepada satu keadaan, yaitu memberikan toleransi dan kompromi terhadap tuntutan FREEMASON untuk menerima konsep NKRI.

Selanjutnya pengaruh nilai filosofis FREEMASONRY terhadap NKRI, Dasar Negara, Konstitusi Negara dan lambang Negara maupun Bendera Negara yang menggelar semangat aliran “Humanisme Sekuler” yang secara strategis, gencar dan berkelanjutan ditancapkan kedalam pola pikir dan pemahaman di lingkungan politisi, birokrat, intelejen dan militer akhirnya berhasil mengungguli dan menggeser semangat “Spiritualisme” sebagaimana yang dimiliki politisi Islam.

Melalui ajang dan momentum kerjasama dalam hal pembinaan intelejen dan kemiliteran dengan CIA (Amerika Serikat) MI-6 (Inggris) MOSSAD (Israel) dan Belanda rekrutmen jaringan agen FREEMASONRY terhadap tokoh dan kader intelejen / militer Indonesia berjalan dan mengakar.

Tindak lanjut dari pergeseran falsafah, paham dan makna Revolusi, Kemerdekaan, NKRI, Dasar Negara, Konstitusi Negara dan lambang Negara maupun Bendera Negara dari Islam ke Sekuler di zaman orde lama Sukarno, dan pengaruh kekuatan FREEMASONRY semakin memperkuat dan mempertegas, baik dalam hal kepentingan maupun eksistensi jaringannya.

Di era orde baru Suharto, FREEMASONRY turut berhasil mengendalikan jalannya kekuasaan rezim Suharto melalui kader-kader FREEMASONRY yang berjubah ordo Jesuit, di bawah Frater Beek. Menurut penuturan beberapa mantan intel senior baik yang berlatar sipil maupun Angkatan Darat dan mantan kader Beek, Suharto sendiri diyakini sejak masih menjadi perwira menengah sudah menjadi anggota FREEMASONRY jalur Belanda Frater Beek SJ, 6 sehubungan dengan posisi sang istri, Tien Suhartinah yang lebih dahulu direkrut dan menjadi ummat Katholik ordo Jessuit.

Sejak berpangkat pamen, Suharto telah menjalin hubungan dengan Liem Sioe Liong dan nama-nama lain yang akhirnya berperan menjadi agen FREEMASON yang berjubah Lions Club dan Rotary Club.

Ketika krisis politik di Indonesia di bawah Sukarno memanas, baik akibat komunisme maupun provokasi Inggris terhadap Malaysia, kader-kader FREEMASON yang ada di militer dan dinas intelejen Indonesia seperti Soeharto, Yoga Sugama, Ali Murtopo, Soedjono Humardani, Pitut Suharto, Benny Murdani dan Hendropriyono justru menjalankan agenda politik CIA.

Kegagalan missi politik, militer dan intelejen Indonesia di Kalimantan Barat (PGRS/Paraku) bentukan BPI di bawah Subandrio dalam rangka berkonfrontasi dengan Malaysia justru merupakan kemenangan telak para jenderal FREEMASON Indonesia. Giliran selanjutnya, atas bantuan dan petunjuk CIA, para agen FREEMASON Indonesia merancang skenario bagi penggulingan Sukarno sekaligus memberangus tokoh-tokoh dan organisasi komunis di Indonesia.

Setelah berhasil menjalankan skenario pemberontakan PKI, dan para jenderal kader FREEMASON tersebut secara leluasa merancang berbagai program konspirasi dengan agen FREEMASON yang sudah disiapkan sejak lama di Indonesia seperti melalui organisasi gereja Katholik seperti ordo Jessuit, ordo Carmel dan sebagainya, demikian halnya dengan organisasi gereja Protestan seperti Bethani, Al-Shadday dan Nehemia.

Dari sinilah konspirasi kekuatan politik dan ideologis Katholik Jessuit di bawah Frater Jopie Beek SJ dengan militer di masa Orde Baru di bawah Soeharto, berhasil membangun dikotomi, semangat kebencian dan permusuhan yang mendalam antara kekuatan ideologi, massa dan komunitas politik Islam dengan Kristen (Katholik dan ordo-ordo yang dimilikinya, Protestan dan ordo-ordo yang dimilikinya dan lain sebagainya).

Posisi dan sikap kekuatan politik ideologi Katholik ordo Jessuit yang dimotori Frater Jopie Beek SJ yang telah menempatkan diri sebagai pihak yang anti (menentang dan memusuhi) kekuatan politik ideologi Islam, dimanfaatkan dengan baik oleh pihak militer Orde Baru sebagai ajang latihan sekaligus praktek operasi intelejen. Modal konspirasi dengan kalangan Katholik Jesuit selanjutnya diimbangi dengan gelar konspirasi dengan kekuatan ideologi Islam gerakan politik berlatar konstitusional (masyarakat partai Masyumi) dan yang berlatar politik inkonstitusional dan konfrontatif (masyarakat gerakan fundamentalis Negara Islam Indonesia dan yang sejenis).

Konspirasi terhadap dua kekuatan ideologi dan politik keagamaan yang bertentangan tersebut membawa implikasi terhadap prinsip baku bagi kinerja dan operasi intelejen Indonesia. Frater Jopie Beek pun ternyata sepakat terhadap kiat dan modus provokasi terhadap bahaya Islam bagi kaum minoritas Katholik, Protestan dan sebagainya, demikian pula sebaliknya provokasi dan agitasi pihak militer dan intelejen terhadap kalangan Islam.

Dalam perkembangannya, militer dan operasi intelejen memberikan proteksi serta kemudahan terhadap program Kristenisasi dan berbagai hal yang dapat menyulut rasa benci dan kecewa kalangan Muslim. Terhadap kalangan muslim, militer dan intelejen membeberkan semangat anti Islam dari kalangan Katholik Jesuit yang sangat pro dan mampu mengendalikan militer dan Orde Baru dengan segala rencananya, baik jangka pendek dan jangka panjang. Bahan permainan inilah yang akhirnya menjadi trade mark gaya penetrasi dan infiltrasi intelejen terhadap berbagai gerakan yang hendak dijaring, dikendalikan dan kelak pasti dihancurkannya.

Frater Jopie Beek SJ Menurut George Junus Aditjondro (Mantan kader Beek, dalam organisasi Jessuit Indonesia - Kasebul)

Pada awal Orde Baru, komunitas Katholik di Indonesia sangat berada di bawah pengaruh pemikiran dan sikap politik Pater J. Beek, seorang Jesuit berkebangsaan Belanda yang sangat anti Komunis dan anti Islam, sudah memimpin Kursus Kader Katholik (KKK) sejak sebelum keberhasilan kudeta militer di bawah pimpinan Soeharto tahun 1965-1966.

Beek juga berperan dalam menaikkan Soeharto ke kursi kepresidenan tahun 1968 dengan salah satu sebab adalah istri Soeharto (Tien) beragama Katholik. Sejak kemunculan Soeharto, Beek berhasil mendekatkan diri dengan sang jendral melalui dua orang Asisten Pribadi Soeharto, yakni Jendral Ali Murtopo dan Jendral Soedjono Hoemardani, masing-masing didampingi oleh Yusuf dan Sofyan Wanandi, dua orang kader Pater Beek.

Kedekatan Beek dengan tentara didasarkan pada strategi ‘pilihlah yang terbaik di antara yang jelek’ (minus malum) yang dianutnya, disebarkannya di kalangan kader-kader organisasi-organisasi massa Katholik di Indonesia. Setelah gerakan Komunis di Indonesia dihancurkan tentara, berdasarkan catatan sejarah, Beek melihat ada dua ancaman yang dihadapi kaum Katholik di Indonesia. Kedua ancaman itu sama-sama berwarna hijau, yaitu Islam dan militer. Namun Beek yakin, ancaman militer bisa dinilai lebih kecil (minus malum) dibandingkan dengan ancaman gerakan politik Islam, karena PKI dalam sejarahnya ternyata dibentuk oleh anggota Syarikat Islam.

Berdasarkan pikiran itulah Beek merangkul tentara melalui program KASEBUL (Kaderisasi Sebulan/Kawan Sebulan) dan program Teologi Pembebasan bagi kader-kader Katholik di daerah Jogjakarta, Salatiga, Semarang dan Jakarta Timur. Pembentukan Golkar dan ormas-ormas yang berafiliasi ke Golkar, selama dasawarsa pertama Orde Baru didominasi kader-kader didikan KKK dan Kasebul, yang diarahkan oleh CSIS (Centre for Strategic and International Studies).

Gereja Katholik menerapkan strategi “satu mata uang dengan dua sisi yang berbeda”. Di satu kelompok Jesuit, Beek menerapkan politik anti komunis dan anti Islam, di kelompok yang lain Beek menerapkan strategi merangkul kelompok kiri dan bersahabat dengan kelompok Islam. Umumnya kelompok ini berasal dari ordo PROJO yaitu ordo lokal yang lahir dan berkembang di wilayah pulau Jawa.

Kader-Kader Beek pada tahun 70-an banyak direkrut sebagai anggota OPSUS. Kader-kader Beek yang masih aktif hingga saat ini adalah Frans Magnis Soeseno, Harry Tjan Silalahi, Sofyan Wanandi, Julius Darmaatmadja, dll. Beek terlihat terakhir oleh Kader PRD pada saat latihan militer bersama dengan kelompok Moro dan NPA di Philipina pada tahun 1987.

Di Philipina Beek terlihat aktif membantu mengkosolidasikan kelompok-kelompok Komunis dan Muslim untuk melawan Rezim Marcos. Proses yang dilakukan Beek persis sama dengan proses yang terjadi di Amerika Selatan, di mana gerilyawan-gerilyawan Sandinista dan kelompok kiri lainnya dibentuk dan dibantu pihak Gereja Katholik ordo Jesuit, untuk melawan pemerintah. Organisasi Operasi Jesuit di Amerika Selatan dikenal dengan sebutan organisasi “BLACK POPE”.

Sebenarnya Jesuit bukanlah sebuah Ordo tetapi merupakan sayap militer dari Vatikan terlihat dan dari catatan sejarah sejarah pembentukan Orde Jesuit. Metode KASEBUL adalah metode pelatihan militer, kader-kader tesebut dilatih dan di bawah pengawasan pihak Militer.

Mentor-mentor KASEBUL berasal dari Militer yang beragama Katholik. Menurut pengakuan beberapa anggota KASEBUL Angkatan tahun 90-an, pembukaan kaderisasi dilakukan oleh Benny Moerdani, yang dikenal dengan sebutan “Omm Seram” oleh kalangan Katholik. Beberapa Jendral yang menjadi Mentor KASEBUL di antaranya: Brigjen (Purn) Ingnatius Soeprapto, Mayjen (Purn) Ignatius Pranowo dll.

Strategi untuk memusuhi Islam politik dan bermesraan dengan militer itu sejak awal sebetulnya sudah ditentang banyak rohaniwan dan cendekiawan Katolik, seperti Chris Siner Key Timu yang selanjutnya masuk dalam kelompok Petisi 50, Romo Mangunwijaya yang sangat akrab dengan almarhum Kiai Hamam dari Pesantren Pabelan, Muntilan, dan Jesuit-Jesuit lain, seperti Romo Danuwinata dan Pater Dahler, yang kemudian menyelenggarakan kursus-kursus politik bagi kader-kader gerakan mahasiswa Katholik yang lebih terbuka dan bersikap kritis terhadap militer dan para pemilik modal besar.

Banyak kader dan sahabat Romo Mangun, Romo Danuwinata, dan Pater Dahler terjun aktif dalam aksi-aksi pro-demokrasi di Indonesia sejak dini sampai saat penumbangan rezim Soeharto, mulai dari gerakan anti-Taman Mini tahun 1971 sampai dengan gerakan mahasiswa menentang SI MPR November 1998, di mana sejumlah mahasiswa Unika Atma Jaya gugur. Namun sampai saat Soeharto menyadari bahwa kedekatannya dengan kelompok ‘Katolik kanan’ bahwa strategi itu menjadi duri dalam daging dalam hubungannya dengan gerakan Islam politik di Indonesia, antara Soeharto dan kelompok di seputar CSIS terjadi simbiose mutualistis yang sangat akrab.

Para jendral dan politisi yang termasuk pendukung CSIS akhirnya mudah mendapatkan promosi, para pengusaha yang rajin mendukung kebutuhan keuangan CSIS mudah mendapatkan konsesi-konsesi bisnis, sementara tokoh-tokoh Katolik penentang Soeharto malah dipecat dari lembaga tempat mereka bekerja akibat tekanan aparat negara.

Chris Siner Key Timu, misalnya, dipecat dari kedudukannya sebagai Pembantu Rektor III Unika Atma Jaya Jakarta. Sementara Romo Danuwinata diberhentikan dari Sekretariat MAWI, yang sekarang telah berubah menjadi Kantor Wali gereja Indonesia (KWI), setelah ia aktif mengembangkan pemikiran-pemikiran pedagogi dan teologi pembebasan dari Amerika Latin di Indonesia.

Namun semenjak Soeharto mulai berbulan madu dengan tokoh-tokoh cendekiawan Islam yang terhimpun dalam ICMI, dan menunaikan ibadah Haji, melalui aparat intelejen militer Soeharto mulai memusuhi kalangan CSIS, dan menuduh kedua bersaudara Wanandi, Jusuf dan Sofyan, berkolusi dengan PRD dalam kasus ledakan bom di Tanah Tinggi, Jakarta. 7

Dalam hubungannya dengan dampak moral, politik dan piskologis akibat doktrin Beek terhadap kalangan Katholik yang berkonspirasi dengan militer-Ali Murtopo, Aditjondro juga mengingatkan tentang korelasi kemungkinan tetap berlanjutnya kebijakan militer yang masih menjalankan politik intelejen untuk menciptakan semangat dan mental fundamentalisme, zona dan akar konflik etnis maupun keagamaan dalam masyarakat bangsa Indonesia, George Junus Aditjondro menjelaskan:

Pater Beek memang sudah lama meninggal dunia, dan program kaderisasinya sudah lama mati karena ditinggalkan atau disaingi oleh kalangan Jesuit yang non konservatif maupun oleh tokoh-tokoh awam Katholik lainnya di luar CSIS. Dengan meninggalnya Ali Murtopo, dukungan terhadap CSIS juga semakin memudar, apalagi ketika basis dukungan terhadap Golkar bergeser dari kalangan Katholik ke kalangan HMI, berkat orang-orang seperti Abdul Gafur dan Akbar Tanjung. Walau sejauh ini tidak ditemukan bukti mengenai latihan kemiliteran namun praktek-praktek kaderisasi eksklusif semacam ini, dan prasangka-prasangka penuh bias yang ditularkannya adalah amat buruk, dan bertentangan dengan program penguatan masyarakat sipil. Ini adalah praktek-praktek yang tidak boleh diulangi lagi pada masa yang akan datang. Tidak mengherankan pula jika kursus-kursus kaderisasi yang eksklusif semacam ini tidak mungkin akan digerebek oleh aparatus Negara di era kepemimpinan Jendral Murdani misalnya, karena diselenggarakan dengan sepengetahuan mereka. Menurut data lapangan hal ini dilakukan juga untuk konflik di Poso, Maluku dan rencana mendatang di Pontianak.

Sejumlah kalangan mengatakan, kedekatan Soeharto dengan sejumlah jenderal yang beragama Kristen, khususnya Maraden Panggabean dan Benny Murdani, bukanlah indikator bahwa jenderal-jenderal itu merupakan pimpinan, otak, atau pendukung suatu ‘gerakan fundamentalis Kristen yang ingin mendirikan negara Kristen Raya’. Tapi itu sekedar pilihan politis sang diktator selama dalam dua dasawarsa pertama kekuasaannya, ketika ia menganggap bahwa para perwira dan birokrat yang beragama Kristen merupakan alat pendukung kekuasaannya yang paling setia. Begitu juga anggapan sang diktator terhadap umat yang tergabung dalam gereja-gereja Kristen –baik Katolik maupun Protestan– di Indonesia (sampai sejumlah pimpinan gereja mulai membangkang, seperti kasus HKBP yang sudah disinggung di depan, didahului oleh para pimpinan gereja di Papua Barat dan Timor Lorosae).

Berbagai prasangka bias, bahkan cenderung sesat-pikir mungkin juga dipengaruhi oleh pengamatan yang keliru tentang besarnya peranan gereja dalam perjuangan menegakkan hak-hak asasi manusia di Timor Lorosae dan Papua Barat, apalagi dengan kemerdekaan politik (kemerdekaan ekonomi belum) yang telah dicapai di Tilos. Ini sama sekali bukan indikasi bahwa Tilos telah menjadi “negara Kristen”, khususnya lagi, “negara Katholik”. Anggapan demikian malah menafikan peranan para pemuda Tilos keturunan Arab yang beragama Islam dalam perjuangan kemerdekaan itu, mengikuti jejak Mar’ie Alkatiri, Sekjen FRETILIN yang kini menjadi Perdana Menteri Republik Demokratik Timor Leste (RDTL).

Peranan Gereja Katolik yang cukup menonjol dalam perjuangan kemerdekaan Tilos, terutama dalam dasawarsa terakhir, selain karena figur Uskup Belo, juga didorong oleh faktor politik bahwa hanya rumah ibadahlah dan organisasi agama yang masih dapat beroperasi dengan relatif bebas di masa penjajahan Indonesia, berkat pengakuan adanya agama yang diakui secara resmi, dan juga karena warganegara Indonesia harus memilih satu di antara ke-4 agama yang diakui secara resmi (sekali lagi, Katolik dan Protestan bukan dua agama, tapi dua gereja yang didasarkan pada agama yang sama).

Setelah kemerdekaan politik tercapai peranan politik Uskup Belo langsung merosot, dan juga jumlah orang muda yang menghadiri ibadah di gereja juga merosot drastis. Hampir serupa keadaannya di Papua Barat, di mana berkat dukungannya yang kuat pada hak-hak asasi orang Papua, kedua gereja yang sudah lebih berakar di Tanah Papua, yakni Gereja Katolik dan GKI di Tanah Papua, juga sering dituding sebagai pendukung gerakan Papua merdeka.

Padahal, seperti di Tilos, kemerdekaan juga menjadi aspirasi sejumlah pemuda Papua beragama Islam di daerah Fakfak dan Kepulauan Raja Ampat, yang mengalami Islamisasi oleh Kesultanan Tidore ratusan tahun yang lalu. Sekjen Presidium Dewan Papua, Taha al-Hamid, adalah salah seorang di antara mereka. Namun dengan licik ia sekarang dirangkul Yorris Raweyai, tokoh Papua binaan Cendana, yang berusaha mengempeskan gerakan kemerdekaan itu.

Sekali lagi, tidak pernah ada cita-cita para nasionalis Papua itu untuk mendirikan “negara Kristen Papua”, walaupun nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Kristen tentu saja mengilhami para nasionalis Papua yang memperjuangkan kemerdekaan negeri mereka. Ini semua perlu dibeberkan, untuk menunjukkan tentang betapa menyesatkannya propaganda yang dalam brosur LJ/FAWJ, misalnya, dalam rekrutmen orang-orang muda dari Jawa, yang sangat miskin pengetahuan sejarah tentang berbagai pergolakan di Kepulauan Nusantara bagian Timur, lalu mencekoki mereka dengan sebuah teori konspirasi yang tidak punya dasar ilmiah walau sebesar biji zarrah pun.

Pater Jopie Beek SJ menurut Richard Tanter

Pater Beek, adalah seorang misionaris Jesuit, yang meninggal tahun 1986/1987 (?), Beek menanamkan pengaruh (doktrin) yang cukup kuat di kalangan Katholik, khususnya kalangan Katholik etnis Tionghoa pada periode akhir Demokrasi Terpimpin maupun pada awal Orde Baru; banyak di antara kadernya yang kemudian menduduki pos intelijen. Beek beralih menjadi warga negara Indonesia pada sekitar tahun 1970-an, ketika pemerintahan Orde Baru menawarkan paket yang serupa pada sekitar 50-an misionaris asal Belanda.

Pada sekitar periode ini, ia menanggalkan nama “van” yang diwarisi dari orangtuanya; bahkan mungkin lebih awal lagi. Pengaruh utamanya dijalarkan lewat kursus-kursus yang ia selenggarakan bagi kaum muda Gereja, dengan memanfaatkan dana-dana dari paroki maupun diosis, atau pun bahkan dari sumber-sumber luar negeri (termasuk Australia).

Beek mengawali proyeknya di tahun 1950-an, bersama dengan sejumlah kecil Jesuit lainnya, termasuk Pastor Melchers dan Djikstra; kesemuanya ini yang memiliki pengaruh cukup besar dalam percaturan politik di Indonesia. Di mana masing-masing menata jaringan yang serupa dengan ‘kerajaan’ personal, tetapi dalam wilayah yang berbeda dan tetap saling berkoordinasi.

Secara pribadi, Beek adalah seorang yang menimbulkan kesan kuat, yaitu seorang yang powerful, sanggup menghadirkan visi yang artikulatif, berkenaan dengan peran Gereja dalam masyarakat. Beek Seorang yang menarik dan mudah merebut kepercayaan secara personal. Seorang yang sangat aktif, senantiasa melibatkan dirinya dalam rentang aktivitas yang sedemikian luas.

Pada periode menjelang peristiwa 1965, Beek sudah mengantisipasi soal perebutan kekuasaan oleh kaum Komunis dan ia terlibat dalam persiapan gerakan Katholik bawah-tanah. Dalam periode akhir Demokrasi Terpimpin, Djikstra juga terlibat dalam ormas-ormas Pancasila yang anti-Komunis. Beek dan sekutunya dalam gerakan ini membangun koperasi-koperasi berbasiskan di desa, koperasi simpan-pinjam, bank, dlsb. Tiap jaringan komunitas tersebut memiliki koordinator untuk masalah-masalah social. Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) juga menjadi basis gerakan serta aktivitas kader-kader mereka. Fokus utama Beek adalah pada pelatihan bagi aktivitas-aktivitas semacam itu, dan bukannya keterlibatan secara langsung.

Visi Beek pribadi atas peran Gereja, Gereja harus berperan dalam mengatur Negara kemudian mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk bekerja di dalam dan melalui negara. Dalam hal ini ia menuai sejumlah penentangan dari simpatisan Jesuit pada umumnya yang berusaha untuk mengkonstruksi organisasi-organisasi berbasiskan komunitas yang berada di luar negara. Ia juga mendapatkan tentangan dari serikat-serikat lainnya maupun kaum awam yang tidak sepakat dengan akvitas politik Beek yang terlalu mencolok, maupun dukungan Beek atas pemerintahan Soeharto, dan secara lebih khusus lagi atas segmen khusus di dalamnya pada tahun 1970-an, yakni arus OPSUS-GOLKAR.

Bagi Beek, ada dua musuh besar baik bagi Indonesia maupun bagi Gereja adalah Komunisme dan Islam, di mana ia melihat keduanya memiliki banyak keserupaan: sama-sama memiliki kualitas ancaman. Pasca 1965, posisi militant yang anti-Islam digaungkan dengan arus dominan yang berlaku dalam kepemimpinan Angkatan Darat ketika itu. Indonesia yang diidealkan Beek adalah Indonesia yang nasionalistik, non-Islamik, dengan golongan Kristen mendapatkan tempat yang istimewa, sambil mendukung pemerintahan bergaya GOLKAR. Pemihakan semacam ini dibenarkan Beek, dengan dalih sungguh pun banyak kesalahan yang dibuat oleh Soeharto, watak Komunis maupun Islam yang tidak dapat diterimanya, membuatnya tidak bisa memilih lain, selain memberikan dukungan atas the lesser evil.

Keterlibatan aktif Beek pada masa itu secara fisik dalam demonstrasi-demonstrasi di jalan raya Jakarta, sehingga nyaris menyelubungi latar-belakangnya sebagai orang asing. Beek pernah terlibat secara sangat aktif dalam rivalitas pada tahun-tahun sebelum maupun pasca 1965, antara arus kelompok intelijen Katholik dengan arus kelompok PSI yang juga terlibat dalam aktivitas-aktivitas intelijen bawah-tanah (Aktivitas-aktivitas PSI ini juga melibatkan sel-sel yang diasosiasikan satu jaringan dengan Prof. Soemitro, di mana salah-satu anggotanya adalah Soe Hok Gie).

Beek menyelenggarakan kursus-kursus satu-bulanan secara reguler, bagi mahasiswa, aktivis, maupun kaum muda pedesaan. Dengan menghadirkan pastor maupun rohaniwan, sebagai bagian dari program kaderisasi; pelatihan ketrampilan kepemimpinan, kemampuan berbicara di hadapan publik, ketrampilan menulis, ‘dinamika kelompok’, serta analisis sosial.

Dalam prakteknya, kursus-kursus tersebut mengambil model campuran, perpaduan dari teknik-teknik pendidikan Jesuit dan Komunis, berbasiskan disiplin-diri yang kuat. Kursus/pelatihan-pelatihan ini diselenggarakan dengan pendekatan yang amat brutal atas para pesertanya: para calon kader bahkan kerap kali diharuskan saling menghajar/memukul rekan-rekan sepelatihannya sendiri, dihina dengan keharusan merangkak di lantai yang penuh dengan kotoran, sesi-sesi harian yang panjang penuh dengan umpatan/caci-makian, melontarkan kritik atas kelemahan sesama peserta, dibangunkan secara mengejutkan di tengah malam buta.

Setelah hari-hari yang melelahkan, dalam jam tidur yang amat pendek, dan lain sebagainya, hasil akhirnya adalah: menjadi seorang kader yang sepenuhnya setia, patuh kepada Beek secara personal; menjadi orangnya Beek seumur hidup, yang bersedia melakukan apa saja baginya. Ketika para kader itu dipulangkan ke habitat asalnya, orang-orang muda ini kemudian diminta untuk menghasilkan laporan bulanan atas segala hal yang mereka dengar, lihat di dalam organisasi masing-masing, yang dilakukan untuk Beek dan demi Beek seorang. Secara bertahap Beek membangun untuk kepentingan dirinya, sebuah jaringan-kerja intelijen personal. Bagi pimpinan-pimpinan Gereja yang mendukung program Beek, maka hasilnya tentu akan memuaskan.

Pada akhir tahun 1960-an, Beek mendapatkan tugas untuk melatih guru-guru di Irian Jaya, sebuah wilayah dengan mayoritas Kristen, dalam rangka mempersiapkan voting bagi penentuan nasib Irian Jaya. Dalam hal ini, maupun dalam sekian banyak aktivitas lainnya pada periode ini, Beek amat erat terlibat dengan OPSUS-nya Ali Moertopo; 8 khususnya melalui Center for Strategic and International Studies (CSIS), beserta dengan dua pengikutnya utamanya: Harry Tjan Silalahi dan Jusuf Wanandi (Liem Bian Kie). Sepanjang periode ini secara reguler Beek mensirkulasikan paket dokumen yang berisikan laporan-laporan berkenaan dengan peristiwa maupun aktivitas-aktivitas tertentu, beserta paket analisis sosial, dan garis aksi/tindakan yang perlu dijalankan.

Sementara Beek mungkin tidak memiliki keterlibatan personal dalam aspek-aspek yang lebih teknis dalam aktivitas OPSUS pada masa itu, namun logika dari posisi yang dipropagandakannya, secara tidak langsung telah mendatangkan kebutuhan, jika perlu menerabas batasan-batasan hukum (melanggar hukum) demi mencapai tujuannya. Metode-metode yang diperkenalkannya selama kursus kaderisasi tentu mendorong para kadernya untuk menghalalkan pendekatan “dengan cara apa pun demi [tercapainya] tujuan” dalam politik.

Betapa pun, setidaknya ada satu klaim serius bahwa Beek mungkin memiliki keterlibatan dengan para pembuat plot utama peristiwa Gestok 1965. Wertheim9 melaporkan bahwa Beek: “menyampaikan pada seorang sahabatnya beberapa bulan sebelum meletusnya peristiwa Gestok, bahwa ia merasa amat berat hati meninggalkan Indonesia untuk sementara waktu karena alasan kesehatannya, karena ia yakin bahwa sebuah peristiwa yang mirip dengan pengulangan Peristiwa Madiun (1948) akan segera terulang lagi, dalam skala yang lebih besar, yang akan berakhir dengan kekalahan mutlak PKI.”

Aktivitas semacam ini ternyata tidak pernah mendapat pujian secara menyeluruh dalam kalangan Gereja di Indonesia, dan khususnya menjelang akhir hidupnya, Provincial Jesuit beserta para pimpinan Gereja lainnya justru berupaya menyingkirkan dia. Namun agaknya hierarki Gereja pun mengalami kesukaran untuk menindak Beek, walau pun ia berhasil dipaksa untuk kembali ke Belanda. Salah seorang kolega Beek ada yang mengomentari, “Di tataran teori gagasan-gagasan Beek boleh-boleh saja, namun dalam tataran praktek ia menjadi kotor”. 10 Pengaruhnya kini terbukti dalam pandangan-pandangan pro-GOLKAR dari sejumlah anak-didiknya, yang kemudian menduduki posisi berpengaruh di Gereja.

Secara reguler Beek juga berkunjung ke Australia dan bekerja dengan pimpinan National Civic Council, B.A. Santamaria. Sejumlah pendanaan Beek agaknya juga datang dari sumber-sumber luar negeri yang bersimpati seperti itu. Setidaknya sebagian dari kontak-kontak pra-1975 antara intelijen Indonesia dan Australia atas Timor (walau bukan berarti seluruhnya) agaknya berasal dari jalur yang satu ini.

Seorang adik kandung Jusuf Wanandi, Pastor Markus Wanandi, S.J. dari Semarang, yang juga didikan Beek dengan ‘cetakan’ yang serupa di atas. Salah satu mata-rantai yang menarik berkenaan dengan kisah sepak-terjang Beek ini adalah kenyataan bahwa ia adalah pastor yang memberikan pemberkatan pernikahan W.S. Rendra dengan istri pertamanya. 11



PENGAKUAN KOES BERSAUDARA DI BAWAH KORDINASI DAN PEMBINAAN INTELEJEN
Harian KOMPAS MINGGU edisi 30 Mei 2004 – LEBIH JAUH DENGAN KOES BERSAUDARA
Di Penjara Glodok

Episode ini, sudah banyak diungkap media massa. Tanggal 29 Juni 1965 personel Koes Bersaudara ditangkap dan ditahan di Penjara Glodok, yang kini dikenal sebagai kompleks pertokoan itu. Alasannya, mereka dijebloskan ke penjara karena menggelar musik yang "ke-Barat-Barat-an", yang dianggap tidak sesuai dengan kebijakan politik pada masa itu. Nomo sempat menuturkan, bagaimana kisah hidup mereka di balik terali besi selama tiga bulan. Ada tahanan yang iba terhadap mereka, namanya Oom Ging. Si oom ini iba melihat jatah makanan anak-anak ini. "Oom Ging lalu memberi sayuran yang ditanam sendiri. Belakangan saya tahu, tanaman itu diberi pupuk dari kotoran Oom Ging sendiri. Waduh...," cerita Nomo sambil tertawa.

Yang tidak banyak diketahui orang, seperti dituturkan Yok Koeswoyo, sebenarnya mereka dimasukkan penjara pada masa itu sebagai bagian untuk menjadikan Koes Bersaudara sebagai intelijen tandingan (counter intelligence) di Malaysia. Saat itu, Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia.

"Zaman dulu ada KOTI (Komando Operasi Tertinggi). Kami direkrut oleh beliau-beliau, komandannya Kolonel Koesno dari Angkatan Laut. Dibikin seolah-olah pemerintah yang ada tidak senang sama kami, lalu kami ditangkap. Dalam rangka ditangkap inilah kami nanti secara diam-diam keluar dan eksodus ke Malaysia. Di sana kami dipakai sebagai counter intelligence. Namun, pas keluar dari penjara pada tanggal 29 November, meletus G30S," cerita Yok.

Jadi masuk penjara itu hanya sebuah jalan menuju fase berikutnya?

"Ya, jadi dibentuk opini seolah-olah kami tidak suka pada Soekarno," jawab Yok.

Waktu masuk penjara ada perasaan menyesal atau tidak?

"Tidak, kita menyadari itu kok."

Ini tak pernah terungkap ya?

"Ya, selama ini kita selalu rapet. Kami ikut menjaga rahasia negara. Di KOTI itu kami masuk D3, kami bisa dibangunkan, tapi bisa juga ditidurkan."

Hal sama, katanya dilakukan kelompok ini di paruh pertama tahun 1970-an (sebelum Timor Timur bergabung menjadi wilayah Indonesia, atau ada pula yang menyebut sebagai proses aneksasi), untuk Timor Timur. Dalam rangka "proyek politik" ini, katanya lahir lagu semacam Diana (lagu itu bercerita mengenai putri petani, bernama Diana. Perhatikan, Diana adalah nama yang tidak umum untuk petani di Jawa.) Ingat juga lagu Da Silva.

Anda masuk ke Timor Timur ?

"Kami berangkat ke sana. Kami bikin pertunjukan di gedung. Waktu menuju Hotel Turismo, ada orang Timur yang mendekat dan menggedor-gedor mobil kami sambil berteriak-teriak, ’Viva Presidente Soeharto!’ Waktu kami pulang dari Timor Timur kami disambut sama Adam Malik di Tanah Abang," ucap Yok. (Markas CSIS, Tanah Abang – red.)

Seru ya....

"Setelah mengalami itu semua, nasionalisme kami tambah tebal. Itu makanya ada lagu Nusantara I, II, dan seterusnya."


FOOTNOTE

Ideologi pro bukan ideologi independen sebagaimana falsafah Pancasila hasil olah pikir Soekarno – Founding Fathers Republik Indonesia.


Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia. Selain itu orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan, Fillippine dan Timor Leste.


Tokoh Intelejen Orde Baru sekelas Gembel Sediono, mantan bawahan Ali Moertopo memberikan apresiasi unik terhadap Islam dan kekuatan politik Islam, beliau berpendapat: Agama yang paling baik itu Islam, yang mengajarkan konsep demokrasi di dunia ini Islam, yang konsisten dengan konsep demokrasi juga Islam. Tapi Islam tidak boleh hidup di Indonesia. – Dialog dari hati ke hati dengan Tim CeDSoS, Juni 2004, di kediaman Bapak Gembel Sediono. Cipete - Jaksel


Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia.


Selain itu orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan, Fillippine dan Timor Leste.


Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia.

Selain itu orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan, Fillippine dan Timor Leste.


Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia.

Selain itu orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan, Fillippine dan Timor Leste.


Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia.

Selain itu orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan, Fillippine dan Timor Leste.


Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia.

Selain itu orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan, Fillippine dan Timor Leste.

Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia.

Selain itu orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan, Fillippine dan Timor Leste.

Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia.

Selain itu orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan, Fillippine dan Timor Leste.


John Helmi Mempi
Direktur Eksekutif CeDSoS (Center for Democracy and Social Justice Studies)
Graha ANUGERAH lantai 3, Jl. Raya Pasar Minggu, Jakarta 12780
Tel/Fax. 021 - 7983265

Umar Abduh
Sekjen CeDSoS (Center for Democracy and Social Justice Studies)
Penulis buku “Al-Zaytun Sesat” dan “Al-Zaytun Gate”
Penyunting buku KIGIR (Konspirasi Intelijen dan Gerakan Islam Radikal)
Anggota Tim Penyusun buku Di Balik Berita Bom Kedutaan Besar Australia & Skandal Terorisme.
HP: 0815 8614 8611, e-mail: umarabduh@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar