Kerajaan Holing
Pada abad ke 7 di
Jawa Tengah bagian utara sudah berdiri satu kerajaan,kerajaan itu
bernama Holing.Berita Cina berasal dari Dinasti T'ang yang menyebutkan
bahwa letak Kerajaan Holing berbatasan dengan Laut Sebelah Selatan,
Ta-Hen-La (Kamboja) di sebelah utara, Po-Li (Bali) sebelah Timur dan
To-Po-Teng di sebelah Barat. Nama lain dari Holing adalah Cho-Po (Jawa),
sehingga berdasarkan berita tersebut dapat disimpulkan bahwa Kerajaan
Holing terletak di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah.
J.L.
Moens dalam menentukan letak Kerajaan Holing meninjau dari segi
perekonomian, yaitu pelayaran dan perdagangan. Menurutnya, Kerajaan
Holing selayaknya terletak di tepi Selat Malaka, yaitu di Semenanjung
Malaya. Alasannya, Selat Malaka merupakan selat yang sangat ramai dalam
aktifitas pelayaran perdagangan saat itu. Pendapat J.L. Moens itu
diperkuat dengan ditemukannya sebuah daerah di Semenajung Malaya yang
bernama daerah Keling.
Menurut
Prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760, pada tahun 664 Masehi kerajaan
Holing dipindahkan oleh Ki-Yen ke arah Timur dan berlanjut dengan nama
Kerajaan Kanjuruhan
- Sumber Sejarah
I-Tsing
menyebutkan bahwa seorang temannya bernama Hui-Ning dengan pembantunya
bernama Yunki pergi ke Holing tahun 664/665 M untuk mempelajari ajaran
agama Budha. Ia juga menterjemahkan kitab suci agama Budha dari bahasa
Sansekerta ke bahasa Cina. Dalam menerjemahkan kitab itu, ia dibantu
oleh pendeta agama Budha dari Holing yang bernama Jnanabhadra. Menurut
keterangan dari Dinasti Sung, kitab yang diterjemahkan oleh Hui-Ning
adalah bagian terakhir kitab Parinirvana yang mengisahkan tentang
pembukaan jenazah Sang Budha.
- Kehidupan Politik
Berdasarkan
berita Cina disebutkan bahwa Kerajaan Holing diperintah oleh seorang
raja putri yang bernama Ratu Sima. Pemerintahannya berlangsung dari
sekitar tahun 674 masehi.
Pemerintahan
Ratu Sima sangat keras, namun adil dan bijaksana. Kepada setiap
pelanggar, selalu diberikan sangsi tegas. Rakyat tunduk dan taat
terhadap segala perintah Ratu Sima. Bahkan tidak seorang pun rakyat atau
pejabat kerajaan yang berani melanggar segala perintahnya.
Suatu
saat seorang saudagar Arab berkeinginan untuk membuktikan ketaatan
rakyat Ho-ling terhadap hukum yang diterapkan. Ia meletakkan pundi-pundi
uang di jalan di tengah kota. Ternyata tak ada seorangpun menyentuh
atau mengambilnya. Hingga suatu hari secara tidak sengaja kaki Putra
Mahkota menyentuh pundi-pundi itu. Maka Ratu Sima memerintahkan agar
anaknya di potong kakinya sebagai hukuman. Karena hukuman itu dirasa
terlalu berat, para penasehat Ratu memohon agar hukuman diperingan,
namun Ratu berkeras. Setelah didesak, Ratu Sima memutuskan untuk
memperingan hukumannya. Kaki putra mahkota tidak jadi dipotong tetapi
hanya jari-jari kakinya saja.
- Kehidupan Sosial
Kehidupan
sosial masyarakat Kerajaan Holing sudah teratur rapi. Hal ini
disebabkan karena sistem pemerintahan yang keras dari Ratu Sima. Di
samping ini juga sangat adil dan bijaksana dalam memutuskan suatu
masalah. Rakyat sangat menghormati dan mentaati segala keputusan Ratu
Sima.
- Kehidupan Ekonomi
Kehidupan
perekonomian masyarakat Kerajaan Holing berkembang pesat. Masyarakat
Kerajaan Holing telah mengenal hubungan perdagangan. Mereka menjalin
hubungan perdagangan pada suatu tempat yang disebut dengan pasar. Pada
pasar itu, mereka mengadakan hubungan perdagangan dengan teratur.
kegiatan ekonomi masyarakat lainnya diantaranya bercocok
tanam,menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading.di
Holing ada sumber air asin yang dimanfaatkan untuk membuat garam. Hidup
rakyat Holing tenteram, karena tidak ada kejahatan dan kebohongan.
Berkat kondisi itu rakyat Ho-ling sangat memperhatikan
pendidikan.Buktinya rakyat Ho-ling sudah mengenal tulisan,selain tulisan
masyarakat Ho-ling juga telah mengenal Ilmu perbintangan dan dimanfaat
dalam bercocok tanam.
- Kehidupan Budaya
Rakyat
Ho-ling menganut agama Budha. Hal itu dapat diketahui dari berita Cina
yang ditulis I-Tshing, yang menjelaskan bahwa pada tahun 644 masehi
Hwi-Ning seorang pendeta budha dari cina datang ke Ho-ling dan menetap
selama 3 tahun. Hwi-Ning menterjemahkan salah satu kitab suci agama
Budha Hinayana yang berbahasa Sanksekerta ke dalam bahasa Cina. Dalam
usahanya Hwi-Ning dibantu oleh seorang pendeta kerajaan Ho-ling yang
bernama Jnanabhadra
Kerajaan Kalingga atau Holing
Asal nama Jepara berasal dari perkataan
Ujung Para, Ujung Mara dan Jumpara yang kemudian menjadi Jepara, yang
berarti sebuah tempat pemukiman para pedagang yang berniaga ke berbagai
daerah. Menurut buku “Sejarah Baru Dinasti Tang (618-906 M)” mencatat
bahwa pada tahun 674 M seorang musafir Tionghoa bernama I-Tsing pernah
mengunjungi negeri Holing atau Kaling atau Kalingga yang juga disebut
Jawa atau Japa dan diyakini berlokasi di Keling, kawasan timur Jepara
sekarang ini, serta dipimpin oleh seorang raja wanita bernama Ratu Shima
yang dikenal sangat tegas.
Menurut seorang penulis Portugis bernama Tome Pires dalam bukunya “Suma Oriental”, Jepara baru dikenal pada abad ke-XV (1470 M) sebagai bandar perdagangan yang kecil yang baru dihuni oleh 90-100 orang dan dipimpin oleh Aryo Timur dan berada dibawah pemerintahan Demak. Kemudian Aryo Timur digantikan oleh putranya yang bernama Pati Unus (1507-1521). Pati Unus mencoba untuk membangun Jepara menjadi kota niaga.
Pati Unus dikenal sangat gigih melawan penjajahan Portugis di Malaka yang menjadi mata rantai perdagangan nusantara. Setelah Pati Unus wafat digantikan oleh ipar Faletehan /Fatahillah yang berkuasa (1521-1536). Kemudian pada tahun 1536 oleh penguasa Demak yaitu Sultan Trenggono, Jepara diserahkan kepada anak dan menantunya yaitu Ratu Retno Kencono dan Pangeran Hadiri suami. Namun setelah tewasnya Sultan Trenggono dalam Ekspedisi Militer di Panarukan Jawa Timur pada tahun 1546, timbulnya geger perebutan tahta kerajaan Demak yang berakhir dengan tewasnya Pangeran Hadiri oleh Aryo Penangsang pada tahun 1549.
Menurut seorang penulis Portugis bernama Tome Pires dalam bukunya “Suma Oriental”, Jepara baru dikenal pada abad ke-XV (1470 M) sebagai bandar perdagangan yang kecil yang baru dihuni oleh 90-100 orang dan dipimpin oleh Aryo Timur dan berada dibawah pemerintahan Demak. Kemudian Aryo Timur digantikan oleh putranya yang bernama Pati Unus (1507-1521). Pati Unus mencoba untuk membangun Jepara menjadi kota niaga.
Pati Unus dikenal sangat gigih melawan penjajahan Portugis di Malaka yang menjadi mata rantai perdagangan nusantara. Setelah Pati Unus wafat digantikan oleh ipar Faletehan /Fatahillah yang berkuasa (1521-1536). Kemudian pada tahun 1536 oleh penguasa Demak yaitu Sultan Trenggono, Jepara diserahkan kepada anak dan menantunya yaitu Ratu Retno Kencono dan Pangeran Hadiri suami. Namun setelah tewasnya Sultan Trenggono dalam Ekspedisi Militer di Panarukan Jawa Timur pada tahun 1546, timbulnya geger perebutan tahta kerajaan Demak yang berakhir dengan tewasnya Pangeran Hadiri oleh Aryo Penangsang pada tahun 1549.
Kematian
orang-orang yang dikasihi membuat Ratu Retno Kencono sangat berduka dan
meninggalkan kehidupan istana untuk bertapa di bukit Danaraja. Setelah
terbunuhnya Aryo Penangsang oleh Sutowijoyo, Ratu Retno Kencono bersedia
turun dari pertapaan dan dilantik menjadi penguasa Jepara dengan gelar
NIMAS RATU KALINYAMAT.
Pada
masa pemerintahan Ratu Kalinyamat (1549-1579), Jepara berkembang pesat
menjadi Bandar Niaga utama di Pulau Jawa, yang melayani eksport import.
Disamping itu juga menjadi Pangkalan Angkatan Laut yang telah dirintis
sejak masa Kerajaan Demak.
Sebagai
seorang penguasa Jepara, yang gemah ripah loh jinawi karena keberadaan
Jepara kala itu sebagai Bandar Niaga yang ramai, Ratu Kalinyamat dikenal
mempunyai jiwa patriotisme anti penjajahan. Hal ini dibuktikan dengan
pengiriman armada perangnya ke Malaka guna menggempur Portugis pada
tahun 1551 dan tahun 1574. Adalah tidak berlebihan jika orang Portugis
saat itu menyebut sang Ratu sebagai “RAINHA DE JEPARA”SENORA DE RICA”,
yang artinya Raja Jepara seorang wanita yang sangat berkuasa dan kaya
raya.
Serangan sang Ratu yang gagah berani ini melibatkan hamper 40 buah kapal yang berisikan lebih kurang 5.000 orang prajurit. Namun serangan ini gagal, ketika prajurit Kalinyamat ini melakukan serangan darat dalam upaya mengepung benteng pertahanan Portugis di Malaka, tentara Portugis dengan persenjataan lengkap berhasil mematahkan kepungan tentara Kalinyamat.
Serangan sang Ratu yang gagah berani ini melibatkan hamper 40 buah kapal yang berisikan lebih kurang 5.000 orang prajurit. Namun serangan ini gagal, ketika prajurit Kalinyamat ini melakukan serangan darat dalam upaya mengepung benteng pertahanan Portugis di Malaka, tentara Portugis dengan persenjataan lengkap berhasil mematahkan kepungan tentara Kalinyamat.
Namun
semangat Patriotisme sang Ratu tidak pernah luntur dan gentar
menghadapi penjajah bangsa Portugis, yang di abad 16 itu sedang dalam
puncak kejayaan dan diakui sebagai bangsa pemberani di Dunia.
Dua puluh empat tahun kemudian atau tepatnya Oktober 1574, sang Ratu Kalinyamat mengirimkan armada militernya yang lebih besar di Malaka. Ekspedisi militer kedua ini melibatkan 300 buah kapal diantaranya 80 buah kapal jung besar berawak 15.000 orang prajurit pilihan. Pengiriman armada militer kedua ini di pimpin oleh panglima terpenting dalam kerajaan yang disebut orang Portugis sebagai “QUILIMO”.
Walaupun akhirnya perang kedua ini yang berlangsung berbulan-bulan tentara Kalinyamat juga tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka, namun telah membuat Portugis takut dan jera berhadapan dengan Raja Jepara ini, terbukti dengan bebasnya Pulau Jawa dari Penjajahan Portugis di abad 16 itu.
Sebagai peninggalan sejarah dari perang besar antara Jepara dan Portugis, sampai sekarang masih terdapat di Malaka komplek kuburan yang di sebut sebagai Makam Tentara Jawa. Selain itu tokoh Ratu Kalinyamat ini juga sangat berjasa dalam membudayakan SENI UKIR yang sekarang ini jadi andalan utama ekonomi Jepara yaitu perpaduan seni ukir Majapahit dengan seni ukir Patih Badarduwung yang berasal dari Negeri Cina.
Menurut catatan sejarah Ratu Kalinyamat wafat pada tahun 1579 dan dimakamkan di desa Mantingan Jepara, di sebelah makam suaminya Pangeran Hadiri. Mengacu pada semua aspek positif yang telah dibuktikan oleh Ratu Kalinyamat sehingga Jepara menjadi negeri yang makmur, kuat dan mashur maka penetapan Hari Jadi Jepara yang mengambil waktu beliau dinobatkan sebagai penguasa Jepara atau yang bertepatan dengan tanggal 10 April 1549 ini telah ditandai dengan Candra Sengkala TRUS KARYA TATANING BUMI atau terus bekerja keras membangun daerah.
Dua puluh empat tahun kemudian atau tepatnya Oktober 1574, sang Ratu Kalinyamat mengirimkan armada militernya yang lebih besar di Malaka. Ekspedisi militer kedua ini melibatkan 300 buah kapal diantaranya 80 buah kapal jung besar berawak 15.000 orang prajurit pilihan. Pengiriman armada militer kedua ini di pimpin oleh panglima terpenting dalam kerajaan yang disebut orang Portugis sebagai “QUILIMO”.
Walaupun akhirnya perang kedua ini yang berlangsung berbulan-bulan tentara Kalinyamat juga tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka, namun telah membuat Portugis takut dan jera berhadapan dengan Raja Jepara ini, terbukti dengan bebasnya Pulau Jawa dari Penjajahan Portugis di abad 16 itu.
Sebagai peninggalan sejarah dari perang besar antara Jepara dan Portugis, sampai sekarang masih terdapat di Malaka komplek kuburan yang di sebut sebagai Makam Tentara Jawa. Selain itu tokoh Ratu Kalinyamat ini juga sangat berjasa dalam membudayakan SENI UKIR yang sekarang ini jadi andalan utama ekonomi Jepara yaitu perpaduan seni ukir Majapahit dengan seni ukir Patih Badarduwung yang berasal dari Negeri Cina.
Menurut catatan sejarah Ratu Kalinyamat wafat pada tahun 1579 dan dimakamkan di desa Mantingan Jepara, di sebelah makam suaminya Pangeran Hadiri. Mengacu pada semua aspek positif yang telah dibuktikan oleh Ratu Kalinyamat sehingga Jepara menjadi negeri yang makmur, kuat dan mashur maka penetapan Hari Jadi Jepara yang mengambil waktu beliau dinobatkan sebagai penguasa Jepara atau yang bertepatan dengan tanggal 10 April 1549 ini telah ditandai dengan Candra Sengkala TRUS KARYA TATANING BUMI atau terus bekerja keras membangun daerah.
Ratu
Shima atau Sima adalah nama penguasa Kerajaan Kalingga, yang pernah
berdiri pada milenium pertama di Jawa. Tidak banyak diketahui
tentangnya, kecuali bahwa ia sangat tegas dalam memimpin dengan
memberlakukan hukum potong tangan bagi pencuri. Salah satu korbannya
adalah keluarganya sendiri.
Syahadan, Kerajaan Kalingga, Nagari di pantura (pantai utara Jawa, sekarang di Keling, Kelet, Jepara, Jateng) beratus masa berlampau, bersinar terang emas,penuh kejayaan. Bersimaharatulah, Ratu Shima, nan ayu, anggun, perwira, ketegasannya semerbak wangi di antero nagari nusantara. Sungguh, meski jargon kesetaraan Gender belum jadi wacana saat itu. Namun pamor Ratu Shima memimpin kerajaannya luar biasa, amat dicintai jelata, wong cilik sampai lingkaran elit kekuasaan. Kebijakannya mewangi kesturi, membuat gentar para perompak laut. Alkisah tak ada nagari yang berani berhadap muka dengan Kerajaan Kalingga, apalagi menantang Ratu Shima nan perkasa. bak Srikandi, sang Ratu Panah.
Konon, Ratu Shima, justru amat resah dengan kepatuhan rakyat, kenapa wong cilik juga para pejabat mahapatih, patih, mahamenteri, dan menteri,hulubalang, jagabaya,jagatirta, ulu-ulu, pun segenap pimpinan divisi kerajaan sampai tukang istal kuda, alias pengganti tapal kuda, kuda-kuda tunggang kesayangannya, tak ada yang berani menentang sabda pandita ratunya. Sekali waktu, Ratu Shima menguji kesetiaan lingkaran elitnya dengan me-mutasi, dan me-Non Job-kan pejabat penting di lingkungan Istana. Namun puluhan pejabat yang mendapat mutasi ditempat yang tak diharap, maupun yang di-Non Job-kan, tak ada yang mengeluh barang sepatah kata. Semua bersyukur, kebijakan Ratu Shima sebetapapun memojokkannya, dianggap memberi barokah, titah titisan Sang Hyang Maha Wenang.
Syahadan, Kerajaan Kalingga, Nagari di pantura (pantai utara Jawa, sekarang di Keling, Kelet, Jepara, Jateng) beratus masa berlampau, bersinar terang emas,penuh kejayaan. Bersimaharatulah, Ratu Shima, nan ayu, anggun, perwira, ketegasannya semerbak wangi di antero nagari nusantara. Sungguh, meski jargon kesetaraan Gender belum jadi wacana saat itu. Namun pamor Ratu Shima memimpin kerajaannya luar biasa, amat dicintai jelata, wong cilik sampai lingkaran elit kekuasaan. Kebijakannya mewangi kesturi, membuat gentar para perompak laut. Alkisah tak ada nagari yang berani berhadap muka dengan Kerajaan Kalingga, apalagi menantang Ratu Shima nan perkasa. bak Srikandi, sang Ratu Panah.
Konon, Ratu Shima, justru amat resah dengan kepatuhan rakyat, kenapa wong cilik juga para pejabat mahapatih, patih, mahamenteri, dan menteri,hulubalang, jagabaya,jagatirta, ulu-ulu, pun segenap pimpinan divisi kerajaan sampai tukang istal kuda, alias pengganti tapal kuda, kuda-kuda tunggang kesayangannya, tak ada yang berani menentang sabda pandita ratunya. Sekali waktu, Ratu Shima menguji kesetiaan lingkaran elitnya dengan me-mutasi, dan me-Non Job-kan pejabat penting di lingkungan Istana. Namun puluhan pejabat yang mendapat mutasi ditempat yang tak diharap, maupun yang di-Non Job-kan, tak ada yang mengeluh barang sepatah kata. Semua bersyukur, kebijakan Ratu Shima sebetapapun memojokkannya, dianggap memberi barokah, titah titisan Sang Hyang Maha Wenang.
Tak
puas dengan sikap ‘setia’ lingkaran dalamnya, Ratu Shima, sekali lagi
menguji kesetiaan wong cilik, pemilik sah Kerajaan Kalingga dengan
menghamparkan emas permata, perhiasan yang tak ternilai harganya di
perempatan alun-alun dekat Istana tanpa penjagaan sama sekali. Kata Ratu
Shima,“Segala macam perhiasan persembahan bagi Dewata agung ini jangan
ada yang berani mencuri, siapa berani mencuri akan memanggil bala kutuk
bagi Nagari Kalingga, karenanya, siapapun pencuri itu akan dipotong
tangannya tanpa ampun!”. Sontak Wong cilik dan lingkungan elit istana,
bergetar hatinya, mereka benar-benar takut. Tak ada yang berani
menjamah, hingga hari ke 40. Ratu Shima sempat bahagia.
Namun
malang tak dapat ditolak. Esok harinya semua perhiasan itu lenyap tanpa
bekas. Amarah menggejolak di hati sang penguasa Kalingga. Segera
dititahkan para telik sandi mengusut wong cilik yang mungkin saja jadi
maling di sekitar lokasi persembahan, sementara di Istana dibentuk
Pansus,Panitia Khusus yang menguji para pejabat istana yang mendapat
mutasi apes, atau yang Non Job diperiksa tuntas. Namun setelah diperiksa
dengan seksama. Berpuluh laksa wong cilik tak ada yang pantas dicurigai
sebagai pelaku, sementara pejabat istana pun berbondong, bersembah
sujud, bersumpah setia kepada Ratu Shima. Mereka rela menyerahkan
jiwanya apabila terbukti mencuri. Ratu Shima kehabisan akal.
Saat
itu, Tukang istal kuda, takut-takut menghadap, badannya gemetar,
matanya jelalatan melihat kiri kanan, amat ketakutan.”Maaf Tuanku Yang
Mulia Ratu Agung Shima, perkenankan hamba memberi kesaksian, hamba
bersedia mati untuk menyampaikan kebenaran ini. Hamba adalah saksi mata
tunggal. Malam itu hamba menyaksikan Putra Mahkota mengambil diam-diam
seluruh perhiasan persembahan itu. Maaf…,”
sujud
sang tukang istal muda belia,mukanya seperti terbenam di lantai istana.
“Apa, Putra Mahkota mencuri?!,”Ratu Shima terperanjat bukan
kepalang.Mukanya merah padam..”Putraku, jawab dengan jujur, pakai
nuranimu, benar apa yang dikatakan wong cilik dari kandang kuda ini?”,
tanya sang ibu menahan getar. Sang Putra Mahkota tiada menjawab, ia
hanya mengangguk., lalu menunduk teramat malu. Ia mengharap belas kasih
sang ibu yang membesarkannya dari kecil.
Sejenak
istana teramat sunyi, hanya bunyi nafas yang terdengar, dan daun-daun
jati emas yang jatuh luruh ke tanah.”Prajurit, Demi tegaknya hukum, dan
menjauhkan nagari Kalingga dari kutukan dewata, potong tangan Putra
Mahkotaku, sekaramg juga…,”perintah Sang Ratu Shima dengan muka keras.
Seluruh penghuni istana dan rakyat jelata yang berlutut hingga alun-alun
merintih memohon ampun, namun Sang Ratu tiada bergeming dari
keputusannya. Hukuman tetap dilaksankana. Hal itu dituliskan dengan
jelas di Prasasti Kalingga, yang masih bisa dilihat hingga kini.Holing (
Chopo )
Kerajaan ini
ibukotanya bernama Chopo ( nama China ), menurut bukti- bukti China pada
abad 5 M. Mengenai letak Kerajaan Holing secara pastinya belum dapat
ditentukan. Ada beberapa argumen mengenai letak kerajaan ini, ada yang
menyebutkan bahwa negara ini terletak di Semenanjung Malaya, di Jawa
barat, dan di Jawa Tengah. Tetapi letak yang paling mungkin ada di
daerah antara pekalongan dan Plawanagan di Jawa tengah. Hal ini
berdasarkan catatan perjalanan dari Cina.
Kerajaan
Holing adalah kerajaan yang terpengaruh oleh ajaran agama Budha.
Sehingga Holing menjadi pusat pendidikan agama Budha. Holing sendiri
memiliki seorang pendeta yang terkenal bernama Janabadra. Sebagai pusat
pendidikan Budha, menyebabkan seorang pendeta Budha dari Cina, menuntut
ilmu di Holing. Pendeta itu bernama Hou ei- Ning ke Holing, ia ke Holing
untuk menerjemahkan kitab Hinayana dari bahasa sansekerta ke bahasa
cina pada 664-665.
Sistem
Administrasi kerajaan ini belum diketahui secara pasti. Tapi beberapa
bukti menunjukkan bahwa pada tahun 674-675, kerajaan ini diperintah oleh
seoarang raja wanita yang bernama Simo.
Holing
sendiri banyak ditemukan barang-barang yang bercirikan kebudayaan
Dong-Song dan India. Hal ini menunjukkan adanya pola jaringan yang sudah
terbentuk antar Holing dengan bangsa luar. Wilayah perdaganganya
meliputi laut China Selatan sampai pantai utara Bali. Tetapi
perkembangan selanjutnya sistem perdagangan Holing mendapat tantangan
dari Sriwijaya, yang pada akhirnya perdagangan dikuasai oleh Sriwijaya.
Sehingga Sriwijaya menjadi kerajaan yang menguasai perdagangan pada
pertengahan abad ke-8.
Kalingga
adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Tengah, yang pusatnya
berada di daerah Kabupaten Jepara sekarang. Kalingga telah ada pada abad
ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok.
Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki
peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.
Putri
Maharani Shima, PARWATI, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh
yang bernama MANDIMINYAK, yang kemudian menjadi raja ke 2 dari Kerajaan
Galuh.
Maharani Shima
memiliki cucu yang bernama SANAHA yang menikah dengan raja ke 3 dari
Kerajaan Galuh, yaitu BRATASENAWA. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak
yang bernama SANJAYA yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan
Galuh (723-732M).
Setelah
Maharani Shima mangkat di tahun 732M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan
menjadi raja Kerajaan KALINGGA UTARA yang kemudian disebut BUMI MATARAM,
dan kemudian mendirikan Dinasti / Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram
Kuno.
Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari TEJAKENCANA, yaitu TAMPERAN BARMAWIJAYA alias RAKEYAN PANARABAN.
Kemudian
Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja KALINGGA SELATAN
atau BUMI SAMBARA, dan memiliki putra yaitu RAKAI PANANGKARAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar